Episode Siapa yang Lebih Membutuhkan?
Baca kisah sebelumnya, di sini!
MEMASUKI sepuluh hari pertama di bulan Ramadhan, yang menurut alim ulama merupakan bagian turunnya rahmat. Adi dan Wardah dikejutkan oleh undangan dari masing masing sekolahnya untuk mengikuti kegiatan Diklat Interaktif Online (DIO).
“Duuh, ada-ada aja, kirain kita bisa sama-sama terbebas dari urusan kantor selama bulan Ramadhan tahun ini,” sesal Adi setelah membaca surat tersebut.
“Iya, nih, Pak, ibu juga sama mendapat undangan dari kantor Dinas Pendidikan,” timpal Wardah yang sama-sama mendapat surat serupa dengan sang suami.
“Padahal tadinya kita mau isi Ramadhan sebulan ini dengan urusan ibadah saja, ya, Pak,” ujar Wardah seolah kecewa dengan undangan yang direrimanya.
Sebagai guru, Wardah dan Adi dituntut untuk selalu meningkatan kualitas pembelajaran baik dari sisi pengetahuan umum sebagai pendidik maupun pengtahuan akademis sebagai pengajar mata pelajaran.
“Kok ibu ngomong begitu? Kan ibadah itu bukan hanya shalat dan mengaji saja. Kegiatan ini pun bisa bernilai ibadah sepanjang diniatkan untuk memperbaiki kualitas diri kita sehingga bisa bermanfaat untuk murid-murid kita nantinya,” kilah Adi seraya menepuk bahu istrinya.
“Lagi pula, kan tidak setiap hari kita harus ke kantor, karena sebagian besar bisa kita selesaikan melalui internet, hingga kita tetap bisa mengerjakan aktivitas Ramadhan yang lain,” ucap Adi melanjutkan upayanya untuk meredam kekesalan Wardah.
Tiba tiba Adi mendengar suara ketukan pintu dan salam dari luar.
“Assalamualaikum,” ucap seseorang.
“Wa’alaikum salam… sebentar,” jawab Adi sambil bergegas berjalan menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
“Eeeh, Pak Indra, silakan masuk, Pak!” ucap Adi sambil menyilakan tamunya masuk.
Pak Indra adalah tetangganya, datang dengan wajah kebingungan seakan ada suatu masalah besar yang sedang menerpanya. Keriput yang mulai menghiasi wajah lelaki berusia 45 tahun itu. Sementara terselip sebuah map berwarna merah di tangan kanannya.
“Apa kabar, Pak?” tanya Adi membuka pembicaraan yang terkesan basa-basi, karena ketika Subuh tadi sudah bertemu tamunya itu.
“Alhamdulillah, kabar baik, Nak,” jawab Pak Indra dengan nada datar.
“Ada keperluan apa Pak Indra sampai harus ke rumah saya siang terik ini? Nampaknya penting sekali…” sambung Adi dengan harapan segera mengetahui dengan cepat maksud dan tujuan kedatangan Pak Indra.
Masih sangat jelas kebingungan yang tampak di wajah Pak Indra, seakan ingin segera menyampaikan maksud kedatangannya, namun tertahan oleh sesuatu hal.
“Hmmm… begini, Nak Adi…” Pak Indra menggantungkan kalimatnya.
“Maaf, apa, Pak?” tanya Adi karena kurang mendengar perkataan dari Pak Indra.
“Begini, Nak Adi,” Pak Indra mengeraskan suaranya.
“Si Ito anak saya yang kedua diterima di Univeritas Negeri tanpa melalui tes,” kata Pak Indra.
Pak Indra memiliki tiga orang anak. Anak yang pertama perempuan dan masih menganggur belum dapat pekerjaan. Sementara anak ketiga masih sekolah di SMP.
“Alhamdulillah…” ucap Adi dengan maksud mensyukuri kabar baik dari Pak Indra.
“Masalahnya, si Ito salah mengisi pendapatan bulanan saya,” sela Pak Indra.
Pak Indra bekerja sebagai pegawai golongan III.B di sebuah kantor pemerintah dengan jumlah gaji yang tidak jauh berbeda dengan yang diterima Adi. Karena Pak Indra mulai jadi Pegawai Negeri dengan Golongan II.A dan setelah kuliah di kelas malam hingga lulus menjadi Sarjana Ekonomi melakukan penyetaraan pangkat menjadi golongan III.
“Padahal pendapatan saya selama sebulan tidak lebih dari 6 juta, namun karena dengan harapan bisa diterima di kampus tersebut, maka si Ito mengisi pendapatan saya lebih dari 10 juta,” terang Pak Indra sambil terbata-bata. “Sehingga uang SPP yang diminta oleh kampusnya menjadi sebesar 7 juta per semester dan ditambah biaya lain-lain bagi mahasiswa baru menjadi 8,5 juta totalnya,” tambah Pak Indra. Kusut di wajahnya semakin bertambah-tambah usai mengucapkan kalimat itu.
Sesuai dengan peraturan yang baru, maka besar biaya sumbangan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri akan berbeda setiap mahasiswanya, tergantung dari besar pendapatan orangtua dalam sebulan dan banyaknya anak yang menjadi tanggungan. Semakin besar pendapatan yang diperoleh maka biaya SPP akan semakin besar.
“Hmmm…” Adi termanggu mendengarkan ucapan Pak Indra.
“Masalahnya, Nak, uang SPP dan daftar ulang harus dilunasi besok lusa…” ucap Pak Indra sambil membuka lembaran kertas yang tersimpan di dalam map yang dibawanya sejak tadi, dengan wajah yang menahan sungkan.
“Ini yang membuat saya bingung…” lanjutnya, “terlebih menjelang Lebaran ini, banyak kebutuhan yang meningkat di kampung halaman saya,” tambah Indra.
Adi mengangguk-anggukkan kepalanya, menebak maksud kedatangan Pak Indra siang itu.
“Saya hanya ada uang 5 juta rupiah, sehingga masih harus mencari kekurangannya,” ucap Pak Indra. “Kalau hari kerja saya bisa usaha pinjam ke kantor, tapi kalau hari begini baru bisa ke kantor besok lusa, padahal batas terakhirnya bayar SPP tersebut ya besok lusa juga,” keluh Indra.
Diam beberapa saat. Adi membiarkan Pak Indra menyelesaikan kalimatnya.
“Jadi maksud kedatangan saya ke sini, mau meminta tolong pinjam uang ke Nak Adi,’ ujar Pak Indra menutup pembicarannya yang panjang.
Sejak Pak Indra berbicara soal pendapatan, benak Adi mulai berpikir berapa uang yang ada di tabungannya. Karena Adi sudah menduga bahwa kedatangan Pak Indra terkait pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhannya akan uang sekolah anaknya.
“Iya, ya, Pak, kok kebetulan sekali tagihan SPP tersebut baru diketahui dan harus diselesaikan besok lusa,” Adi menanggapi cerita yang disampaikan Pak Indra.
“Tapi begini, Pak, pada prinsipnya saya siap membantu, namun saya harus berbicara dengan istri saya terlebih dahulu, karena takut dia sudah merencanakan sesuatu yang membutuhkan biaya,” kata Adi. “Sebentar, saya Tanya istri dulu, ya, Pak,” Andi berkata sambil berdiri untuk masuk ke ruang dalam untuk menemui Wardah dan menceritakan kesulitan yang sedang menimpa Pak Indra.
“Iya, nggak apa-apa, Pak, toh uang itu akan lebih berarti bagi yang lebih membutuhkan,” jawab Wardah setelah mendengarkan cerita Adi tentang keperluan Pak Indra.
“Alhamdulillah...” Andi lalu bergegas kembali ke ruang tamu untuk menemui Pak Indra.
“Alhamdulillah, Pak, kami belum memerlukan uang tersebut, jadi kami sepakat untuk meminjamkan terlebih dahulu kepada Pak Indra. Karena dalam hal ini, Pak Indra yang lebih membutuhkan uang tersebut,” ujar Adi setelah duduk di kursi ruang tamu..
“Alhamdulillah ya Rabb,” ucap Pak Indra terdengar lirih dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Terima kasih, Nak,” tambah Pak Indra.
“Iya, Pak, sama-sama, nanti sore saya antar uangnya ke rumah Bapak,” ucap adi.
“Wah! Tidak perlu, Nak, biar saya saja yang ambil ke sini,” jawab Pak Indra, “Masa, saya yang perlu, kok malah merepotkan Nak Adi,” tambahnya dengan senyuman yang mulai mengembang. Seperti ada sesuatu yang lenyap dari wajahnya. Ya, mendung yang bergelayut di sana sudah tak tampak lagi oleh Adi.
“Ah, nggak apa-apa, Pak, sekalian saya pulang dari ATM untuk mengambil uang tersebut,” ujar Adi.
“Baiklah, Nak, saya pulang dulu. Terima kasih atas bantuan Nak Adi, semoga Allah memberkahi kehidupan Nak Adi dan keluarga,” kata Pak Indra seraya mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Adi.
“Iya, Pak, aamiin, sama-sama, semoga kita semua selalu mendapat berkah dari Allah,” kata Adi menjawab sepercik doa dan harapan yang dipanjatkan Pak Indra.
Setelah Pak Indra pulang, Adi menutup pintu, ditengadahkannya tangannya ke atas, “Alhamdulillah ya Rabb, Engkau turunkan kerelaan untuk membantu kepada hati hamba,” batin Adi dalam hati mensyukuri apa yang sudah dilakukan tadi.
Karena sesungguhnya uang itu akan sangat berguna bagi yang sedang membutuhkan, bisik nurani Adi. Ada senyum mengambang di bibirnya. Ada kelegaan yang menguasai dadanya. Terasa demikian lapang.
(Bersambung)
Penulis: Boyke Pribadi
Editor: Setiawan Chogah