biem.co – “Sistem, perguruan tinggi, akademisi; selama ini hanya membunuh kreativitas mahasiswa sebagai calon sarjana.”
Salah satu tujuan negara yang tertuang dalam UUD 1945 adalah “… mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia[1]….” Terlepas dari segi etimologi atau bukan, kita harus meyakini bahwa kecerdasan generasi bangsa menjadi tanggung jawab negara. Negara diharuskan terlibat penuh dalam pencerdasan kehidupan bangsa. Prof. Winarno dalam bukunya Pendidikan Nasional “Strategi dan Tragedi” menyatakan bahwa dengan menutup mata kita bisa menganggap bahwa negara yang baik adalah negara yang mampu menyelenggarakan pendidikan dengan layak seperti yang dilakukan oleh Jepang.[2]
Ukuran keberhasilan pendidikan di setiap negara, khususnya Indonesia, ialah sejauh mana pendidikan nasional yang digeliatkan merupakan usaha yang relevan ditinjau dari amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sejauh mana pendidikan mendatangkan kesejahteraan bagi bangsa, sejauh mana pendidikan berhasil membangun sebuah bangsa yang bermartabat, kokoh dan maju, serta mendayagunakan potensi manusia terampil dan meminimalisir pengangguran. Selama itu semua belum tercapai, pendidikan nasional tidak bermakna apa-apa dan tidak patut dibanggakan meski upaya perbaikan dilakukan dengan mencatut manajemen pendidikan berbasis kompetensi dan sebagainya dari negara lain, tidak akan pernah sesuai dan sesubur benih aslinya karena yang dicontoh hanya bentuk lahirnya saja, tidak melalui penciptaan iklim dan ekologi yang kondusif.[3]
Pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia (mahasiswa) dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya khususnya kesejahteraan pola pikir dan hidupnya. Akan tetapi, seperti kita ketahui bahwa model pendidikan Perguruan Tinggi yang dikeloni (kelola.red) lembaga dan akademisi yang ada sekarang, hanya membebani mahasiswa dengan hapalan-hapalan rumus, teori-teori usang, sekadar mengerjakan soal pilihan ganda dan essay (sekadar menggugurkan kewajiban dosen), tapi seringkali tidak sanggup menerjemahkan ke dalam realitas sosial. Fenomena penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan sebagian besar kampus dan akademisinya hanya sekedar “transfer of knowledge“[4] sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat.
Bagaimana tidak, pendidikan menjadi tercabut dari problem riil yang seharusnya mereka (akademisi.red) jawab dan selesaikan. Pendidikan kita selama ini cenderung hanya berfungsi untuk ‘membunuh’ kreativitas mahasiswa karena lebih mengedepankan aspek verbalisme[5], di mana asas pendidikan ini memprioritaskan kondusifitas kampus, menekankan hafalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta aksi hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Model pendidikan seperti ini disebut sebagai banking education[6], suatu model di mana pendidikan yang tidak kritis, karena hanya diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, dan penyesuaian sosial dengan keadaan penindasan. Mahasiswa sebagai makhluk (creatur) diredam kreativitasnya dengan alasan kondusifitas kampus sehingga mereka menjadi musuh utama akademisi pejabat teras kampus dan pemangku kepentingan. Padahal sebaiknya, selama batasannya tidak melampaui tindakan kriminalitas, seharusnya mahasiswa sebagai calon sarjana dan pemimpin bangsa diarahkan (karena ketidak-tahuan) kepada hal yang lebih produktif dan bermanfaat bagi dirinya, kampus, dan negaranya.
Peran akademisi dan perguruan tinggi seharusnya lebih mengedepankan aspek guidance lebih daripada aspek ego (gugur tugas) semata. Dengan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter, dipastikan sebuah bangsa dapat mengoptimalkan pembangunannya. Masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, yang berimplikasi pada kelaparan dan masalah lainnya bukan tidak mungkin bahkan diyakini dapat teratasi oleh sistem pendidikan yang terintegrasi dan memiliki visi yang jelas meski tanpa menafikan faktor-faktor penunjang lainnya.
Pada tulisan seorang sahabat akademisi yang dimuat di Radar Banten pada 09 Juni 2015 di Kolom Wacana Publik yang dengan terkesan malu-malu dan tidak tegas menyatakan, penyebab sarjana jadi pengangguran hanya tiga; rencana dan gambaran mahasiswa saat kuliah (mungkin maksudnya cita-cita), kurang dan tidak inovatifnya mahasiswa, dan lembaga pendidikan. Penulis tersebut terkesan tidak jujur, padahal sebagai seorang sarjana pendidikan, semestinya beliau lebih tahu permasalahan ini. Banyak hal yang menyebabkan kondisi pendidikan di Indonesia terpuruk seperti ini. Sistem pendidikan di Indonesia yang tidak stabil, anggaran pendidikan yang kurang tepat sasaran, peran serta dosen dan akademisi yang terkesan melegalkan persoalan-persoalan non-etik yang sedang marak “jual-beli ijazah” dan memberikan pemafhuman atasnya, serta infrastuktur pendidikan yang belum memadai menjadi penyebab selanjutnya. Jika Indonesia hanya UI, UGM, UNPAD, yang sudah maju metode dan kualifikasi dosennya lalu bagaimana dengan daerah lain? Hal ini juga berdampak pada ketidakmerataan tingkat pendidikan di Indonesia. Tapi kenapa setiap kampus dan akademisi kita tidak bisa belajar dari mereka? Atau beberapa lembaga pendidikan dan akademisinya terlalu malu belajar dan mencontoh model yang sudah terbukti lebih baik itu? Atau mungkin ada alasan lain?
Revitalisai Peran Strategis Akademis dan Kampus
Sebagai salah seorang akademisi dan bagian dari Indonesia, kita semua mendambakan terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang cerdas dan berbahagia serta makmur melalui pendidikan nasional. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan sistem, sumberdaya, infrastruktur pendidikan yang meng-indonesia-kan. Kalau ada akademisi yang saya sebutkan di atas menulis bahwa penyebab sarjana menganggur adalah cita-cita yang tidak jelas, saya ingin menyampaikan bahwa apalagi yang bisa dicita-citakan generasi bangsa ini jika kemudian setiap cita-cita harus tergadaikan karena connectivity dan money? Bagaimana cita-cita bisa tumbuh subur jika kemudian kompetisi yang ada selalu tidak fair dan tidak terbuka. Para birokrat, petinggi negara dan direksi sebuah perusahaan selalu mengutamakan hubungan darah, primordialisme kedaerahan, dan tentu saja di beberapa tempat selalu tersedia peluang sogok-menyogok. Lalu siapa yang salah?
Lalu penyebab kedua yang diangkat adalah kreativitas mahasiswa yang kurang? Kembali saya ingin menyampaikan, siapa yang membunuh kreativitas mereka di tengah jalan? Mahasiswa dipaksa seirama dengan kampus dan pemangku kepentingan. Ketika muncul sedikit kreativitas yang diejawantahkan lewat aksi sosial atau petisi selalu dianggap ancaman dan harus dibumihanguskan. Kreativitas direnggut dari mereka dengan alasan kondusifitas dan keamanan. Siapalagi yang salah? Akan tetapi, kecuali yang terakhir (penyebabnya adalah Perguruan Tinggi) saya justru ingin mengapresiasi hal ini, dan sebagai sesama akademisi ternyata setidaknya penulis tersebut tahu salah satu penyebab sarjana jadi pengangguran adalah kampus.
Kampus adalah laboratorium akademis di mana mahasiswa calon sarjana digodok dengan segala macam kajian dan analisis. Mirisnya, beberapa kampus diketahui hanya memperlakukan mahasiswa sebagai pelajar kelas, tidak disediakan fasilitas-fasilitas kajian akademis, tidak difasilitasinya kuliah umum sebagai bagian dari tular sukses dari para ahli/pakar, freeze-nya seminar-seminar di beberapa kampus, memberi peluang pada tempurung kenyamanan sehingga membuat mahasiswa terbuai dengan belajar inclass tanpa berupaya menjalin komunikasi dengan lingkungan sekitar. Gara-gara siapa?
Dosen/akademisi adalah profesi, di mana padanya dituntut 24 jam melekat profesi itu layaknya seorang dokter yang dalam keadaan apapun selalu dituntut profesionalitasnya karena terikat etika profesi. Analoginya sederhana, ketika dalam penerbangan/pesawat ada orang yang terluka, seorang dokter karena profesinya wajib membantu meski di luar jadwal praktik, pun dosen. Tidak bisa seorang dosen/akademisi tidak melayani mahasiswa hanya karena hari libur atau di luar kampus atau karena urusan liburan. Profesi ini melekat padanya 24 jam dan seumur hidup selama dia menjadi dosen atau akademisi. Kenyataannya sekarang, mayoritas dosen/akademisi dengan alasan keluarga dan di luar kampus tidak melayani mahasiswa baik yang bertanya dalam pendalaman materi, informasi akademis atau dalam proses bimbingan skripsi. Padahal etika profesi menyematkan pada mereka tanggungjawab generasi bangsa. Lalu siapa yang salah?
Pada akhirnya, bagaimanapun keadaannya, kita semua berharap bahwa masalah yang ada bisa kita atasi bersama-sama dan harapan bangsa tetap kita tumpukan pada mahasiswa sebagai pemuda, sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits: “inna fii yaadi subba(n) amrul ummah.” Di tangan para pemudalah (mahasiswa) terletak masa depan sebuah bangsa. Penulis yakin, mahasiswa sebagai calon sarjana (yang semoga tidak menganggur) bisa mewujudkan ini semua. YAKUSA (Yakin Usaha Sampai). (*)
[1] Preambule UUD 1945
[2] Pendidikan Nasional “Strategi dan Tragedi” Prof. Winarno Surakhmad, MSc. Ed. Penerbit Kompas, Jakarta 2009
[3] I b i d
[4] Fidaus M. Yunus (2004) “Pendidikan Berbasis Realitas Sosial”,
[5] Chaedar Alwasih (1993;23)
[6] Paulo Freire (1970;119)
Penulis: Ega Jalaludin, Bina Persaudaraan Indonesia
Editor: Setiawan Chogah