Judul: Gelombang
Penulis: Dee Lestari
Penerbit: Bentang
Tebal: 474 halaman
Jenis: Novel
biem.co – Mimpi adalah bunga tidur. Itu berlaku bagi orang kebanyakan. Namun tidak demikian bagi Thomas Alva Edison yang dipanggil Ichon. Ia sebenarnya bernama Thomas Alfa Edison, namun karena pelafalan masyarakat sekitar yang rumit, jadilah dipanggil Ichon. Ini berlaku bagi kedua saudaranya yakni Eten untuk panggilan Albert Einsteen dan Uton untuk Isaac Newton. Nama-nama keren ini dilekatkan sang ayah yang hanya lulusan SMA dan terobsesi menjadi insyinyur.
Ichon harus berusaha keras memecahkan misteri dirinya. Sejak kecil ia tahu, ada yang berbeda dari dirinya. Ia bukanlah Ichon seperti manusia kebanyakan. Ia adalah gelombang, sosok yang berkaitan dengan Asko dan seluk-beluknya. Untuk memecahkan semua itu, Ichon harus menjalani kisah rumit dan panjang. Dan semuanya bermula dari mimpi-mimpi menyeramkan dan menyakitkan.
Kisah Ichon baru dimulai pada halaman 21 yakni keping 44. Pada keping sebelumnya yakni 43 masih mengisahkan tentang Gio yang penuh dengan diksi memikat. Meskipun hanya dijabarkan dalam 20 halaman, namun menjadi jembatan kisah Gelombang dengan buku sebelumnya.
Pilihan diksi yang keren di antaranya ada pada halaman 3. Andaikan saja sebagian duka Gio bisa dibagi, Paulo bersedia ikut menanggungnya. Namun, duka menyukai kesendirian. Di dalam ruang yang hanya diperuntukkan bagi satu orang, Gio sedang disiksa oleh duka. Dee Lestari memang terkenal piawai memilih kata, begitu pula saat kata menyukai disandingkan dengan kesendirian. Sangat padat. Dan penuh makna jika dijabarkan. Begitu pula pada kata Gio sedang disiksa oleh duka. Bagaimana bisa duka yang tak punya kaki dan tangan menyiksa Gio? Namun tentu saja bukan siksa secara fisik yang dimaksud Dee. Namun lebih dari itu.
Rangkaian kalimat lain bisa dilihat pada halaman 8. Kabut yang tak tergenggam. Dan aku telah jatuh cinta habis-habisan. Ah sudahlah, untuk urusan pemilihan kata, Dee memang berada di atas angin.
Batu-batu dan Lokalitas
Sebelum cerita Gio diakhiri, secara apik Dee memberikan seutas benang merah sebagai penjembatan mengapa keping 43 ini berada dalam satu buku dengan keping 44. Dan benang merah itu adalah batu-batu. Simak pada halaman 13.
“Ada banyak hal yang tidak terungkap oleh mata kita. Bukan karena mereka tidak ada. Melainkan, kemampuan kitalah yang terbatas untuk melihatnya. Ada hal di dunia ini yang bersama-sama kita sekarang, tapi mereka ibarat batu dan kita ibarat kain,” sambung Amaru, lalu ia mengambil batu itu dari meja.
Dan batu-batu inilah yang akan menjadi poin penting keberadaan tokoh lain. Seperti halnya keberadaan Ichon atau Alfa Sagala atau Thomas Alfa Edison.
Dee Lestari bukanlah penulis kemarin sore yang menghadirkan latar sebagai tempelan. Ia menggalinya secara dalam dan menyajikannya dengan baik. Dan alhamdulilahnya, pada buku ini memaparkannya dengan bahasa tak terlalu rumit. Simak halaman 23, saat Dee menjelaskan awal mula Ichon yang sangat berkaitan pada rangkaian kejadian esok hari. Dan masih berkaitan dengan batu juga mimpi.
Sayangnya, tak ada pilihan lain. Dari semua huta di Kecamatan Sianjur Mula-mula, kampung kamilah perhentian terakhir sebelum puncak Pusuk Buhit. Menempatkan huta kami sebagai perantara bagi mereka yang ingin berkomunikasi dengan roh raja Batak paling sakti. Bukan hanya perkara jarak yang menautkan Sianjur Mula-Mula dan Pusuk Buhit, melainkan sejarah yang tak terpisahkan. Raja Uti adalah legenda setua suku Batak itu sendiri. Bercerita tentang Raja Uti berarti membuka awal dari Pusuk Buhit, awal dari Sianjur Mula-Mula. Awal dari kami semua.
Di sinilah, tokoh-tokoh seperti Ompu Togu Urat, Ni Gomgom, Ronggur Panghutur dari Tao Silalahi dihadirkan. Pun legenda Jaga Portibi yang konon sebagai penjaga manusia. Kisah terus bergerak, yang jika dibagi dalam beberapa fase akan ditemukan pola seperti ini; periode Sianjur Mula-Mula ada pada halaman 21-110, periode Jakarta pada halaman 111-127, periode Hoboken 128-209, periode New York pada 210-362, dan periode Tibet pada 362-473.
Mimpi-mimpi yang Menghantui
Selain batu-batu, legenda lokal, pengetahuan tentang mimpi dijabarkan secara apik dalam buku Gelombang ini. Ichon sang tokoh utama kerap mendapatkan mimpi aneh, mendatangi satu tempat yang sama berkali-kali dan mendapati dirinya menyakiti diri sendiri dengan cara menyedihkan. Ini menyebabkan Ichon enggan tidur.
Dari keterangan Ompu Togu Urat, Ni Gomgom, dan Ronggur Panghutur, Ichon tidak mendapatkan hal memuaskan kecuali teka-teki membingungkan. Dan puncaknya, saat Ompu Togu Urat yang mencelakainya di atas sampan yang melaju di atas danau.
Mimpi-mimpi buruk ini terus saja menguntit meskipun Ichon pindah ke Jakarta pada 1995 bersama keluarganya. Saat itulah Ichon memutuskan untuk tak tidur dalam jangka waktu lama. Ia menyibukkan diri dengan banyak membaca buku pinjaman dari lelaki tua pengumpul buku bekas. Inilah yang membuat Ichon cerdas. Simak halaman 112, quote yang sangat menyenangkan dari Dee tentang orang yang cerdas seperti Ichon yang dinasihati sang lelaki tua. “Kau tahu pekerjaan paling menyiksa dalam hidup ini? Menunggu. Kalau kau terlalu pintar, kau jadi harus menunggu orang-orang bodoh, kau sudah di mana, mereka masih kepayahan lari di belakang. Ikut capek kita.”
Kecerdasan Ichon ini membawanya tetap survive meskipun ikut ke Hoboken pada 1996 oleh si Gultom dari Amerika. Di Hoboken ini, Ichon bekerja sambil sekolah. Tak perlu membayangkan Hoboken adalah surga bagi Ichon yang pada cerita kali ini dipanggil sebagai Alfa. Apartemen atau mungkin rumah susun yang ditinggali Alfa sangat menakjubkan. Liftnya saja sering mati dan dihuni para gengster yang berkuasa di setiap lantai.
Setiap kali lift mati, Alfa yang tinggal di lantai 5 harus mencari cara agar tak bersinggungan dengan gengster pengganggu. Di lantai 4 dihuni geng Rusia, lantai 2 geng Korea, belum lagi geng Meksiko di pelataran.
Penggambaran para imigran gelap di Hoboken ini menjadi pengetahuan baru bagi pembaca. Pun dengan penjabaran di halaman 130. “Sesama Asia tidak lantas memberiku dispensasi. Baru seminggu lalu geng Korea bertikai dengan geng Taiwan. Empat orang mati kena luka tusuk, satu masih koma karena tengkjoraknya retak dihajar toya, pertikaian mereka tak kalah brutal dibandingkan pertikaian geng Eropa. Bedanya, terkadang geng Eropa melibatkan senjata eksotis, dari mulai toya bambu sampai wajan besi yang muat sepuluh porsi nasi goreng.”
Pertemuan dengan Tom Irvine pada halaman 183 membuat Alfa Sagala menjadi salah satu perantau yang sukses dan ini dijabarkan pada penggalan kisah Alfa di New York pada 2003. Awal mula Alfa direkrut menjadi penghuni Wall Street karena menjawab pertanyaan Tom Irvine cukup cerdas. Alfa memiliki teori menyatukan semua bir yang tersisa dari baris kedua dan ketiga, lalu dijual lagi di baris yang pertama untuk mengisi kekosongan stok bir di baris pertama.
Kesibukan Alfa di Wall Street membuatnya workaholic dan mengenyampingkan tidur. Bagi Alfa, tidur hanya akan membuatnya bertemu mimpi menakutkan. Sampai akhirnya ia bertemu Ishtar melalui NSA, agen yang mempertemukan seseorang tanpa harus mengetahui identitas. Secarik kartu NSA dengan kode khusus yang mempertemukannya dengan Ishtar ini didapat dari Troy dan Carlos, dua sahabat Alfa sejak SMA di Hoboken. Tapi justru dari sinilah menguak tali misteri yang mengantarkannya pada Tibet. Pertemuan dengan Ishtar ini membuatnya tidur lebih lama, hingga membawanya ke tempat penanggulangan pengidap insomnia yang dinamai Somniverse. Di sinilah penjelasan mimpi secara ilmiah dipaparkan. Mimpi bukan lagi sekadar bunga tidur.
Karena tak kunjung menemukan teka-teki mimpi di Somniverse meskipun dibantu Nicky dan dr. Colling membuat Alfa nekat mencari dr. Kalden Sakya ke Tibet. Ini dilandasi rasa penasaran Alfa saat bertemu Bintang Jatuh di dalam mimpinya. Bintang Jatuh mengatakan, Alfa masih belum stabil untuk masuk ke dalam Asko. Dan ia butuh Sthirata.
Ada hal menarik mengenai mimpi pada halaman 313. “Alfa. Tidak ada yang eksak dalam mimpi. Memang, ada skill dan teknik. Tapi, alam itu hidup, dan jauh lebih cerdas daripada yang bisa kita bayangkan. Ia berdansa dengan seluruh responsmu, sekecil apa pun itu. Lengah sedikit, emosi yang berlebih sedikit, keraguan, ketakutan, apa pun, dampaknya bisa besar. Apalagi, kasusmu ini luar biasa.” Kalimat dr Colling ini menjawab dari sekian banyak pertanyaan tentang mimpi.
Akhirnya Alfa pun pergi ke Lhasa-Zedang untuk mencari tahu tentang Sthirata. Dari pertemuan dengan dr Kalya, Alfa mengetahui, sthirata merupakan seni bertahan meski muncul rasa sakit, takut, ragu, bahkan euforia. Sthirata ini diibaratkan sebagai tongkat penyeimbang di atas tali dan Alfa harus menyebarangi sungai emosi dan sensasi fisik. Jatuh berarti hanyut. Apapun yang terjadi, Alfa jangan biarkan dirimu hanyut. Hanyut berarti perjalananmu bubar.
Mengenai Asko ini dijelaskan Dee pada halaman 445. “Selama kamu tidak jatuh total, Asko akan pulih dengan sendirinya. Semakin pulih ingatanmu semakin kuat pula kontruksi Asko.”
Rangkaian cerita ini mengantarkan Alfa atau Gelombang pada tokoh-tokoh di buku terdahulu. Masih di halaman yang sama bisa disimak petikan kalimat ini.
“Yang lainnya, partikel, petir, akar dan ada dua lagi aku masih belum jelas melihat enam orang termasuk aku. Kemana aku harus mulai mencari?”
Dr Kalya menjawab, “Kalian terpencar, tidak ada yang tahu persis lokasi satu sama lain karena memang seharusnya begitu. Ingat amnesia adalah kelemagan sekaligus kekuatan kalian. Teman-teman gugusmu juga mengalami proses yang sama denganmu sesuai denhga fungsinya ,masing-masing. Kecepatan kalian masing-masing pasti tidak sama. Tapi begitu satu mulaiu terbangun, pembacar kalian akan teraktivasi. Entah bagaimana caranya, kalian akan saling menemukan.”
Rupanya mimpi Alfa sangat rumit. Sebagai salah satu penjaga atau bahkan pencipta Asko, Alfa mendapat jawaban tentang orang-orang yang selama ini hendak mencelakainya. Itu karena Alfa berada dalam lingkaran peretas, sarvara dan infiltran. Mengenai ini dijelaskan pada halaman 394.
“Peretas adalah kaum amnesia. Amnesia kalian sudah direncanakan. Kalian itu dipilih secara sadar sebagai bagian dari penyamaran. Sarvara dan infiltran? Kami akan selalu mencoba melumpuhkan peretas. Inflitran bertugas membantu peretas dan di atas segalanya menjaga rencana. Tugas utama peretas adalah mengingat dan melaksanakan rencaanya. Demikian fungsi kita masing-masing. Kami membantu peretas dengan menjaga rantai indormasi tetap tersambung, tapi kami tidak boleh memberi tahu lebih banyak daripada yang seharusnya.”
Antiklimaks Alfa menemukan jawaban dari keresahan mimpi-mimpinya pada Lembah Yarlung, di sinilah semuanya diselesaikan. Dan dari situlah Alfa bisa tidur berjam-jam. Tidur paling lama yang dirasakan selama ini.
Pada akhir cerita diwakili satu paragraf yang menjembatani buku Gelombang ini pada buku selanjutnya. Simak paragraf terakhir.
Tiba-tiba pikiranku terantuk. Aku teringat catatan yang pernah kubuat, juga di atas pesawat, saat perjalanan panjang dari Lhasa menuju New York. Berdasarkan catatan itu, nyeri ini adalah tanda yang harus kuwaspadai. Mataku kembali terbuka, melirik ke segala arah. Ada sesuatu dalam pesawat ini. Ada seorang peretas, infiltran, sarvara.
Bersambung ke episode intelegensi embun pagi. Begitulah. Gelombang sanggup membuat pembaca menahan napas dan terus membuka halaman demi halaman untuk mengetahui lebih lanjut tentang batu-batu, mimpi, dan kegigihan Alfa. Selamat membaca bukunya dan rasakan sensasinya. (*)
Hilal Ahmad, pengagum tulisan Dee Lestari, tinggal di Kota Serang.