Episode Nasib dan Takdir
Kisah sebelumnya, baca di sini!
JAM weker yang disetel pada pukul 03.00 berdering nyaring dari kamar tidur Adi dan Wardah. Adi membuka mata sembari menguceknya beberapa kali. “Alhamdulillahil ladzi ahyana ba’da ma amatana wailaihin nusyur....” lirihnya. Beberapa detik kemudian dia bangkit dan meraih jam weker dengan tangan kanannya. Klik! Benda itu berhenti bersuara.
Dilepaskannya pandangannya ke Wardah yang masih tidur pulang, lalu dibangunkannya istrinya dengan penuh kasih sayang.
“Bu… bangun…” ucap Adi dengan nada mesra.
Namun perempuan itu tidak segera menjawab, meski matanya terbuka sedikit, memperhatikan Adi yang sedang mengguncang tubuh wardah dengan perlahan.
“Bu… bangun… sahur, yuk!” sekali lagi Adi mengguncang pelan tubuh Wardah.
Wardah menggeliat, “Iya… iya… dari tadi juga sudah bangun, kok, Pak,” jawab Wardah.
“Lho, kok, masih remem dan nggak duduk?” protes Adi.
“Sengaja aja ibu nggak segera bangun, karena keenakan diguncang punggungnya sama Bapak. Hihihi,” ucap Wardah seraya tertawa kecil dengan nada penuh kepuasan, dirinya berhasil menggoda Adi.
“Ah, Ibu, kayak anak ABG aja,” Adi tersenyum kecut karena dikerjai Wardah.
Seketika keduanya bangkit. Wardah bangun mencari sisir, sementara Adi berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Beberapa menit setelahnya, keduanya telah khusuk di atas sajadah masing-masing. Sekalipun ba’da Isya tadi mereka telah melakukan shalat tarawih berjamaah di Masjid Al-Anshor, Adi dan Wardah tetap menyempatkan shalat malam.
Bait-bait doa indah melantun dari bibir Adi, diikuti dengan ‘aamiin’ dari bibir Wardah di belakangnya. Sebuah perpaduan yang indah. Membuat siapa saja tentu iri, melihat pasangan sakinah seperti mereka berdua.
Usai berdoa, Wardah mencium punggung tangan suaminya. Begitupun Adi, melabuhkan kecupan tanda cinta di kecing Istrinya.
“Bu, bapak masih kepikiran atas takdir yang menimpa Tirta,” ujar Adi sembari membuka kopiahnya. Dirapikannnya rambutnya dengan jari-jemari.
Wardah sibuk melipat sajadah dan mukenanya, “Ah, Bapak, menurut ibu lebih tepatnya nasib yang menimpa Tirta,” timpalnya.
Kemudian Wardah berdiri dan berjalan ke lemari pendingin di ruang makan keluarga, mengeluarkan beberapa sayur dan bahan untuk diolah sebagai sajian santap sahur. Adi mengikutinya dari belakang. Lalu ditariknya kursi dari bawah meja makan, dan menjatuhkan tubuhnya di sana.
“Kok Ibu bisa mengatakan itu nasib?” tanya Adi sambil sambil menuang air putih ke gelas di depannya.
“Ya kalau takdir itu sudah terjadi dan tidak bisa diubah, dan itu adalah hak prerogratif Allah sebagai Sang Maha Pencipta,” jawab Wardah, muncul dari dapur yang bersebelahan dengan ruang makan seraya membawa piring untuk ditata di meja makan.
“Contohnya adalah arah angin yang bergerak sesuai kehendak Allah Sang Maha Pengatur. Tidak satu pun manusia yang bisa mengendalikan arah angin sesuai keinginannya sendiri, toh, Pak?” tambahnya.
Cukup lama wardah terdiam tidak melanjutkan kalimatnya saat tangannya terampil menyusun peralatan makan di meja. Adi tercenung layaknya seorang murid TK yang menanti gurunya meneruskan kalimat.
“Namun, meski arah angin tidak bisa dikendalikan, nyatanya manusia dapat mengatur posisi layar bagi pelaut, atau menggerakkan sayap bagi seorang pilot, juga menarik ulur tali layang-layang untuk mengatur arahnya bagi anak anak yang sedang bermain,” sambung Wardah.
“Maksud Ibu?” tanya Adi dengan raut muka yang tampak masih belum memahami sepenuhnya kalimat dari sang istri.
“Maksud ibu, toh, proses peradilan Tirta masih berlangsung, masih ada upaya Tirta untuk melakukan pembelaan supaya mendapat vonis ringan atau divonis bebas,” jawab Wardah.
Ardi mulai memahami pemaham Wardah tentang takdir dan nasib.
Menurut Wardah, takdir itu sesuatu yang tidak bisa diubah karena sudah terjadi, sedangkan nasib itu adalah bagaimana sikap kita terhadap takdir atau sesuatu kejadian yang telah menimpa manusia.
Adi mengingat bahwa sekalipun Tirta ditakdirkan hidup dalam kekurangan, namun karena Tirta selalu bersikap optimis maka nasib membawanya menjadi seorang sarjana.
Pikiran Adi melayang ke masa beberapa tahun lalu, saat salah seorang muridnya yang diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri dengan program beasiswa penuh, namun berputus asa karena diharuskan membayar SPP dahulu sebelum dana dari program beasiswa dapat dicairkan.
Arfan, sang murid tersebut sempat berkata kepadanya, “Saya tidak usah kuliah, karena saya sudah ditakdirkan lahir dari keluarga tidak mampu, tidak mungkin bisa membayar biaya SPP jutan rupiah itu, Pak.”
“Astaghfirullah… istighfar, Fan! Putus asa itu sebuah dosa, dan kamu tidak bisa menyalahkan takdir bahwa bapakmu seorang petani desa,” ucap Adi mengingatkan Arfan.
Adi segera menelepon Kang Pri, seorang dosennya ketika dulu dia berkuliah.
“Assalamualaikum, Kang Pri…” ucap Adi membuka percakapan melalui ponsel.
Beruntung, sambungan telepon bisa terhubung, karena biasanya pada jam tersebut Kang Pri sedang mengajar.
“Wa’alaikum salam, Di, apa kabar? Tumben, nih, jam kerja begini menelepon, ada apa?” jawab Kang Pri di ujung telepon.
Dengan perasaan harap-harap cemas, Adi memberanikan diri menyampaikan maksudnya tentang jalan keluar bagi persoalan yang sedang dihadapi Arfan.
“Begini, Kang, saya punya murid yang pintar sehingga dia bisa diterima masuk Universitas Negeri melalu jalur tanpa tes, dan bahkan mendapat beasiswa penuh hingga sarjana nanti,” jawab Adi sambil menghela napas.
“Namun, Kang, ada persoalan yang dia hadapi, dan kebetulan saya tidak bisa membantu,” tambah Adi memelankan kecepatan bicaranya.
“Hmmm… persoalan apa, Di, birokrasinya? Atau ada yang lain?” tanya Kang Pri.
“Begini, Kang…” jawab Adi ragu untuk meneruskan kalimatnya. “Persoalannya adalah tentang uang untuk daftar ulang yang harus dibayarkan terlebih dahulu sebelum dana beasiswanya cair, dan anaknya hampir putus asa tidak mau melanjutkan karena keluarganya memang tidak memiliki uang sebanyak itu,” lanjut Adi dengan nada lebih tenang.
“Masya Allah, Di, mosok sampai putus asa gara-gara persoalan begitu, Di… ingatkan dia bahwa Allah itu Mahakaya,” ucap Kang Pri menegaskan. “Baiklah kalau begitu, kebetulan saya sedang dapat rezeki dari hasil penelitian yang sudah selesai dilakukan. Berapa perlunya? Anggap saja rezeki ini memang miliki murid kamu, Di, karena, kok, kebetulan ada uang dan belum saya keluarkan infaknya,” tambah Kang Pri penuh semangat.
“Alhamdulillah,” ucap Adi sambil menadahkan tangan ke atas sebagai tanda bersyukur kepada Allah Swt. “Padahal tadinya aku cuma mau minta penjelasan atau semacam rekomendasi dari, Kang Pri, karena sebagai dosen tentu dia lebih mengerti untuk mengatasi sistem adimistrasi di Perguruan Tinggi Negeri seperti ini,” batin Adi dalam hati.
“Oke, Kang, nanti saya tanya jumlah tepat kebutuhan biayanya, terima kasih, semoga kehidupan Kang Pri semakin berkah… wassalamu’alaikum,” Adi menutup komunikasi telepon dengan Kang Pri.
“Pak… Pak… kok malah melamun?” Wardah menepuk pundak Adi, “makanan untuk sahur sudah siap, nih,” ucapnya, membuat Adi tersadar dari lamunannya tentang Arfan.
“Oh, iya, Bu, bapak tadi sedang mengingat Arfan, murid bapak yang sekarang sudah sarjana dan bahkan sudah bekerja,” ucap Adi sambil membetulkan posisi duduknya.
“Dia memang ditakdirkan lahir dari keluarga kurang mampu, namun karena dia berusaha untuk pintar, maka dia bisa masuk universitas tanpa tes dan mendapat beasiswa penuh hingga menjadi sarjana,” tambah Adi sambil meyakinkan Wardah bahwa dia bisa memahami tentang perbedaan takdir dan nasib.
Takdir sepenuhnya adalah hak prerogatif Allah, namun pada persoalan nasib, ada kebebasan dari manusia untuk berusaha sepanjang kemampuan dirinya sendiri. Sekalipun hasil usaha itu akan membawanya kepada takdir yang lain, karena yang menentukan sepenuhnya kehidupan manusia adalah Allah Sang Maha Pemilik takdir dan nasib. Itulah sebabnya mengapa takdir menjadi rahasia kehidupan, agar manusia berusaha untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Seperti kata pepatah ‘Kamu tidak bisa mengubah arah angin, namun bisa mengubah arah sayap.’
(Bersambung)
Penulis: Boyke Pribadi
Editor: Setiawan Chogah