CerpenInspirasi

Serial Ramadhan: 30 Hari Menafsir Kehidupan (Bagian 6)

Episode Penyesalan yang Indah

Kisah sebelumnya, baca di sini!

ADI tercenung. Masih terngiang di kepalanya perihal obrolannya dengan Fandi tentang kesabaran, hingga Adi teringat kembali sahabatnya, Tirta yang kini mendekam di Rumah Tahanan.

 

Meski Tirta tidak mengindahkan nasihatnya dulu, bagi Adi, Tirta tetap sahabat sampai kapanpun. Atas dasar itu, diajaknya Wardah membesuk Tirta di Rutan. Dimintanya Wardah untuk membawakan makanan kesukaan Tirta untuk berbuka puasa.

 

Setelah menyerahkan Kartu Tanda Pengenal dan mengisi formulir kunjungan di gedung samping rutan, Adi dan Wardah melenggang menuju sebuah gerbang besar yang terbuat dari besi yang memerlukan banyak tenaga untuk membukanya. Namun ternyata  gerbang tersebut dilengkapi dengan sebuah pintu kecil yang cukup untuk satu orang berlalu lalang.

 

Di pintu tersebut, Adi dan Wardah kembali bertemu dengan penjaga pintu untuk menyerahkan formulir kunjungan dan menitipkan ponsel serta menjalani pemeriksaan barang bawaan yang akan diberikan kepada Tirta.

 

Sesaat kemudian, setelah melalui semua prosedur yang berlaku, Adi dan Wardah diminta menunggu di tempat semcam saung yang atapnya terbuat dari daun pohon kelapa dan meja serta kursi yang terbuat dari bambu.

 

“Hmmm… tempat menunggu yang cukup eksotis,” batin Adi dalam hati.

 

Di saung lain, terlihat beberapa orang yang dari gerak-geriknya rupanya juga tengah menunggu saudara, kerabat, kenalan, mungkin sahabat para warga binaan, sebuah sebutan sopan untuk tahanan.

 

Sekitar sepuluh menit menunggu, tampak Tirta dari kejauhan melambaikan tangannya kepada Adi dan Wardah.

 

“Assalamualaikum,” ucap Tirta.

 

“Wa’alaikum salam,” jawab Adi sambil memeluk Tirta sebagai tanda kerinduan akan seorang sahabatnya itu. Kemudian Tirta mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Wardah.

 

“Apa kabar?” tanya Adi dan Wardah berbarengan.

 

“Alhamdulillah, keadaan fisik saya baik-baik saja,” jawab Tirta sambil menundukkan kepala dengan raut wajah grogi.

 

“Hanya kondisi perasaan saja yang kurang baik,” tambah Tirta tertunduk.

 

“Sudahlah, Tirta, kami mengerti dengan keadaan yang sedang menimpamu. Banyak kasus yang sama dialami oleh seorang wakil rakyat yang masih baru,”  kata Adi dengan nada datar seraya meyakinkan Tirta bahwa hal itu bisa menimpa siapa saja.

 

“Iya, Bang, saya juga sering SMS-an dengan mbak Narti untuk mengetahui kondisinya dan anak-anak,” tambah Wardah untuk meyakinkan bahwa mereka tetap menjalin komunikasi dengan Mbak Narti, istri Tirta.

 

Suasana di sekeliling saung mereka riuh ramai. Ada anak anak yang berlarian, berkejaran bahkan sambil menendang nendang bola karet.

 

“Oh, iya, ini Bang, sekadar buah tangan untuk berbuka nanti Magrib,” ujar Wardah sambil menyerahkan bungkusan panganan kepada Tirta.

 

“Wah, nggak usah repot-repot… terima kasih, ya,” jawab Tirta.

 

Setelah menerima bungkusan, Tirta meletakkannya di meja bambu yang berada di depannya matanya nanar penuh haru, beberapa saat mereka semua terdiam.

 

“Betul, Di, yang pernah kau ceritakan dulu, bahwa tidak ada makan siang gratis di dunia politik ini,” Tirta memecahkan keheningan.

 

“Ternyata, temanku yang memberikan mobil itu, hanya dua bulan berselang meminta aku dan teman teman di komisi aku untuk membuat rekomendasi persetujuan terhadap perubahan tata ruang daerah kita,” Tirta melanjutkan kalimatnya.

 

“Da telah lama menyusun rencana akan membangun gedung perkantoran dan pusat bisnis di jalur hijau, sehingga harus diubah dulu peraturan daerah peruntukkan tata ruangnya supaya proyeknya berjalan mulus,” tambah Tirta.

 

Tirta terdiam beberapa saat dengan kepala tertunduk, terdengar nada penyesalan yang dalam.

 

“Aku diseretnya ke dalam kehidupan malam. Dengan alasan meeting, membahas rencana kerja, dan lainya, dia mengajakku untuk bertemu di tempat tempat hiburan malam,” lirih terdengar kalimat dari Tirta.

 

Tirta menegakkan kepala dan sorot matanya memandang langsung kepada mata Adi.

 

“Kamu tahu, kan, bagaimana suasana kehidupan dunia malam?” tanya Tirta.

 

“Sungguh aku sangat menyesal, Di,” ungkap Tirta dengan raut muka teramat sangat menyesali apa yg telah dilakukan.

 

“Hmmm, memang penyesalan itu datang di belakang, Tir, karena kalau datang di depan itu namanya pendaftaran, hehehe,” ucap adi sambil tertawa berusaha mengubah suasana sedih yang mewarnai silaturahim pada hari siang itu.

 

Tirta berusaha untuk tersenyum untuk mengimbangi Adi dan Wardah yang tertawa kecil.

 

“Betul juga, Di, penyesalan itu muncul setelah semua terjadi,” ujar tirta dengan suara yang lebih keras, menandakan kesedihannya sudah mulai sirna.

 

“Alhamdulillah, dengan rasa penyesalan ini, banyak hikmah yang bisa aku dapatkan selama di rutan untuk menebus dosa yang telah aku lakukan di hadapan Allah. Aku bisa lebih khusyuk beribadah, hampir sebagian besar waktu aku disini dihabiskan untuk berdzikir, membaca Al Quran, menjalankan shalat sunnah, dan ritual ibadah lain yang jarang aku lakukan selama di luar rutan,”  Tirta menjelaskan berbagai hikmah yang bisa dia ambil.

 

Nasi sudah menjadi bubur untuk menggambarkan sebuah penyesalan, namun di balik setiap persitiwa ada sikap yang harus kita ambil. Apakah larut dalam penyesalan dengan membiarkan bubur yang tidak mungkin berubah kembali menjadi nasi, atau menyiapkan kacang, daun bawang, kecap asin, kerupuk, dan lainyya untuk menghiasi bubur tersebut agar menjadi enak dan bisa disantap.

 

Mendengar penuturah tentang hikmah yang bisa diambil oleh Tirta dengan peritiwa tersebut, Adi berkata dalam batin, aku jadi teringat sebuah kalimat bijak bahwa jika tidak mampu bersaing dengan para salihin dalam ibadah, maka berlombalah dengan para pendosa dengan istighfarnya.

 

“Aku akan berusaha memperbanyak istighfar, karena ternyata penyesalan seorang pendosa lebih mulia, dari pada rasa bangga atas ibadah yang dilakukan oleh seseorang hamba,” janji Adi yang terucap dalam hati. (Bersambung)


Penulis: Boyke Pribadi

Editor: Setiawan Chogah

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button