ADI terjaga dari tidurnya. Benda bundar yang tergantung di tembok di hadapannya menunjukkan pukul 03.28. Kantuk yang menggelayutinya memaksanya untuk kembali menutup kelopak matanya dalam-dalam, namun masih jelas ditayangkan dalam pikirannya kejadian seminggu lalu itu – ketika dia masuk ke liang lahat untuk menguburkan jenazah ayahanda yang dicintainya.
Gelisah menyerang perasaan dan pikirannya, kantuknya tiba-tiba lenyap.
“Astaghfirullah hal adzim,” gumamnya seraya melompat dari ranjang yang dia tempati dengan Wardah, istrinya.
Adi bergegas ke kamar mandi. Dia ambil air wudhu, bermaksud mengurangi gelisah yang berkecamuk dalam pikirannya. Kini dia bersimpuh di hamparan sajadah yang digelarnya. Sekali lagi matanya menatap benda bundar yang setia menghuni dinding. Pukul 03.45. Ya Rabb, hamba ingin berbicara dengan-Mu, gumamnya.
“Allahu Akbar….” takbir pertama membuka komunikasinya dengan Sang Khalik. Malam masih begitu pekat dan sunyi, namun tetap saja, pikiran Adi tidak bisa mengerahkan konsentrasi sepenuhnya pada shalat yang sedang dilakukannya. Berkecamuk dalam pikirannya pertanyaan mendasar bagi manusia. Apakah makna serta tujuan hidup dan kehidupan?
Penguburan ayahandanya yang berlangsung tepat seminggu yang lalu rupanya begitu penguasai Adi. Dirinya merasakan betul guncangan hebat dalam liang lahat ketika menurunkan jenazah almarhum ayahandanya. Bagaikan mengalami proses relativitas waktu, dia merasa berada sangat lama dalam liang lahat untuk menyaksikan rangkaian kehidupannya sejak kecil hingga saat ini. Padahal, ketika dirinya beranjak keluar dari liang lahat, seluruh prosesi penguburan tersebut tidak lebih dari tiga puluh menit.
Kenakalan-kenakalan semasa kecil, remaja, hingga dewasa, dan pembangkangan dirinya terhadap ketentuan Allah yang bertujuan menciptakan manusia sebagai mahluk yang hanya mengabdi kepada Sang Khalik, hadir silih-berganti serupa tayangan slide. Padahal, dirinya sangat tahu, selama ini Allah selalu menurunkan petunjuk dan isyarat yang sangat jelas, namun rupanya godaan mengambil posisi sebagai pemenang dalam hati Adi.
Meski telah berusaha memenuhi shalat 5 waktu, namun Adi masih terasa berat untuk melakukannya, apalagi secara berjamaah. Padahal masjid persis berada di hadapan ruangan di kantornya, juga masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Ah, Adi didera rasa bersalah yang bertubi-tubi. Sebagai seorang guru, terlalu banyak nasihat yang diberikan kepada muridnya, meski dirinya lebih sering melanggar nasehat itu sendiri. Lebih-lebih, sebagai pegawai pemerintah, dirinya banyak memakan uang yang secara hakiki merupakan hasil dari kecurangan dan permainan sebuah sistem yang salah.
Semua kesalahan itu dilakukan secara berulang, sekalipun ia rajin mendengarkan ceramah agama dan ikut pengajian serta mendengarkan taushiyah dari para ustad dan ulama yang terkenal di kotanya.
Bergetar tubuhnya tengah malam itu. Gelisah ketika mengingat bahwa kematiannya pasti akan tiba sewaktu-waktu dalam saat yang tidak pernah diketahui oleh dirinya sendiri.
Teringat Adi nasihat gurunya, hanya amal kebajikan yang dilakukan sebagai bentuk penghambaan kepada Sang Khalik itulah yang kelak akan dibawa menemani jasad di alam kubur. Padahal semasa dia hidup, hingga kini telah beristri dan memiliki keturunan, Adi sadar, dirinya melakukan berbagai aktivitasnya hanya untuk kepentingan duniawi semata, bukan sebagai bentuk peribadatan dan penghambaannya kepada Allah.
Arus gelisah semakin kuat menerjangnya. Bagi Adi, menjadi guru adalah sebuah keterpaksaan karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa dia lakukan, sekalipun orang memandang guru sebagai pekerjaan mulia, namun bagi menjadi guru hanyalah sebuah pekerjaan untuk mencari nafka. Terlebih sejak beberapa tahun terakhir ketika jasa seorang guru semakin dihargai dengan nilai materi dalam bentuk berbagai tunjangan, nafsu materialismenya semakin menjadi-jadi dan mengusai.
Memang, Adi tahu bahwa bekerja itu bagian dari ibadah, namun kenyataan yang sangat jelas adalah bagaimana Adi tetap menjalankan kegiatan pekerjaan, rapat, pertemuan, pelatihan, seminar dan lain sebagainya sekalipun panggilan azan berkumandang.
“Aaah… biarlah, toh Allah Mahatahu bahwa saya sedang bekerja,” gumamnya kala itu setiap azan berkumadang di masjid depan kantornya. Gumaman yang sama yang selalu hadir setiap kali azan memanggil. Adi tersungkur dalam sujudnya yang berurai air mata. Dia insaf bahwa selama hidupnya, dirnya lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang panggilan untuk Sang Maha Pencipta.
Dadanya masih bergetar. Lama dirinya terpaku di sajalahnya tengah malam itu. Lama dirinya terdiam ucai kecamuk yang mengusai perasaanya. Diambilnya napas dalam-dalam, seliter, dua liter udara segar terasa memenuhi rongga paru-parunya. Dirinya merasa lebih damai.
“Alhamdulillah,” ucapnya memecah hening. Diusapkannya kedua telapak tangan ke wajahnya yang sembab. Namun kini Adi merasakan hatinya demikian lapang. Ada pengharapan yang timbul di alam dirinya seperti secerca cahaya yang ingin dikejarnya, direngkuh, dan Adi bersimpuh.
“Ramadhan...,” ucapnya lirih, namun begitu mampu mengguncangkan dadanya. Ya…. Ramadhan, bulan mulia, bulan di mana terbukanya pintu langit untuk menerima pertaubatan dan doa hamba-Nya. Dan Adi akan berusaha untuk menafsir makna hidup yang hakiki selama bulan suci tersebut.
(Bersambung)
Penulis: Boyke Pribadi
Editor: Setiawan Chogah