biem.co – Mampukah kita hidup tanpa dinding? Tanpa sekat yang memisahkan “aku di luar” dan “aku di dalam”? Tanpa pembatas antara “gila” dan “waras”? Yang kesemuanya itu melebur Barat dan Timur, melipat rentang segala jarak, meringkus waktu tak tahu tuju? Saya tak tahu.
Tapi belakangan ini, saya tahu bahwa adik saya yang paling kecil, Apuh (5 tahun), gemar mencoreti dinding dapur dengan spidol, krayon, pensil, pulpen, arang, dan bahkan lipstik ibu. Bentuknya macam-macam, aneh-aneh: bebek yang tidak seperti bebek, robot entah dari zaman entah, payung yang mirip buah cokelat, atau buaya yang mirip cacing raksasa. Dan dalam setiap coretannya itu, nyaris tak ada garis yang tak terhubung dengan garis-garis sebelumnya. Semua garisnya sambung-menyambung, melengkung, meliuk, bertumpuk.
Karena ulahnya itu, tentu saja ibu yang lebih menyukai dinding bersih tanpa noda—sekalipun warna cat di dinding dapur itu telah kusam—kerap memarahinya. Apalagi, ketika lipstiknya digunakan mewarnai buaya yang mirip cacing raksasa itu. Ah, buaya-merah-cacing-raksasa. Dan sembari mengalihkan perhatian adik saya itu, kadang-kadang ibu menganjurkannya untuk mencoreti whiteboard saja agar mudah dihapus. Tapi, ibu lebih sering menyuruhnya belajar membaca dan menulis huruf-huruf dan angka-angka, ketimbang membuat corat-coret—yang menurut ibu teu paruguh—itu.
Mungkin karena itu, beberapa hari lalu sepulang dari PAUD, ibu terus-menerus memarahi Apuh yang tidak berhasil menjuarai lomba menulis angka dan huruf di sekolahnya itu. Karena dimarahi, Apuh tampak murung, mengambek, dan balik marah. Lalu saya mencoba menghiburnya, mengajaknya menggambar dan mencoreti dinding dapur, sembari sesekali berbicara kepada ibu mengenai potensi anak yang tak mesti sama. Ah, entahlah mengapa para orang tua kerap memaksakan kehendak kepada anak-anaknya.
Dan esoknya, sepulang sekolah Apuh menggedor-gedor pintu kamar saya dan memaksa saya untuk bangun. Dengan sumringah, ia menunjukkan hadiah yang diperolehnya karena berhasil menjadi juara tiga lomba menggambar dan mewarnai. Tentu saja saya memujinya dengan senang hati, meskipun ibu tampak tak terlalu bangga dengan prestasinya itu. Bagi ibu, mungkin calistung lebih berarti ketimbang menggambar-mewarnai. Ah….
Dalam pada itu, saya jadi teringat esai Goenawan Mohammad berjudul Tatapan Jaka Tarub (2012). Dalam esai tersebut ada menyebutkan bahwa asal mula pertama seni rupa lahir dari sebuah dinding. Konon, seorang gadis dari Korintus meminta kekasihnya—yang hendak berangkat berperang dan terpaksa meninggalkannya itu—untuk berdiri di samping sebuah lampu. Lalu, gadis itu mengguratkan arang di tembok mengikuti bayangan kepala si pacar. Maka jadilah sebuah bentuk. Setelah itu, Ayah si gadis yang seorang juru gerabah, membuat relief dari lempung berdasarkan bentuk bayangan atau guratan arang itu. Nah, dari situ, dari tembok rumah itu, tampak bahwa dinding telah berubah menjadi sebentuk ruang bagi suatu ungkapan atau ekspresi, dan bukan lagi sekadar pembatas vertikal yang memisahkan manusia yang satu dan lainnya. Barangkali, hal itu serupa belaka dengan dinding-dinding di luar ruang, yang diperlakukan sebagai medium serupa kanvas kosong oleh para seniman graffiti. Bukankah graffiti adalah ungkapan-ungkapan? Dan saya pikir, hal itu paralel pula dengan corat-coret teu paruguh Apuh ketika menggambar dan mewarnai dinding dapur itu. Bukankah gambar-gambar aneh yang dihasilkannya itu adalah juga suatu ekspresi?
Dan barangkali benar bahwa dinding tidak lagi sekeras-kaku yang pernah kita bayangkan dulu, yang pernah dibayangkan ibu. Dinding yang itu telah luruh, lumer, tak bersisa. Sebab dinding tak pernah lagi sekadar—sebutlah—tembok Berlin (1961-1989), tembok besar China (sejak abad ketujuh sebelum Masehi), tembok pemisah Israel (sejak 2000), atau tembok rumah yang dicoreti anak-anak yang asyik belajar menggambar dengan krayon atau arang atau lipstik ibunya—yang memisahkan relasi horisontal antara kita dan mereka, antara di sini dan di sana. Dinding bukan lagi batas fisik yang tegas, simbol pemisahan yang menegaskan perbedaan, yang mengawali dan mengakhiri ruang chaos tanpa ujung. Bukan. Bukan itu.
Kini, dinding hanyalah arsitektur yang lemah-lentur. Sebagaimana dinding (wall) Facebook yang bukanlah sebuah batas, melainkan sebuah penghubung yang secara terus-menerus menyimpan ungkapan-ungkapan, doa-doa, keluh-kesah, rayuan gombal, yang melulu diperbarui saban waktu saban mau.
Tapi dinding, sekalipun dibuat begitu kokoh-tebal dan tinggi menjulang, melulu menyisakan sebuah pintu. Entah pintu di belakang rumah atau di depan rumah. Dan sebuah pintu, mungkin saja terbuat dari selembar kaca bening. Sebagaimana kata Afrizal Malna dalam puisi “Seminar Puisi di Selat Sunda”: Sebuah pintu kaca untuk melihat ke luar untuk melihat ke dalam. Barangkali, pintu dalam sajak itu berfungsi juga sebagai ambang bagi identifikasi posisi diri dan liyan, sekaligus pintu untuk mengamati segala yang di luar tanpa perlu merasa terlibat, tetap berjarak, dan tentu saja menjamin perasaan aman-nyaman. Tapi sekaligus, itu juga pintu yang selalu tersedia bagi tempat kita mengetuk setelah tak mampu lagi berpaling, sebagaimana kata Chairil Anwar: …di pintu-Mu aku mengetuk/ Aku tak bisa berpaling.
Tapi, ah, bukankah ketika dinding telah menjadi pemisah ia selalu memicu rindu dari yang terpisahkan itu? Sebab dinding—baik yang keras-kaku maupun yang lemah-lentur—selalu menyimpan kisah-kisah yang mengharu-biru, kisah-kisah pembelajaran, kisah-kisah perlawanan, kisah-kisah percintaan, dan sebagainya, dan seterusnya. Dan kadang-kadang, saya menginginkan dinding yang memicu rindu itu, dan ingin mengetuk sebuah pintu….
Dalam hal ini, dinding tak lagi kita maknai secara harafiah sebagai semata tembok keras-kaku. Ia boleh saja berupa sekat, pagar, tirai, patok, partisi, tabir, hijab, benteng, baluwarti, bendung, bilik, gedek, tepas, bidai, abar-abar, selaput, alang, paldu, dan lainnya. Atau malah barangkali, dinding di sini dapat disejajarkan dengan jaring lemah laba-laba di mulut gua yang menyelamatkan sang nabi—terlepas apakah hadis yang menuturkan kisahan itu sahih atau daif.
Dan barangkali, hari ini, menjelang Ramadan ini, kita lebih memerlukan dinding lunak-lemas yang dapat dilepas-pasang kapan pun kita perlukan. Dinding yang bukan lagi pemisah tegas-kaku antara Barat dan Timur, antara “aku di dalam” dan “aku di luar”, antara gila dan waras, antara kita dan mereka, antara di sini dan di sana, antara berpuasa dan tidak berpuasa. Melainkan dinding yang dilengkapi sebuah pintu dan/atau jendela kaca, untuk melihat ke luar, untuk melihat ke dalam. Dinding di dalam diri agar kita tak sekadar lebur dalam zaman, terlibat tapi tetap berjarak, berpuasa tapi mampu menghargai yang tidak berpuasa, dan tetap mampu melakukan identifikasi bagi posisi diri. Dinding bagi sebuah ekspresi.
Lantas, benarkah kita mampu hidup tanpa dinding? [*]
Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011. Sementara kumpulan cerpen keduanya berjudul Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar direncanakan terbit tahun ini.