KabarTerkini

Kepala Badan Bahasa: Bahasa Mengawal Bangsa

 

biem.co, JAKARTA – “Satu-satunya yang membuat Indonesia bertahan pasca-reformasi adalah bahasa Indonesia,” ujar Prof. Dr. Mahsun M.S. dalam sambutannya pada saat pembukaan seminar politik bahasa yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Hotel Best Western Premier The Hive, Jakarta, Kamis (4/6/2015). Menurut Mahsun, tak sedikit pakar bahasa yang telah meramalkan bahwa Indonesia akan terpecah-belah menjadi negara-negara kecil pasca-reformasi. Namun itu tak terbukti berkat bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.

 

“India dan Pakistan saling mengidentifikasi keberbedaan satu sama lain, membedakan bahasa, demi negara-bangsa. China menyatukan berbagai dialek, menyatukan bahasa, demi negara-bangsa. Israel menghidupkan kembali bahasa Ibrani demi mewujudkan negara-bangsa. Dan Indonesia menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, demi negara-bangsa,” ujar kepala Badan Bahasa itu.

 

Belakangan ini, situasi kebahasaan di Indonesia yang terus berkembangan dinamis memiliki beberapa kecendurung. Di antaranya, isu kemelayuan di mana bahasa Melayu cenderung ditempatkan untuk melampaui kedudukan dan fungsunya sebagai bahasa daerah dan bahkan untuk bersaingan dengan bahasa Indonesia di luar negeri. Sementara di dalam negeri, pemekaran otonomi daerah kerap ditentukan dengan menggunakan bahasa kesukuan setempat sebagai batas wilayah administratif. Bahkan tidak jarang penggunaan bahasa daerah telah menggantikan bahasa Indonesia dalam situasi resmi di kantor pemerintahan.

 

Terkait otonomi daerah, Prof. Dr. Bernd Nothofer, dari Universitas Frankfrut, Jerman, yang telah lama melakukan penelitian mengenai bahasa-bahasa di Indonesia menyebut Banten sebagai salah satu contoh. “Bahasa daerah menjadi salah satu penentu pemekaran otonomi daerah, meskipun tidak disebut secara eksplisit, sebagai identitas pembeda dan membuat suatu daerah menuntut pemekaran,” ujar guru besar yang pernah meneliti bahasa sunda Baduy pada tahun 1970-an ini. Hal sama juga terjadi di Cirebon dan Banyumas, yang belakangan juga menuntut pemekaran karena merasa memiliki identitas (bahasa) yang berbeda.

 

“Di Banten, misalnya, ada aing dan nyatu. Di Jawa Barat tak ada. Coba saja ajak perempuan Jawa Barat nyatu, pasti pingsan,” tambah Nothofer sambil terkekeh. Aing dalam bahasa sunda Banten berarti ‘saya’ atau ‘aku’, sementara nyatu berarti ‘makan’.

 

Sementara itu, Mahsun menuturkan bahwa seminar politik bahasa yang mengusung tema “Mengawal Bangsa Besar dengan Berawal Bahasa” ini merupakan forum pemutakhiran kebijakan nasional kebahasaan atas rumusan politik yang telah dihasilkan dari dua seminar terdahulu, yaitu seminar politik bahasa pada tahun 1974 dan 1999. “Dari seminar kali ini diharapkan dapat menghasilkan perumusan mutakhir mengenai arah kebijakan bahasa Indonesia ke depan,” tambahnya.

 

Seminar politik bahasa ketiga yang berlangsung dari tanggal 3-6 Juni 2015 ini dihadiri lebih dari 200 peserta. Mereka adalah para pengambil kebijakan pemerintah dan kalangan pakar, dosen, guru, sastrawan, budayawan, pemuda, dan peminat serta pemerhati bahasa dan sastra Indonesia. [NE]

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button