biem.co – “Masa depan milik kerumunan,” kata Don DeLillo dalam novel Mao II. Barangkali ini benar, sebab di zaman yang serba-hiper ini, menjadi bagian dari kerumunan seakan tak terhindarkan. Tak ada pilihan untuk menjadi diri sendiri yang memiliki citra paling personal; untuk menjadi individu yang tegak merentak, diri-sekeliling kita bentak. Betapa, bahkan dalam situasi seorang diri pun, di depan sebuah lensa kamera, penampilan dan pose seseorang dapat dipastikan merupakan bagian dari kerumunan pose orang-orang yang lain.
Lihat saja pose pasfoto pada kartu tanda penduduk, paspor, ijazah, bahkan surat nikah. Semua manusia, kecuali bayi barangkali, memiliki pose yang sama: leher tegak-kaku, pandangan lurus tanpa ekspresi, dengan rambut tersisir rapi (atau berpeci bagi laki-laki dan berkerudung bagi perempuan). Semuanya adalah pose yang sama, yang entah sejak kapan menjadi baku-kaku (atau beku?) semacam itu. Belum lagi pose-pose sepasang pengantin dalam resepsi pernikahan. Duhai, tak mampukah kita menciptakan pose baru? Tak mampukan kita menjadi berbeda?
Beberapa waktu lalu, seorang kawan yang telah melangsungkan pernikahan, memperlihatkan sebuah album foto. Tentu isinya sudah bisa ditebak, yaitu beberapa pose antara ia dan istrinya dalam pakaian lengkap khas pengantin—yang disewanya dari seorang tukang rias yang tentu telah menyewakannya juga kepada berpuluh atau beratus pasang pengantin sebelumnya. Maka, pose yang tampak dalam potret sepasang pengantin itu—baik dengan latar puade atau kamar tidur—sama belaka dengan pose pasangan pengantin sebelum mereka. Salah satunya adalah pose ketika pengantin perempuan duduk di kursi dengan muka tengadah sembari memegangi kedua tangan pengantin lelaki yang berdiri dengan muka menunduk; yang keduanya tampak beradu pandang. Tentu saja dengan senyum yang “seolah” bahagia.
Pose semacam itu, telah berkali-kali saya temui dalam album foto pernikahan beberapa kawan. Bahkan, entah kebetulan atau memang kita telah benar-benar tak bisa luput dari kerumunan (pose yang sama), pakaian pengantin yang dikenakannya pun sama belaka. Seolah-olah, tanpa pakaian pengantin seperti itu dan tanpa pose seperti itu, ia—kawan saya itu—akan dianggap liyan, aneh, atau berbeda.
“Keberbedaan kerap mendatangkan petaka,” kilahnya. Maka selamanya kita hidup dalam ketakutan menjadi berbeda. Ah, saya mulai curiga, jangan-jangan pose semacam itu telah pula menjadi baku bagi pasangan pengantin? Atau, sekali lagi, kita takut menjadi berbeda karena tak lagi bisa menjadi individu yang merdeka. Individu-individu yang menyokong kerumunan, dan bukan menjadi kerumunan yang melenyapkan identitas individu. Atau barangkali, kita telah pula memaknai bahwa identitas paling personal justru diperoleh ketika menjadi bagian tak terpisahkan dari kerumunan. Aduh, gawat….
Saya rasa, hal serupa juga telah lama menjangkiti para politisi kita. Betapa, poster-poster, baliho-baliho, spanduk-spanduk, dan media visual lainnya memampangkan wajah-wajah para calon anggota legislatif atau eksekutif itu dalam pose yang sama. Pose pasfoto. Padahal, dengan mencantumkan jargon paling optimistis—sekalipun kelak tidak pernah terbukti—juga menerakan sederet titel akademik di depan dan di belakang nama mereka, tampaknya para calon anggota legislatif atau eksekutif tersebut ingin menunjukkan—atau kelak membuktikan—bahwa kinerjanya akan berbeda dan “jauh lebih baik” dari orang-orang yang menduduki posisi-posisi tersebut sebelum mereka.
Agaknya, ada yang ironis di sini. Betapa tidak, dengan gaya berpolitik yang sama, dengan cara kampanye yang sama, dengan meneriakkan jargon perubahan yang sama kerasnya, dengan menempelkan atribut kampanye di tempat-tempat umum yang sama-sama melukai pohonan, mengotori tiang listrik, membuat semrawut tampilan kota, dan tampakan wajah-wajah pose pasfoto pada poster-spanduk-baliho yang berulang setiap sepuluh meter hingga mengalami repetisi sedemikian rupa, adakah mungkin menghasilkan kinerja yang berbeda yang konon akan lebih baik dari kinerja para legislatif dan eksekutif sebelumnya?
Ah, bahkan keberulangan poster-spanduk-baliho yang ingin menyampaikan kelebihan (baca: keberbedaan) itu, telah terjerumus pada sikap takut dianggap sebagai liyan atau memang tak mampu menciptakan pose yang berbeda sama sekali. Sebab berpose aneh (baca: berbeda) dalam kehidupan berpolitik, barangkali, hanya mungkin dilakukan orang sinting.
Namun keberulangan atau repetisi pasfoto dalam poster-spanduk-baliho itu begitu melingkar-lingkar. Setiap pohon, setiap tiang listrik, setiap persimpangan jalan, wajah-wajah berbeda dalam pose pasfoto itu terulang terus-menerus kepada mata siapa pun yang melewatinya. Barangkali, ini semacam taklid buta kepada seruan Hitler bahwa kebohongan yang terus diulang-ulang, berulang-ulang, dan secara terus-menerus, toh akan menjadi kebenaran juga. Barangkali benar begitu, sekalipun, mata yang melihat wajah-wajah dalam pose pasfoto itu tak pernah benar-benar mengenali mereka. Apalagi mata saya yang sudah harus mengenakan kaca mata, dan hanya melihat sekilas sembari mengendarai sepeda motor dengan kecepatan rata-rata 50 km/jam tanpa pernah bisa membaca keseluruhan jargon dan nama dengan sederet embel-embel titel akademik si pemilik foto.
Aduhai, bagaimana mungkin kita memercayakan kelangsungan berbangsa dan bernegara kepada mereka yang tidak memiliki citra personal? Kepada individu yang identitasnya telah lenyap di dalam kerumunan partai tanpa mampu menjadi individu yang tegak merentak, diri-sekeliling kita bentak? Padahal kita tahu belaka, bahwa individu yang tak memiliki citra personal, yang lenyap dalam kerumunan, hanyalah seorang tanpa identitas yang akan tergerus arus, dan hanya mungkin berguna sebagai kadaver. Ah…. [*]
Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011. Sementara kumpulan cerpen keduanya berjudul Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar direncanakan terbit tahun ini.