InspirasiOpini

Ruang Bahasa: Bebenah Bahasa Acakadut

 

biem.co – Konon, Tuhan yang cemas mengacaukan kata dan kata-kata dari lidah manusia. Maka terseraklah mereka ke berbagai penjuru bumi karena tak lagi mampu berkomunikasi. Mereka berhenti membangun kota, berhenti membangun menara, berhenti membangun bangsa, berhenti berbahasa. Padahal mulanya, mereka telah berhasil membentuk satu bangsa yang hanya menggunakan satu bahasa di atas satu-satunya peradaban di dunia. Namun ternyata, Tuhan khawatir dengan kesatuan bangsa dalam satu bahasa itu. Sebab setelah “kesatuan” itu, konon, segara rencana manusia pasti terlaksana. Barangkali, Tuhan pun tak akan mampu lagi menghalangi manusia dari keinginan-keinginannya.

 

Bagi saya, yang patut digarisbawahi dari kisah babel yang termaktub dalam kitab Genesisitu adalah kata-kata: “Maintenant rien ne les empêcherait de faire tout ce qu’ils auraient projetê.” Yang kira-kira bermakna: “Sesudah itu [sesudah membentuk satu bangsa dan satu bahasa] tak ada lagi yang bisa menghalangi mereka melekakukan apa saja yang mereka mau.” Dengan kata lain, tak ada rencana manusia yang tak mungkin terlaksana. Segalanya niscaya belaka. Kiranya, kata-kata bernas itu dapat dimaknai bahwa pembangunan suatu peradaban, mula-mula, dibangun di atas kesadaran berbahasa dan dalam bahasa yang sama.

 

Barangkali, ketika Encep Abdullah menulis pelbagai kasus-kasus bahasa yang menggejala dalam keseharian kita—yang kemudian dikumpulkan dalam Wisata Bahasa; Cabe-cabeanini—, ia percaya pada kesatuan bahasa dan bangsa sebagai awal mula berdirinya suatu peradaban. Bahasa yang mempersatukan manusia, bangsa, melahirkan peradaban luhur, dan sebagainya dan sebagainya. Dan sebagai seorang sarjana bahasa, saya rasa, kejelian dan kepedulian Encep terhadap pelbagai gejala bahasa itu memang patut diacungi jempol. Betapa tidak, ia tampak begitu gelisah, tergugah, terganggu, terpicu, untuk membenahi ke-acakadut-an penggunaan bahasa Indonesia, baik yang tertulis maupun yang terujar, agar memenuhi standar baku sebagai bahasa yang “baik dan benar”.

 

Coba kita perhatikan berbagai kekeliruan berbahasa yang kaprah kita lakukan. Dalam tulisan “Doktrin Bahasa Nenek Moyang”, Encep memapar beberapa kekeliruan tersebut. Di antaranya, bis/bes (untuk menyebut bus), busway (untuk menyebut salah satu moda transportasi), AC (yang sering dilafalkan a-se), WC (yang sering dilafalkan we-se), mati lampu, absen (untuk menyebut daftar hadir), dan sebagainya. Menurut Encep, semua istilah itu telah kita warisi begitu saja dari nenek moyang, tanpa pernah menyadarinya sebagai suatu kekeliruan. Bagi Encep, kekeliruan semacam itu mesti diluruskan agar sesuai dengan standar bahasa yang “baik dan benar” itu. Maka, dipaparkanlah perbaikan atas segala kekeliruan itu, seperti: bukan “bis/bes” melainkan “bus”; bukan “busway” melainkan “bus Trans Jakarta” (karena busway berarti jalan untuk bus dan bukan bus itu sendiri); bukan “mati lampu” melainkan “mati listrik”; bukan “absen” melainkan “daftar hadir” (karena absen bermakna tidak hadir); serta AC dan WC mesti dilafalkan “a-ce” dan “we-ce”.

 

Sementara dalam tulisan “Buang Air Harap Disiram”, Encep menyasar kerancuan-kerancuan informasi tertulis yang kerap kita temukan. Menurut Encep, informasi “buang air harap disiram” menjadi rancu karena kurang/hilangnya kata “besar” atau “kecil” setelah frasa “buang air”. Jadi informasi itu tidak lengkap dan mengakibatkan Cak Lontong menghambur-hamburkan air karena terus-menerus menyiram air yang telah dibuang; sementara menyiram itu sendiri sama dengan membuang air. Lalu juga muncul informasi: “yang bawa Hp harap dimatikan” yang membuat si Entong enggan salat ke masjid karena takut dibunuh (dimatikan) lantaran si Entong membawa Hp.

 

Selain itu, ternyata Encep juga jeli memperhatikan keriuhan bahasa prokem yang secara tiba-tiba menjadi begitu populer, semacam “cabe-cabean”, “bingit” “woles”, “keles”, “ok fix”, atau ujaran spontan yang tampaknya tidak bermakna seperti “wakwaw”, “prikitiw”, “pertinyiinnyi” dan sebagainya. Bahkan, slogan para calon anggota legislatif yang dipampang di spanduk/baliho dan plang di jalan-jalan pun tak luput dari perhatiannya.

 

Hanya saja, dalam menyampaikan argumen-argumennya terkait kasus-kasus bahasa itu, Encep tampak lebih banyak merujuk pada KBBITesaurus, buku panduan Tata Bahasa Baku, dan buku-buku sejenisnya. Maka, tak heran jika Encep tak sungkan-sungkan untuk mengutip kalimat sakti dari stiker ini: “Ketertiban berbahasa mencerminkan keteraturan berpikir dan bertindak”. Baiklah, baiklah…. Memang tak dapat dimungkiri bahwa kehidupan berbahasa kita masih jauh dari standar “baik dan benar”, jauh dari tertib, atau malah mungkin dapat dikatakan “tidak waras”.

 

Dalam pada itu, meski secara keseluruhan tulisan-tulisan Encep disampaikan dengan cara yang kadang-kadang jenaka, ironis, atau terkesan main-mian, namun ketika selesai membacanya kita akan tercerahkan juga. Hanya saja, saya pikir pembahasannya baru sekadar permukaan. Ah, barangkali hal ini disebabkan sempitnya ruang publikasi media massa yang memuat tulisan-tulisan itu. Namun demikian, saya pikir, Encep mestinya menyiasati keterbatasan ruang tersebut dengan meluaskan perhatiaannya guna menghasilkan pembahasan yang mendalam dan menambah bobot tulisannya. Misalnya, suatu kasus kebahasan yang tengah dibahasnya dihubungkaitkan dengan psikolinguitik, sosiolinguistik, pragmatik, sejarah, atau lainnya.

 

Dan, benarkah kita mesti melulu mengikuti frustrasi para sarjana bahasa dan mengikuti selera Badan Bahasa dalam isyarat bahasa yang “baik dan benar” itu?

 

Sebagai seorang pengarang yang lebih senang menulis karya kreatif (ekspresif-imajinatif), saya lebih sering tidak patuh pada pembakuan bahasa Indonesia yang telah dilakukan Badan Bahasa melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Tesaurus, dan buku-buku panduan kebahasaan lainnya. Dan secara pribadi, saya lebih berminat kepada bahasa yang “indah dan tepat” ketimbang mengikuti aturan-aturan baku dalam bahasa yang “baik dan benar” itu. Walaupun kadang-kadang saya juga kesal sih dengan kekacauan bahasa yang bertebaran di sekitar kita. Tapi barangkali, saya mengabaikan bahasa yang “baik dan benar” itu karena saya beranggapan bahwa bahasa yang baku akan cenderung menjadi kaku dan kemudian tak laku. Seperti pakem dalam perwayangan yang membuatnya sepi peminat. Atau barangkali, saya juga beranggapan bahwa sesuatu yang dinamis—tak terkecuali dalam bahasa—justru lebih menyenangkan ketimbangkan yang statis (baku) itu. Seperti musik dangdut yang terus “menggeliat dan hidup” dan tak pernah sepi peminat.

 

Selebihnya, sebagaimana Encep menyerahkan “hasil akhir” ke haribaan pembaca, maka kita boleh saja mengikutinya untuk bebenah bahasa, atau memilih tidak percaya dengan terus saja berbahasa secara acakadut. Dengan demikian, jangan berharap bangsa kita akan dapat mewujudkan segala rencana-rencananya. [*]


Tulisan ini adalah bahan diskusi buku Wisata Bahasa; Cabe-cabean karya Encep Abdullah, 29 Mei 2015, pukul 13.00 WIB, di Ruang Teleconfrence Untirta Serang, Banten.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button