biem.co – Ruang kerja Aziz Muslim bukanlah sebuah kantor mewah dan berlantai banyak. Meski karya-karyanya berupa logo telah eksis di luar negeri, bahkan digunakan oleh beberapa perusahan Amerika dan Eropa, Aziz masih saja menempati sebuah kamar kontrakan 2×4 meter di bilangan Kompleks Bungur Indah, Cinanggung, Kota Serang. Dari kamar sederhana ini Aziz bekerja sebagai designer freelance, untuk beberapa pesanan dari luar negeri dan dibayar dengan standar dolar.
Agak sulit bertemu pemuda kelahiran Pandeglang tiga puluh tahun silam ini, karena kehidupannya berbeda dengan orang kebanyakan. Jadwalnya bekerja yang menyesuaikan dengan ritme jam kerja dari belahan bumi lain membuatnya lebih mudah ditemui pada malam hari. Sebab pada saat itulah ia akan terlihat duduk di depan layar komputernya, bermain-main dengan font, ikon, garis, dan warna. Secangkir kopi hitam, cemilan, serta rokok putih menjadi teman setianya dalam bekerja. Samar-samar alunan lembut musik jazz terdengar dari sepeaker aktif di samping perangkat kerjanya itu.
Tipikal orang Sunda yang selalu ramah pada siapa pun, dengan senyum khasnya, Aziz menawari secangkir kopi dan cemilan yang terhidang saat Banten Muda mengunjunginya pada Selasa malam (2/4/2013). “Ngopi yah. Kalau kopi hitam mah selalu ada,” ujarnya ramah. Saat itu ia hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong. Tak lama, ia pun bercerita banyak tentang prosesnya menjalani karier di industri kreatif.
Sebetulnya, dalam darah Aziz tak ada mengalir darah seni apalagi desain. Ayahnya adalah tokoh agama di kaki Gunung Karang, Pandeglang. Sementara sebagian besar saudara-saudaranya berkecimpung di dunia pendidikan. Aziz bercerita bahwa saat kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IAIN SMH Banten, ia aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Gema Seni Budaya Islam Kampus (GESBICA), dan dari sinilah awal mula perkenalannya dengan dunia desain grafis. “Dua belas tahun lalu, saat aktif di UKM kampus itu saya belajar secara otodidak beberapa software desain, seperti Xara, Photoshop, CorelDRAW, dan lain-lain. Sampai akhirnya merasa yakin bahwa dunia saya adalah dunia desain grafis,” kenang Aziz.
Untuk meningkatkan kemampuannya, Aziz sempat mengambil kursus singkat di Jakarta untuk mempelajari segala sesuatu tentang warna. Kemudian ia bekerja di salah satu percetakan di Kota Serang. Namun hal itu ternyata tidak membuatnya puas sebab dunia kerja yang monoton tidak memberikan kebebasan berekspresi. Akhirya Aziz memutuskan untuk freelance dan hanya mengerjakan pesanan-pesanan saja. Bahkan, ia pun rela meninggalkan bangku kuliahnya yang tinggal mengerjakan tugas akhir demi menggapai cita-citanya itu. “Saya sudah merasa yakin kalau desain menjadi jalan hidup saya,” jelasnya.
Berbekal sebuah komputer lawas dan sambungan internet, Aziz menjajaki pekerjaannya untuk melayani pesanan pembuatan desain. Awalnya ia hanya mengerjakan desain kaus untuk salah satu factory outlet. Namun keaktifannya di salah satu situs desain dunia, membuatnya dikenal sebagai ahli tipografi. Bahkan, Aziz beberapa kali menjuarai kompetisi desain internasional yang diselenggarakan situs tersebut. Kini ia merasa profesinya sebagai desainer grafis lebih dihargai jika dibandingkan dengan ketika ia bekerja di percetakan. “Hadiahnya lumayan, beberapa ratus dolar. Dari situlah saya bertambah yakin jika profesi desainer memang berbeda dengan pekerjaan orang-orang di percetakan,” ujarnya.
Dalam satu kesempatan, Aziz juga menolak tawaran dari salah satu perusahaan desain ternama di Indonesia yang berlokasi di Serpong, Tangerang Selatan. Padahal ia dijanjikan mendapatkan gaji yang cukup besar dan menjadi pimpinan sebuah divisi. Bagi Aziz, kebebasan berkarya adalah segala-galanya hingga tawaran menggiurkan itu ditolaknya mentah-mentah. Terlebih, melihat profesi desainer grafis yang kurang dihargai di Indonesia, Aziz Muslim memilih untuk bekerja freelance dan tak terikat perusahaan apa pun. “Saya sudah datang ke kantornya, negosiasi, dan lain-lain. Tapi akhirnya saya tolak. Saya tidak bisa bekerja dalam tekanan seperti itu.”
Kini, Aziz telah mengukuhkan dirinya sebagai graphic freelancer, brand identity/logotype maker dan typographer yang diakui oleh para desainer grafis dunia. Dan untuk menunjang kinerjanya, Aziz membeli seperangkat komputer khusus desain yang harganya cukup mahal. Tampaknya kerja keras Aziz terbayar sudah, sebab beberapa perusahaan Amerika, Eropa, dan Australia seperti Savergo.com, Stackscale, Holmn, Volvent, dan lain-lain, telah mempercayakan pembuatan logo dan desain produk kepadanya.
“Saat ini sekitar sepuluh perusahaan yang sudah mempercayakan pembuatan logonya kepada saya. Tersebar di Australia, Amerika, Inggris, Abu Dhabi, Singapura, dan lain-lain,” jelasnya. Undangan pertemauan desain di seluruh dunia pun selalu ia terima setiap tahunnya.
Baginya, bukan soal materi yang membuatnya hanya menerima pesanan dari luar negeri. Akan tetapi, menurutnya, orang asing lebih menghargai profesi desainer grafis sebagai pekerja seni dibandingkan orang Indonesia.
Terkait harga, basis terbaik pada Festival Rock se-Banten tahun 2000 lalu ini memang memakai standar internasional. Untuk desain sebuah logo, tarifnya sekitar 150-200 dolar. Sementara untuk harga paket ia memasang tarif 300 dolar. “Bukan soal uang sebenarnya, tapi soal bagaimana menghargai profesi,” ujarnya.
Bahkan, untuk menjaga kualitas desainnya, setiap bulannya Aziz hanya mengerjakan tiga pesanan saja. Karena menurutnya, sebuah karya seni tidak bisa diukur dengan kuantitas, dan untuk mengerjakan sebuah desain membutuhkan waktu yang tidak sebentar. “Ada yang lima menit jadi, ada yang satu minggu, bahkan ada yang satu bulan. Nilai seni tidak bisa disamakan dengan produksi massal,” katanya.
Meski tidak menamatkan kuliah, Aziz tetap memandang bahwa pendidikan itu penting terutama yang sesuai dengan keinginan pribadinya. “Meskipun tidak menamatkan pendidikan S-1, bagi saya pendidikan itu tetap penting. Kuliah saya di Jurusan Bahasa Inggris banyak membantu terutama saat berkomunikasi dengan orang asing,” tandasnya.
Kini, keahlian Aziz mendesain logo kerap mengantarkannya menjadi pemenang kompetisi desain tingkat internasional dan membuatnya banjir pesanan dengan imbalan ratusan dolar untuk setiap jasa desain yang ditanganinya. [*]
Rimba Alang-alang
Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Banten Muda