Cerita Pendek Ade Ubaidil
UDIN merengek. Air mata dan ingusnya meleleh, menyatu. Suaranya sember tak ketulungan. Kalau sudah begini, teman-temannya akan segera membubarkan diri. Atau paling tidak, mereka akan masuk ke dalam rumah Santi. Tentu saja tanpa mengajak Udin. Ya, setiap sore, mereka menghabiskan waktu di rumah Santi untuk bermain congklak. Alatnya sederhana. Hanya berupa papan seukuran kurang lebih setengah meter. Biasanya papan itu terbuat dari kayu jati ataupun plastik. Namun yang dimiliki Santi adalah yang disebutkan pertama. Pemberian dari almarhum Bapak. Ada beberapa lubang di bagian badan itu pada dua sisinya. Masing-masing terdiri atas tujuh lubang berukuran kecil dan termasuk di dalamnya tujuh biji cangkang kerang. Sementara di dua bagian paling ujungnya ada satu lubang berukuran lebih besar. Lubang itu dianggap lumbung atau tempat penyimpanan biji-bijian, bisa pula berupa cangkang kerang, kelereng, atau batu-batu kecil yang diperolah si pemain.
Seperti tadi, Udin sedang beradu tangkas dengan Wawan. Namun siapa sangka, gerakan tangan Wawan sangat cepat dan lihai. Dengan mudahnya ia melintasi setiap lubang—mengisinya satu biji hingga habis lalu menyambung ke lubang berikutnya. Dan biji yang ada dalam genggaman tangan besarnya tak kunjung kosong. Sedangkan Udin, ia kalah strategi. Ia memulainya dari lubang ketiga sebelah kanan. Kontan saja langkahnya terputus di dua putaran awal, sebab ia kehabisan biji-bijian. Semua lubang dibuat kosong seketika karena sudah dilalui Wawan, dan lumbung miliknya terisi hingga menggunung.
Udin kesal. Kedua tangannya menopang papan congklak lalu membalikkannya. Serupa perahu yang diombang-ambingkan ombak dahsyat. Jelas saja semua biji dalam lumbung termuntahkan dan terserak berantakan. Santi juga sempat menangis, tetapi ditahan. Ia memilih untuk meninggalkan Udin. Di dalam rumah, mereka berbisik tetapi sepertinya sengaja volume suaranya agak dikeraskan. Katanya, “Biarin aja Udin main sendirian di luar. Besok-besok jangan ajak dia lagi!”
Mendengar itu Udin semakin kejer meraung-raung. Ia berlari terbirit menuju rumahnya. Mungkin akan melapor pada bapak dan ibunya. Atau bisa jadi kepada abangnya yang baru pulang dari Jakarta setelah merantau lebih dari lima tahun. Entahlah, rumah kami atau rumah para warga sudah biasa bila mendapati oncogan [1] dari Mang Sarmin, bapaknya Udin. Ia pasti akan bersikukuh kalau anaknyalah yang benar. Selalu benar dan benar-benar tak pernah bersalah.
Melihat pola-tingkah mereka, aku jadi teringat kejadian zaman dahulu ketika usiaku sama dengan Santi. Kala itu usiaku terpaut satu tahun lebih muda dari Roji. Ia kakak kelasku di sekolah. Meski masih duduk di bangku kelas dua SD, tetapi usianya sudah menginjak sembilan tahun. Konon, kata ibu ia tidak naik kelas. Karena satu kampung, kami sering bermain bersama. Aku belum mengerti (lebih tepatnya tak begitu peduli) siapa lebih tua dan siapa lebih muda. Kami berbaur saja bersama teman-teman lainnya.
Di suatu siang, aku sedang bermain dampu dengan teman-teman. Permainannya mudah, hanya menaruh bebatuan sejenis granit di atas jemari kaki, kemudian mengayunkannya ke depan hingga mengenai target—yang tak lain adalah batu yang sudah disusun bertingkat. Tak lama setelah aku nyimbar[2], Roji datang dengan muka sangarnya. Ia membawa batu granit berukuran lebih besar dari yang kami miliki. Tanpa berkata, ‘ikut’ atau permisi, ia segera saja mendahului teman-temanku yang lain. Jelas saja mereka semua tersungut-sungut, meski tak berani melawan si Roji Buto (begitu sebutannya karena ia memiliki perawakan yang tinggi besar dan berkulit hitam).
Daun-daun saling bergesekan. Satu per satu gugur dan jatuh di tempat kami bermain. Teman-teman perempuan pun sedang asyik bermain congklak di sudut paling kanan. Tepatnya di bawah pohon Beringin. Sementara yang lainnya sedang bermain petak umpet dan lompat karet. Di kampungku, tepatnya di masa kecilku, ketika hari libur tiba, lapangan hijau yang biasa untuk bermain bola ini selalu ramai dengan anak-anak dan permainannya masing-masing. Sayangnya di masa adikku sekarang, semua itu perlahan mulai hilang. Anak-anak disibukkan dengan alat canggih. Yang cara kerjanya hanya tinggal disentuh dan permainan pun berjalan. Sama sekali tidak menguras keringat.
Ketika Roji melompat dan mengambil ancang-ancang, lantas saja kakinya mengayun ke belakang. Kemudian melontarkan batu dampunya jauh sekali melampaui target. Nahas, batu besar itu mendarat di congklak para anak perempuan. Mereka menjerit kaget. Beruntung tak ada yang terkena hantaman benda keras itu. Yang tak habis pikir, Roji malah memaki mereka. Ia mengambil batu dampunya sambil menghentak-hentakkan kakinya di atas congklak itu. Kami tidak terima andai ia melukai para perempuan yang jelas tak bersalah. Namun, sebelum kami berhasil mencegah Roji, tiba-tiba saja bapaknya datang. Ia memang memiliki sawah yang jaraknya tak jauh dari lapangan. Serupa dengan yang Udin lakukan sore ini, Roji merengek sejadi-jadinya di hadapan bapaknya kala itu. Ia menyalahkan kami dan para anak perempuan. Si tua berkumis daplang[3] itu mengiyakan rengekan si anak.
“Sudah, makanya jangan main dengan mereka lagi. Nanti bapak belikan mainan yang lebih bagus yang tidak mereka punya.” Setelah ucapan yang menghunjam ulu hati itu, keduanya berlalu seperti pejabat dan pengawalnya yang habis berpidato perkara kenaikan sembako. Namun seperti anak-anak kebanyakan, keesokannya Roji datang lagi kepada kami dan turut nimbrung bermain tanpa merasa bersalah.
Sore ini aku sedang menghangatkan tubuh di bawah sinar mentari. Kenangan itu berhasil mengusikku. Meski malu untuk kuakui, tetapi aku akan mengatakannya bahwa air mataku tiba-tiba saja merembes. Entah tersebab apa. Mungkin aku merindukan suasana masa kecil itu? Masa di mana aku bisa berlari kencang mengalahkan anak-anak sekampung. Berjalan mengelilingi lapangan dan persawahan tanpa mengenakan sandal. Atau mungkin adu tinju dengan teman-teman tanpa jelas apa perkaranya. Di sela kesedihanku, Udin datang beserta pengawalnya. Dugaanku benar, ia tak membawa bapaknya. Mungkin sudah terlalu tua untuk memarahi Santi. Sekarang di hadapanku, ada dua orang yang memiliki watak tak jauh berbeda. Keduanya pandai mengadu dan memutarbalikkan fakta seperti pembawa acara berita ketika berlangsungnya pemilihan presiden tiba.
“Mana adikmu?” begitu kalimat yang pertama kali mencuat dari si Buto.
“Roji sahabatku. Kemarilah duduk di sampingku. Jangan tergesa-gesa seperti itu. Istirahatlah. Atau coba kisahkan bagaimana serunya tinggal di Jakarta?” Aku melambaikan tangan padanya sembari memberikan senyum terbaikku untuknya.
“Sudahlah, Mad. Aku tak punya waktu banyak untuk itu. Segera panggilkan adikmu,” jawabnya angkuh. Ia masih bersikukuh serupa bapaknya dahulu.
“Ada perlu apa, Ji? Mereka hanya anak-anak. Esok juga akan bermain lagi serupa kita zaman kecil dulu.”
“Ahmad…, Ahmad. Jangan samakan antara aku dan kamu. Sekarang kita jauh berbeda. Berjalan saja kau tak sanggup,” tawanya meremehkan. Seketika saja seperti jutaan peluru menembus tulang-belulang di tubuhku. Ucapannya berhasil mengoyak hatiku dan rasa sakit yang ditimbulkannya sepuluh kali lebih perih dibanding saat kedua kakiku harus diamputasi karena terlindas kereta.
Aku menangis sejadi-jadinya. Selama ini, aku merindukan teman masa kecilku. Menghabiskan waktu bersama dan bertukar tawa. Namun saat semua sudah beranjak dewasa, tak ada satu pun yang peduli atau sekadar mampir untuk menemaniku menyesap kopi di teras rumah. Roji yang kukenal sejak kecil, kupikir sore ini akan sedikit lebih baik saat menyapaku. Namun ternyata tidak. Ia beserta adiknya malah berteriak memanggil Santi seperti orang kerasukan. Papan congklak yang masih tergeletak di teras, lantas saja menjadi pelampiasan amarah mereka. Udin mengacak-acak biji-bijian tersebut dan melemparkannya sesuka hati, sementara Roji yang sudah berusia 25 tahun itu menendang papan congklak ke sembarang tempat. Andai aku mendekat, sepertinya ia pun akan melemparku dari kursi roda ini dan kemudian merusakkannya.
Di antara kumandang azan magrib, aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Mulai dari hati, pikiran, mental maupun tubuhku. Santi keluar dari dalam rumah setelah memastikan dua orang itu telah pergi. Sementara teman-temannya membaur pulang menuju dekapan induknya masing-masing. Kami berpesta air mata yang mungkin siapapun tak akan turut serta. Aku tak bisa banyak bicara kepada adikku ini. Satu hal lagi yang harus kuakui. Aku tak bisa menjadi kakak yang baik untuk Santi di saat kami kehilangan sosok ibu dan bapak. Aku berutang banyak kepada mereka.
Andai saja saat itu aku tak memaksa Bapak pulang dari pasar berdagang sayuran, mungkin kami masih diberi kesempatan untuk berkumpul bersama. Menaiki sepeda motor lagi bertiga, atau mungkin berempat dengan Santi. Sayangnya semua itu tak akan mungkin terulang. Terlebih lagi, setelah tahu Bapak wafat dan kakiku harus diamputasi, Ibu memilih meninggalkan kami di bulan berikutnya. Tiada yang bisa aku lakukan untuk bertahan hidup selain membantu paman membuat congklak dan menjualkannya. Meski zaman sekarang kurang banyak kanak-kanak yang meminatinya. Ah, merindukan segala kenangan dan hal-hal di masa lalu memang senantiasa menyakitkan. [*]
Cilegon, 12 Maret 2015
Ade Ubaidil, kelahiran Serang, 02 April 1993. Mahasiswa di Universitas Serang Raya (UNSERA). Peserta Akademi Menulis Novel DKJ 2014. Bergiat di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia; Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) angkatan 23 dan alumnus #KampusFiksi angkatan 7. Buku tunggal pertamanya berupa kumpulan cerpen “Air Mata Sang Garuda” (AG Litera, 2013). Pun beberapa karyanya telah dibukukan dan dimuat di berbagai media. Bisa dihubungi melalui email [email protected] dan twitter @ade_Quadraterz. Kunjungi juga blog pribadinya www.Quadraterz.blogspot.com.
Keterangan:
[1] Melabrak
[2] Tiba giliran bermain.
[3] Lebat hinggi menutupi bagian atas mulut.