biem.co — AKU MEMUTUSKAN untuk bekerja di ibu kota setelah salah satu lamaran kerjaku diterima. Aku mengabarkan berita bahagia itu pada Ibu yang tengah merajut mantel baru. Ibu tidak berkata apa-apa waktu itu. Beliau hanya melirik padaku sepintas dan tersenyum tipis. Ada perasaan berat untuk meninggalkan Ibu, melihat tubuh ringkih dan sepasang mata tuanya yang sudah renta. Belum lagi, beberapa malam terakhir, nyaris tiap malam aku mendengar suara batuk Ibu memecah hening. Menimbulkan riak gelisah di bilik hati. Berkali-kali kubujuk Ibu untuk ke dokter, tapi beliau selalu menolak. Biaya ke dokternya bisa disimpan untuk uang keseharianku di kota.
Hanya itu yang dibilang Ibu mengenai keberangkatanku ke kota. Selebihnya tidak. Bahkan, nyaris seminggu sebelum keberangkatanku, Ibu sama sekali tidak menyinggung soal pekerjaanku yang mengharuskanku meninggalkan beliau sendirian di kampung halaman. Sedangkan aku, hampir tiap malam mengoceh tentang tantangan baru di ibu kota. Tapi, tak sekalipun ibu ikut membahasnya bersamaku. Sesekali beliau hanya mengangguk dengan senyum tipis yang lagi-lagi membingkai bibirnya.
Baru ketika malam sebelum aku bersiap pergi, Ibu membangunkanku pada dini hari. Beliau duduk di tepi tempat tidurku yang berderit tiap kali ada beban di atasnya. Tiba-tiba saja Ibu bergelung di atas tempat tidruku dan memeluk dari belakang, begitu erat dan hangat. Ketika itu, aku bergumam akan segera pulang. Lalu, meluncurlah sebuah permintaan dari Ibu.
“Rai, Ibu ingin sebuah telepon genggam. Belikan Ibu satu, ya, sebelum kamu pergi besok,” pinta Ibu lembut. Aku pun bangkit dari posisi tidurku, menengok ke belakang untuk menghadap ke arah Ibu. Tidak biasanya Ibu meminta sesuatu. Aku mengangguk.
Paginya, setelah membasuh subuh dalam doa dan menuntaskan pertemuan dengan Tuhan, aku segera melesat pergi ke toko telepon genggam terdekat. Demi membeli telepon genggam untuk Ibu, aku menunda perjalananku, memutuskan untuk berangkat lebih siang. Akhirnya, aku membeli satu telepon genggam bekas, bukan yang paling canggih. Justru sudah terlampau lewat tren. Telepon genggam itu kuperoleh dengan harga yang begitu murah, maklum, telepon genggam itu hanya bisa untuk menelepon atau mengirim pesan singkat. Pagi itu juga, kuberikan pada Ibu, setelah kusimpan nomorku di dalamnya.
***
Drrrrtttt… drrt…
Aku baru sampai di tempat kosku di kota ketika telepon genggamku bergetar. Aku hendak mengabaikannya sejenak, mengingat tubuhku sudah meronta-ronta meminta rebah. Tapi ketika kulirik nama yang tertera di layar telepon genggamku, aku tak kuasa untuk tidak mengangkatnya. Itu dari Ibu.
“Apakah kamu baik-baik saja di sana, Rai?”
“Tentu, Bu. Raiza sampai di tempat kost dengan selamat, walau tadi keretanya sedikit terlambat.”
Lalu setelahnya, Ibu mulai mengoceh. Aku sampai harus menghidupkan speaker telepon genggamku, agar aku tidak terus-menerus memegangi benda mungil berbentuk persegi itu. Banyak yang Ibu ocehkan, mulai dari gosip tetangga-tetangga, harga cabai yang mulai mahal, kenangannya pada almarhum Ayah sampai menasehatiku tentang kehidupan di kota. Aku hanya menyahut sekenanya saja, sebelum akhirnya jatuh dalam lelap.
Kukira, telepon-telepon dari Ibu hanya akan datang sesekali dan di awal-awal aku bekerja, mengingat Ibu pasti merindukanku. Tak ada lagi aku di sebelahnya yang biasanya menemaninya mengobrol sebelum jarum jam merangkak ke angka delapan. Aku memakluminya. Tapi, ketika telepon-telepon itu datang setiap waktu. Setiap hari, dengan dosis melebihi tiga panggilan. Deringan telepon dari Ibu datang saat menjelang subuh, sebelum makan siang dan ketika aku akan terlelap.
Semuanya sama, tak hanya menanyakan kabar, tapi juga mengoceh hal lainnya yang akhir-akhir ini, menurutku tidak penting. Menganggu. Ocehan tentang makanan yang dimasaknya hari itu, obrolannya dengan Pak RT sampai kucing tetangga yang hilang. Lambat laun, aku mulai memasukan nomor Ibu di daftar hitam telepon genggamku. Masih ada banyak panggilan yang harus kuangkat, dibanding panggilan Ibu yang menerorku tanpa henti dengan cerita-ceritanya yak tak penting.
***
“Kamu masih orang baru di staf kreatif, tapi ide-idemu bagus. Idemu untuk mengadakan bakti sosial ke panti jompo sebagai pembangunan citra bagi perusahaan, sungguh brilian,” komentar Ariani, rekan sekantorku yang nyatanya berasal dari kampung halaman yang sama, di tanah Sumatra.
"Itu juga berkat lingkungan kerja di sini yang mendukung,” jawabku merendah. Aku melirik ke arah jam dinding di ruang kantor yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Malam ini aku sekali lagi harus berperang dengan segunung pekerjaan. Ada beberapa yang harus kubereskan sebelum dikumpulkan. Bertarung sekali lagi dengan waktu, menghadapi sekali lagi dering-dering telepon dan pesan yang memburu.
Kutengok meja kerja Ari, ia sudah bergegas untuk pulang. Beberapa berkasnya mulai ia rapikan. Aku tersenyum, mungkin aku masih membutuhkan dua sampai tiga jam lagi untuk bergegas. Tiba-tiba, kepala Ari menyembul dari bilik kerjanya, mengejutkanku.
“Mungkin akhir pekan ini aku akan pulang, apa kamu ingin ikut? Jika aku tidak salah, kamu pernah bilang, Ibumu pasti menunggumu di kampung halaman bukan? Kamu sering cerita kalau beliau sering meneleponmu?”
Aku seperti tersengat. Sudah tiga hari sejak aku memasukan nomor Ibu ke daftar hitam, dan panggilan-panggilan itu berhenti, aku tak lagi mendengar suara atau nama Ibu disebut. Aku tenggelam dalam panggilan-panggilan lain yang memacu otakku untuk berpikir lebih dan lebih, menggerakan tubuhku untuk bekerja terus dan terus, menjaga sepasang mataku untuk tetap terbuka dan siaga.
Tak ada jawaban dariku kecuali diam, membuat Ari kebingungan. Ia pun memutuskan untuk berlalu. Tanpa ia tahu, pertanyaannya tadi membuatku dilumuri dosa.
***
Sepulangnya aku dari kantor, malam sudah terasa begitu pucat. Aku menjatuhkan tubuhku ke atas sofa. Perlahan kukeluarkan telepon genggam dari saku rok pensilku. Walaupun tanganku kali ini sudah begitu pegal untuk menyusuri tombol-tombol, aku tetap melakukannya untuk mengeluarkan nomor Ibu dari daftar hitam.
Dini hari. Aku bimbang apakah ingin menelepon Ibu atau tidak? Tepat sepeluh menit setelah hatiku gaduh oleh bimbang, telepon genggamku berbunyi. Cepat-cepat aku membaca nama yang tertera di layar; Ibu. Aku hampir tak percaya Ibu belum lelap, biasanya pukul tujuh saja, Ibu sudah mengantuk.
“Halo, ya? Ibu?”
"Syukurlah kamu menjawab. Apa kabar, Rai? Bagaimana kamu di sana? Ibu di sini terus memikirkanku, mendoakanmu yang terbaik.”
Suara Ibu dengan ocehannya pun kembali dimulai. Aku lelah, tak menyangka jika IBu akan kembali mengoceh tanpa henti. Tetap dengan cerita-ceritanya yang menurutku tidak penting. Aku pun menjauhkan telepon genggamku dari telinga. Membiarkan telepon itu terus berkicau sendiri, aku pun membenamkan diri ke atas bantal. Suara Ibu yang terdengar berisik di telingaku kini hanya sayup-sayup, lalu perlahan hilang.
“Rai? Apa kamu masih di sana mendengar Ibu? Rai? Mungkin ini telepon terakhir dari Ibu. Ibu rindu kamu, Rai. Selalu.”
***
Pagi itu, aku terbangun bahkan ketika fajar belum menyapa pagi. Embun pun masih menggantung di ujung dedaunan. Kokok ayam pun belum benar-benar terdengar. Segalanya masih bergerak lambat, bergeliat dalam kantuk yang bersemayam. Tapi, pagi itu aku terjaga penuh karena telepon genggamku yang terus berdering tanpa henti. Dua dan tiga deringan awal tak kuangkat, kuanggap itu dari Ibu, yang lagi-lagi mengulang kebiasaannya menelepoku subuh-subuh.
Tapi, deringan itu tak putus-putus. Tiap berhenti, deringan itu selalu kembali bernyanyi. Ibu tak pernah segigih itu. Aku pun menyambar telepon genggam berlayar sentuh milikku itu. Suara panik seseorang yang kukenal sebagai Bik Rayna, tetangga sebelah rumah Ibuku, mengejutkanku.
“Rai, Bik Rayna tak bisa lagi menyimpan berita ini. Walaupun Ibumu yang menyuruhnya sebagai permintaan terakhirnya.”
Jeda sesaat sebelum isak tangis Bik Rayna mengisi suara di seberang sana.
“Rai, ibumu sudah berpulang. Empat hari yang lalu, Rai. Ibumu berpesan, jangan mengabarimu tentang penyakitnya atau berita dukanya. Ibumu ingin kamu menyelesaikan pekerjaanmu dan tidka ingin menggangumu. Katanya, kalau kamu mapir ke kampung, ia hanya titip satu pesan, ia merindukanmu.”
Aku tertegun. Telepon genggamku lolos dari genggamanku yang mulai merenggang. Batuk-batuk Ibu di malam hari. Telepon-telepon Ibu. Berpulang, empat hari lalu. Lalu, telepon Ibu kemarin malam? Aku mengecek histori panggilan. Tapi tak ada nama ibu tertera pada sejarah panggilan terjawab kemarin malam. Aku merasa tulang-tulangku remuk, lalu jatuh satu persatu ke atas permukaan lantai yang dingin. Senyap. [*]
Tangerang, 11 Januari 2015
Veronica Gabriella, mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara ini adalah penulis buku solo berjudul Shooting Star. Namanya pun terlibat sebagai penulis di buku Bicara Cinta dan Time in a Bottle. Tinggal di Kota Tangerang dan aktif menulis di berbagai media. Salah satu anggota keluarga Banten Muda Community ini mengaku cerpennya kali ini terinspirasi dari percakapan pertama Graham Bell pada Watson saat menggunakan penemuan mutakhirnya, telepon. Graham Bell mengatakan, ‘Kemarilah, aku ingin bertemu.'