InspirasiOpini

Esai Niduparas Erlang: Kambing

 

biem.co – Ketika pertama kali memasuki ranah kebahasaan di bangku perkuliahan, salah seorang dosen saya di FKIP Untirta pernah memberikan beberapa contoh frasa yang terkait-hubung dengan kata kambing. Begini ia membuat contoh: “nasi goreng kambing”, “nasi, goreng kambing”, “nasi goreng, kambing”, dan “nasi, goreng, kambing”. Pembahasan kali itu hanya berputar-putar saja di sekitar kambing dan tanda baca koma (,) yang menurutnya fatal jika ditempatkan pada posisi yang salah, apalagi jika dibubuhkan tanda seru (!) pada salah satu contoh frasa itu dan diucapkan dengan penekanan tertentu pada kata kambing.

 

Begitulah, perkuliahan kali itu hanya menyoal kambing belaka, bukan ayam, kuda, naga, atau cacing. Bahkan, tema pembicaraan mengenai kambing dan koma (,) dan seru (!) ini terus berlanjut dalam suatu obrolan ringan—dengan keterlibatan kawan-kawan lainnya—ketika kami menikmati “nasi goreng tanpa kambing” di kantin belakang kampus. Barangkali, pada saat itu, dosen saya tengah membayangkan dirinya sebagai juru selamat para mahasiswa (baca: para kambing) agar tidak tersesat. Tapi, entahlah. Sebab “nasi goreng kambing” yang konon terkenal nikmat itu pun belum pernah saya cicipi.

 

Dan kini, entah mengapa ingatan mengenai kambing dan koma (,) itu muncul lagi ke permukaan. Barangkali, karena beberapa hari ini—sebetulnya kerap berlangsung saban tahun—para kambing tengah menjadi “idola” yang dibicarakan di mana-mana, didongengkan berulang-ulang, sekalipun dalam kisah Ibrahim (atau Abraham) dan anaknya yang hendak dikorbankan (Ismail atau Ishak?) di atas Bukit Muria itu, tampaknya si kambing hanya berperan sebagai piguran. Ya, peran piguran yang dilakoni para kambing secara berulang—saban Idul Adha—demi pengukuhan seorang, yang menurut Kierkegaard adalah “kesatria iman”, kepada “kekuatan dari sesuatu yang absurd”.

 

Dan tentu saja, yang menjadi fokus pengisahan, baik dalam kitab-kitab suci maupun dalam Gentar dan Gemetar-nya Kierkegaard itu adalah Ibrahim (Abraham). Bahkan Kierkegaard menyebut bahwa “iman Ibrahim (Abraham) sebagai sesuatu yang melampaui nilai kebaikan yang universal”. Di samping itu, kerap juga dimaknai para kiai yang berkhotbah setelah shalat id sebagai keikhlasan seorang anak terhadap ayahnya, yang diyakini mencintainya, sekalipun ia hendak dikorbankan. Sementara si kambing? Ah, ia hanyalah objek yang diburu demi menyenangkan iman (atau barangkali menyenangkan Tuhan?).

 

Padahal, barangkali, kambing adalah makhluk yang pertama-tama “datang” menyertai Adam—di samping ular. Sebab setelah Adam tergoda ular dan diusir dari surga, sampai kemudian kedua anaknya (Qabil dan Habil/Kain dan Habel) berselisih, si kambinglah yang diterima Tuhan sebagai persembahan—bukan buah-buahan dan sayuran-sayuran. Dan mungkin juga, sepasang kambinglah yang pertama-tama diterima Nuh (Noah) untuk memasuki bahteranya, sehingga sepasang kambing itu bisa selamat dari bencana dan sampai juga kepada kita. Sebelumnya, si kambing juga telah sampai dalam kehidupan pertama Isa (Yesus). Sebab, konon, Isa (Yesus) sang juru selamat itu lahir di kandang kambing. Lalu, Muhammad pun menjadi penggembala kambing sewaktu belia.

 

Tampaknya, betapa karib para kambing dalam kehidupan para nabi, bahkan dalam kehidupan kita sampai hari ini. Kanak-kanak juga tak luput dari menggandrungi kambing-kambing dalam film animasi Shaun the Sheep. Bahkan, sepupu saya yang masih kecil sempat tidak mau tidur sebelum memeluk bantal-boneka Shaun the Sheep yang bulu-bulunya putih, tebal, dan lembut itu. Sampai di sini, kambing hanyalah sebuah objek bagi kesenangan kita.

 

Sementara di seberang lain, kita juga mengenal Baphometh dalam sosok—konon—setan berkepala kambing, yang semenjak tahun 1855 dihubungkan dalam gambar “kambing duduk bersila” karya Eliphas Levi. Konon lagi, kambing-baphometh adalah lambang sesembahan kaum pagan yang anti-agama, kemudian menjadi dewa bagi The Knight Templar (Kesatria Templar) yang terusir dari gereja, lalu menjadi berhala bagi perkumpulan Freemasonry yang penuh misteri. Dan katanya, berkat suatu kreativitas, kambing-baphometh itu telah bermetamorfosis menjadi pentagram yang kini menjadi asesoris-asesoris yang digandrungi para remaja kita, yang barangkali juga telah kehilangan maknanya sebagai baphometh, sebagai sesembahan. Entahlah, soal ini saya tak tahu pasti. Barangkali, ejaan god (tuhan) memang terdengar mirip dengan goat (kambing), sehingga kambing pun dipertuhan. Namun di sini, posisi kambing menjadi jauh lebih tinggi ketimbang manusia, sebab ia dipertuhan sementara manusia selayaknya hamba.

 

Akan tetapi, adakah di antara kita pernah bertanya, mengapa sejumlah istilah yang sampai kepada kita, istilah yang berhubung-kait dengan kambing selalu dimaknai sebagai sesuatu yang kurang patut? Sederet istilah dapat disebutkan di sini, dari yang paling populer karena sering digunakan para wartawan di media massa seperti “kambing hitam”, “adu domba”, “wedhus gembel”, atau yang lamat-lamat saja kita dengar semacam “bagai kambing dihalau ke air”, “bagai kambing harga dua kupang”, “seperti kambing dikupas hidup-hidup”, dan “seperti kambing putus tali”. Sederet istilah itu lebih-kurang memiliki makna konotasi yang tidak pantas jika disematkan kepada manusia, atau sederhananya memperkambingkan manusia. Dan selain istilah-istilah itu, masih ada sejumlah cemoohan, misalnya: “bandot tua” untuk menunjuk lelaki tua yang tak tahu diri; “kambing congek” untuk menyebut seorang yang dianggap dungu; atau teriakan-teriakan anak-anak di tepi jalan kepada sejumlah penumpang yang berjejal-berdesakan di atas truk atau pikap sembari menirukan suara kambing: “mbeee… mbeee…” dengan vokal e yang dipanjangkan dan dibuat bergetar.

 

Ah, padahal, kambing sebagai korban, sebagai persembahan, selalu diterima di haribaan Tuhan. Dan para kambing juga telah menyertai perjalanan nabi-nabi, hingga disebutkan dalam kitab suci. Bahkan ada kambing yang telah dipertuhan. Barangkali, jika saja kita mampu memaknai embikan para kambing tadi pagi, sebelum mereka digiring pisau para jagal, inilah yang hendak mereka perkatakan: “sungguh benar kambing dengan segala kekambingannya, mbeee…”

 

Namun demikian, barangkali, kita hanya tak sudi menjadi kambing walaupun tengah makan sate kambing atau nasi goreng kambing, sebagaimana Popeye yang tak mau jadi bayam sembari makan bayam. [*]


Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011. Sementara kumpulan cerpen keduanya berjudul Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar direncanakan terbit tahun ini.

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button