biem.co — Menjelang tanggal 2 Mei yang ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional, dunia pendidikan dan remaja Indonesia disadarkan dengan beberapa berita yang menggambarkan kondisi moral atau budi pekerti remaja di Indonesia, terutama remaja pertengahan pada usia antara 15 hingga 18 tahun atau pada usia sekolah SMP dan SMU.
Berita tentang pesta bikini pasca-UN sempat mewarnai berita utama beberapa media cetak dan elektronik, setelah sebelumnya telah menjadi lazim berita kenakalan remaja yang melewati batas bila dibandingkan pada era beberapa dasawarsa lalu. Kasus-kasus penyalahgunaan narkoba, tawuran pelajar, pesta seks bebas anak sekolah, tindakan kriminal dan pembunuhan, bahkan kekerasan anak terhadap orangtua yang berujung kepada penyiksaan bahkan pembantaian telah menjadi menu keseharian informasi yang kita terima.
Bila dibandingkan dengan anak anak usia remaja beberapa belas tahun lalu, pasti kita akan mengatakan fenomena ini sadis dan tidak masuk akal. Namun bila kita mengamati episode demi episode perubahan psikososial yang terjadi di masyarakat, barulah kita menyadari hal hal tersebut telah bergeser menjadi sebuah hal lumrah yang terjadi akibat tekanan ekonomi dan kehidupan sosial di tengah tengah pergerakan cepat kondisi sosio-ekonomi masyarakat kita.
Di satu sisi keadaan masyarakat sangat dipengaruhi oleh pembangunan ekonomi yang semakin menganut ideologi materialisme, dan di sisi lain terjadi pergeseran makna pendidikan sebagai salah satu instrumen pembentukan karakter anak anak dan remaja kita.
Dari berbagai definisi pendidikan yang dibuat oleh para pakar dan ahli, kita coba mengambil pemaknaan dari Ki Hajar Dewantara yang didaulat menjadi Bapak Pendidikan Nasional oleh pemerintah. Menurut Ki Hajar Dewantara, yang disampaikan pada kongres pertama taman siswa pada tahun 1930, Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Yang dalam dunia pendidikan modern pendidikan itu mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Jika dikaitkan dengan kondisi remaja hari ini, nampaknya pendidikan pada aspek kognitif telah jauh lebih berhasil dengan ditandai meningkatnya tingkat kecerdasan dan pola pikir remaja generasi saat ini. Pembuktiannya sederhana, penggunaan bahasa asing dan penguasaan teknologi informasi semakin menjadi hal biasa dikalangan remaja era sekarang. Hal ini juga mendapat dukungan dari pihak orangtua yang menekankan kepada anak-anaknya akan perlunya nilai nilai raport pada mata pelajaran tertentu yang menggambarkan aspek kognitif untuk mendapatkan angka yang tinggi.
Demikian pula dengan aspek psikomotorik yang ditandai dengan semakin meningkatnya aktivitas fisik yang dilakukan remaja, sejak dari sekadar olahraga rekreasi maupun olahraga prestasi, aktivitas seni yang membutuhkan gerak, hingga kalaupun boleh dimasukkan adalah aktivitas berkerumun atau bergerombol yang sudah menjadi kebiasan bagi anak usia remaja saat ini.
Aspek afektif justru yang menunjukkan prestasi menurun secara umum, di mana ranah ini terkait dengan budi pekerti, sikap, dan nilai. Budi pekerti menyangkut nilai-nilai perilaku manusia yang disesuaikan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Baik norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, serta norma budaya atau adat-istiadat.
Menurunnya kualitas budi pekerti inilah yang mewarnai kehidupan remaja pada era modern, sebagaimana yang tergambarkan dari maraknya pemberitaan terhadap penyimpangan perilaku generasi harapan bangsa tersebut. Mungkin hal ini disebabkan dengan pernah menghilangnya mata pelajaran budi pekerti selama beberapa dasawarsa, sebelum pada akhirnya muncul kembali setelah tahun 2010.
Persoalannya adalah pelajaran budi pekerti jauh lebih susah dan perlu waktu yang panjang dibanding pelajaran matematika yang membutuhkan logika, atau pelajaran yang membutuhkan kemampuan hafalan. Pelajaran budi pekerti membutuhkan contoh sikap dan teladan serta pembiasaannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menumbuhkan otot kebiasaan (myelin) yang tebal sehingga sikap baik tersebut meng-akar dan menjadi bawaan sang anak.
Hilangnya mata pelajaran Budi Pekerti selama belasan tahun tentunya membutuhkan waktu dan belum tentu kita bisa memperbaikinya pada remaja yang sudah ‘hancur’ budi pekertinya, sedangkan mata pelajaran hafalan dan hitungan mungkin hanya dalam beberapa bulan sudah bisa dikuasai.
Ditambah, menghilangnya sosok keteladanan yang seharusnya menjadi sikap terpadu/menyatu (integritas) yang dimiliki oleh seorang guru, terutama guru pada tingkat pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Indikasinya mudah saja dilihat, jika beberapa belas tahu lalu, seorang guru yang mendapat tugas tambahan menjadi kepala sekolah, maka yang bersangkutan akan dengan suka hati kembali menjadi guru kelas atau mengajar mata pelajaran manakala tugas tambahan tersebut berakhir, maka pada hari ini hal tersebut sulit ditemui. Karena ketika seseorang yang telah menduduki jabatan kepala sekolah, manakala selesai menjabat, dia memilih menjadi pengawas ketimbang kembali menjadi guru kelas.
Bila demikian adanya, tentu kita harus menyadari bahwa tidak mudah membekali siswa atau remaja dengan budi pekerti yang baik sebagai salah satu tujuan pendidikan, karena terlalu kompleks persoalan pendidikan yang kita hadapi, sejak dari sarana, prasarana, mental pendidik/guru, sistem pendidikan termasuk kurikulum, dan lingkungan dunia pendidikan termasuk peran orangtua selaku pendidik pertama dan utama dalam kehidupan seorang anak. Ditambah tuntutan persaingan masa kini yang lebih menekankan kepada kecerdasan akademik/intelektual ketimbang kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Jadi lengkap sudah kesulitan untuk menghasilkan pribadi pribadi unggulan yang mumpuni dengan attitude atau sikap mulia. Meminjam istilah anak muda sekarang "rumit, Gan!"
Jadi, bila pendidikan budi pekerti dimulai kembali sejak 2013, maka dampaknya akan bisa dirasakan ketika anak-anak yang pada tahun tersebut mengenyam pendidikan sekolah dasar telah menjadi remaja pada tahun 2020 hingga 2023 mendatang.
Namun tidak perlu risau, karena selalu ada harapan bagi pribadi yang optimis. Masih ada guru guru yang sejak lama sebelum tahun 2013 telah berusaha menjalankan profesinya dengan niat mulia melahirkan anak didik yang memiliki kualitas dan karakter yang baik. Masih ada lembaga lembaga pendidikan yang menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti atau sikap yang harus dimiliki oleh warga didiknya. Terlepas dari semua itu, masih banyak orangtua yang berharap, berhati-hati, dan bersungguh-sungguh untuk mendidik buah hatinya agar menjadi manusia unggulan sebagai insan sejati. Semoga. [*]
Penulis adalah akedemisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA), Banten. Tulisan-tulisannya tersebar di sejumlah media.