JAKARTA, biem.co – Album Bianglala dari band Deredia resmi mewujud dalam format compact disc (CD) pada Rabu (6/12/2023). Format fisik ini melengkapi format digital yang telah mengudara sejak Juni 2023 silam. Tokoh imajinasi Ratih mewujud dalam ilustrasi gambar yang hanya bisa dilihat dalam lembar-lembar sampul kemasan CD produksi label rekaman demajors ini.
Konsep album berlanggam pop ini mengambil latar waktu di Indonesia era 1950-an. Kala itu, sebagian besar warga dunia, termasuk Indonesia tengah mereguk aroma kemerdekaan paskaberakhirnya Perang Dunia II. Ratih, tokoh sentral di album ini, baru tumbuh dewasa, menikmati keceriaan bersama orang-orang terdekat, sampai dimabuk asmara.
“Cerita di album ini aku kembangkan dari elemen hidup Ratih, tokoh rekaan yang aku ciptakan. Ia memasuki masa remaja di dekade 1950-an; sudah paham cinta, berpacaran, sampai menuju pernikahan. Dia berhubungan dengan eks tentara asing yang bertugas di Indonesia,” kata Louise Monique Sitanggang, penulis lirik sekaligus penyanyi Deredia.
Kisah itu dijabarkan dalam tujuh lagu yang berdurasi total selama 21 menit ini. Lagu pembuka, “Pergi Tamasya”, menceritakan kegemaran Ratih berwisata bersama keluarganya mengisi waktu di akhir pekan. Tak heran, lagunya bernuansa ceria dengan bebunyian aneka perkusi. Karakter suara dan cerita di lagu pembuka ini menggambarkan nuansa keseluruhan album.
Keceriaan itu masih berlanjut di lagu kedua, “Bala-bala”, yang sering memantik eforia ketika dibawakan di panggung Deredia. Sesuai judulnya, lagu ini memang bercerita perihal kudapan merakyat, yakni bala-bala atau gorengan bakwan. Menyimak liriknya yang mendetil, pendengar bisa membayangkan gorengan bakwan garing yang masih hangat. Itu masih ditambah pula dengan penyebutan “kopi hitam atau teh tubruk” sebagai minuman pengiring yang tepat. Disebut juga “cabe rawit atau bumbu kacang” yang bisa menambah rasa gurih atau pedas. Ah, rasanya jadi ingin segera menyantap bakwan.
“Bala-bala itu adalah cemilan kesukaan Ratih,” ucap Louise. Di aksi panggungnya, Louise sering membawa bakwan dan membagikannya kepada Teman Perjuangan, sebutan bagi penonton setia Deredia. Irama polka yang rancak mengundang badan bergoyang.
Selain bertamasya dan menyantap bakwan, kegemaran lain Ratih adalah berpesta dansa di rumah, kebiasaan yang merebak di kalangan muda-mudi di dekade 1950-an. Pesta itu dihadiri handai-taulan, juga berpasang-pasangan. Lirik “Tuan-tuan menggoda/Nona-nona terlena” menggambarkan keseruan lagu berjudul “Pesta Dansa”. Tak lupa, Louise mengimbuhkan menu kudapan, seperti “Kopi, dodol, bakpia, onde-onde, lumpia”.
Seolah plot dalam film, album ini juga menceritakan kisah romansa Ratih yang tertera dalam sejumlah lagu. Tembang “Menanti Kekasih”, misalnya, menggambarkan penantian Ratih pada kekasihnya yang pulang ke negara asal. Rupanya, mereka memadu kasih jarak jauh, atau long distance relationship.
Pertemuan dua sejoli itu diceritakan pada lagu intim “Malam Bergelora”, yang dilepas sebagai singel pada Februari 2023 lalu, menjelang hari kasih sayang. Api asmara mereka membara pada lirik “Kecupan di bibir yang kau berikan/Membawa gelora di hatiku.” Dijelaskan Louise, seperti dalam lirik lagunya, pasangan Ratih ini wangi. “Sehingga terjadilah percumbuan itu di dinaungi bintang-bintang,” kata Lousie. Alunan langgam slow waltz menambah syahdu.
Namanya hubungan jarak jauh, perpisahan tak dapat dihindari. Babakan ini diceritakan dalam lagu “Senandung Perpisahan”. Lagunya sendu, bernuansa hawaian yang membuai. Ini lagu kesukaan Louise yang bahkan membuat dirinya sebagai penulis merasa terbawa perasaan alias baper.
Sumber Inspirasi
“Inspirasi lagu ini berasal dari kisah nyata tanteku. Dia punya pacar eks tentara Jepang. Pada suatu ketika, mereka harus berpisah karena aturan pemerintah Indonesia memulangkan para tantara asing ke negara masing-masing. Di masa tuanya, tanteku mengalami demensia. Memori masa mudanya muncul lagi; dia memakai perhiasan dan berdandan seperti anak remaja, jadi centil lagi. Dia sering menyebut-nyebut nama pacarnya ini. Sepertinya kisah cinta mereka membekas betul,” kata Louise.
Dari kisah nyata itulah, Louise mengembangkan imajinasinya menjadi lirk lagu, seklaigus menambah kisah bagi karakter Ratih. Pada lagu-lagu lainnya, Louise menggali inspirasi dari berbagai sumber. Nomor “Lagu Dansa” terinspirasi dari film Asrama Dara (1958) karya sutradara besar Usmar Ismail.
Film Tiga Dara (1957), dari sutradara yang sama, menginspirasi lagu “Pergi Tamasya”. Adegan piknik ke Pantai Cilincing dalam film itu memengaruhi penulisan lirik. Bukan kebetulan pula Deredia pernah mengisi album Aransemen Ulang Lagu Orisinil OST Film Tiga Dara (2016) pada nomor “Lagu Gembira”.
Sementara pada lagu “Pasar Malam” Louise terinspirasi dari Pasar Gambir di Jakarta Pusat, yang menjadi arena pasar malam pada masa kolonialisme Belanda. Kemeriahan, kelap-kelip lampu, gelak tawa pengunjung menggambarkan kebahagiaan warga di masa itu, dan masih bertahan di mana pun pasar malam berada sampai sekarang.
Salah satu wahana di pasar malam adalah bianglala; roda besar yang berputar di poros berhias lampu warna-warni di mana orang bisa naik dan melihat seantero kemeriahan pasar malam dari atas. Ini wahana yang menonjol di pasar malam di masa dulu. Makanya, Bianglala dipakai sebagai judul album, sebagai penggambaran isi lagu-lagunya.
Ratih, kata Louise, adalah representasi karakter perempuan Indonesia di masa paskakolonialisme yang supel, berpendidikan tinggi. Untuk memperkuat karakter itu, Louise menuturkan kisah Ratih dalam bahasa Indonesia seluruhnya. Ini berbeda dengan album pertama mereka yang memuat lagu berbahasa Indonesia dan Inggris.
“Bianglala ibarat penggambaran hidup Ratih karena ia (bianglala) berputar, seperti roda hidup, penuh warna. Kadang hidup ada di atas, kadang di bawah. Itulah hidup Ratih yang kadang ceria menikmati piknik, pesta, dan kasmaran. Tapi dia juga merasakan keterpurukan dirundung rindu hingga merelakan kepergian pujaan hatinya,” ucap Louise.
Proses Panjang
Pasang dan surut kehidupan Ratih seperti berjalin dengan pengerjaan album ini. Album pertama Deredia, Bunga & Miles keluar pada 2016. Peluncuran album itu terjadi di festival musik besar tahunan Java Jazz Festival. Tawaran pentas berdatangan kemudian. Tak lama, mereka memutuskan masuk studio mengerjakan album kedua, yang kelak berjudul Bianglala ini.
“Proses jamming untuk album kedua sebenarnya sudah mulai sejak 2017. Tahun 2018 kami sudah rampung merekam sekitar 15 lagu, dan mengambil tujuh di antaranya karena sesuai konsep yang kami rancang,” kata Yosua Simanjuntak, gitaris sekaligus produser. Pada April 2018, mereka melepas tembang “Pesta Dansa” di pelantar digital, lengkap dengan klip video. Semula album direncanakan rilis Agustus di tahun itu.
Lantas, mereka tertumbuk masalah teknis. Beberapa personil band kembali ke kesibukan masing-masing; proyek pribadi maupun keluarga. Memasuki tahun 2020, kendala terurai, dan bersiap melepas album. Apa daya, pandemi Covid-19 membuyarkan rencana itu. Peluncuran album baru terealisasi pada Juni 2023 dalam format digital.
Format Baru
Enam bulan bertengger di pelantar layanan streaming, Deredia merilis format keping cakram CD yang didistribusikan label Demajors. Peluncuran ini ditandai dengan penampilan intim di acara Gigstage di toko Demajors M Bloc, Jakarta Selatan pada Rabu (6/12/2023). Album CD bersampul warna dominan hijau toska ini resmi bisa dibeli dan dibaui aromanya.
Deredia menganggap format CD masih diperlukan meski lagunya sudah beredar dalam bentuk digital. Layaknya format fisik, album ini dilengkapi artwork karya Rhea Bambulu, ilustrator pilihan Deredia yang juga menghiasi sampul album pertama mereka. Di album kedua berformat CD ini, setiap lagu didampingi gambar. Pembeli CD jadi bisa melihat seperti apa rupa Ratih, dan merasakan ekspresinya.
“Gambar-gambar itu membantu pendengar untuk mengimajinasikan setiap bunyi dan lagu. Makanya kami meminta untuk membuatkan ilustrasi dari setiap lagu, selain tertera pula lirik lagunya,” kata Yosua. Ilustrasi itulah yang memberi nilai tambah format CD.
Deredia serius mempertahankan konsep ilustrasi pada tiap lagu. “Format CD bagai mengesahkan kami sebagai band; wujud nyata karya lagu. Album tanpa format CD rasanya kurang lengkap karena bisa memuat karya seni lain seperti ilustrasi. Di album ini ilustrasi cukup spesifik per lagu dan ini yang bikin lama, tapi kami menikmati prosesnya,” ujar Yosua.
Selain itu, alasan mengeluarkan format CD adalah pertimbangan kualitas suara. Lagu-lagu di pelantar digital tertentu mengalami penurunan kualitas. Ada pemangkasan frekuensi dan bunyi, yang bisa jadi menghilangkan suara detil sejumlah instrumen. Padahal, album Bianglala ini dilengkapi bunyi-bunyian yang terdengar samar, namun menambah suasana. Itu, misalnya, ada di lagu “Pergi Tamasya” yang diisi dengan instrumen seperti organ, timpani, glokenspil, dan bel tubular yang jamak dipakai musik era 1950-an.
Menurut Yosua, penggunaan multiinstrumen ini adalah keniscayaan bagi bandnya. Sebab, mereka mengacu pada musik populer era 1950-an, yang kata dia reduksi dari musik teater dengan bebunyian kompleks. Oleh karena itu, Yosua sampai memakai sekitar 40 trek rekaman. Suara gitarnya saja berlapis-lapis. Belum lagi frekuensi lebar dari set drum sokongan Chandracom yang direkam khusus di aula pertunjukan Harmoni Musik Bogor. Format CD menampung aneka bebunyian itu secara lebih lengkap.
Jadi, selamat menikmati kisah hidup Ratih yang berputar layaknya bianglala dalam sajian suara terlengkap. (BW)