InspirasiOpiniTerkini

Sistem Pemilu Terbuka untuk Rakyat

Oleh. Eko Supriatno*

biem.coMahkamah Konstitusi (MK) telah memutus gugatan sistem pemilu proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

Dalam putusannya, MK menolak permohonan gugatan terkait sistem Pemilu tersebut, dan menyatakan Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.

Dengan adanya putusan uji materi tersebut, maka pada Pemilu 2024, para pemilik suara bisa secara langsung memilih calon legislatif (caleg) yang diinginkan agar bisa menjabat sebagai anggota dewan.

Gugatan MK ini sebelumnya diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Gugatan diajukan sejak November 2022 lalu. Gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU-XX/2022 itu menyoal sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal yang digugat yakni Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Para pemohon menginginkan sistem coblos partai atau proporsional tertutup yang diterapkan. Pasalnya mereka menilai dengan sistem pemilu terbuka peran parpol menjadi terdistorsi dan dikesampingkan. Sebab, calon legislatif terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak, bukan yang ditentukan oleh partai politik. Sistem tersebut juga dinilai menimbulkan persaingan yang tidak sehat yang menitikberatkan pada aspek popularitas dan kekuatan modal calon anggota legislatif.

Sebagai informasi, Sistem pemilu proposional terbuka dan tertutup, keduanya pernah Indonesia terapkan dari empat pemilu pascareformasi. Pemilu 1999 hadir di bawah sistem proposional daftar terbuka, kemudian Pemilu 2004 dengan sistem pemilu semiterbuka, serta Pemilu 2009, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019 menggunakan sistem pemilu terbuka.

Dua Varian Sistem Pemilu Proporsional?

Sistem pemilu proporsional terbuka adalah sistem pemilu yang menempatkan partai politik dapat mengajukan calon anggota legislatif dari daftar calon yang tidak dibatasi. Pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka memberikan hak penuh kepada rakyat dalam memilih wakilnya di parlemen.

Sistem pemilu proporsional terbuka pemilih dapat memilih calon anggota legislatif yang diusulkan oleh partai politik yang diinginkan, bukan hanya calon yang ditentukan oleh partai tersebut.

Sistem pemilu proposional terbuka mengharuskan pemilih untuk memilih nama atau nomor kandidat yang tersedia di surat suara. Mekanisme ini meminta partai politik untuk menyediakan daftar kandidat wakil rakyat untuk dimasukkan ke dalam surat suara dan kandidat yang meraih suara terbanyak terpilih sebagai wakil rakyat.

Adapun kelebihan dari pemilu dengan sistem proporsional terbuka, yakni pertama, memungkinkan pemilih untuk memilih calon yang diusulkan oleh partai politik yang diinginkan sehingga pemilih dapat menentukan siapa yang akan mewakili mereka di legislatif. Kedua, memberikan kesempatan yang sama kepada semua calon legislatif tanpa terikat pada posisi tertentu dalam partai politik.  Pada sisi lain, sistem ini juga memberikan kesempatan yang lebih besar bagi calon independen. Selanjutnya, tanpa dukungan yang kuat dari suatu partai bisa membuat persaingan antar-calon menjadi lebih sengit karena tidak ada batasan dalam jumlah calon. Ketiga, adanya kedekatan antara pemilih dengan kandidat, kemudian pemilih bisa memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat yang disenangi sesuai dengan preferensinya.

Adapun kekurangan dari proporsional terbuka ialah mereduksi peran partai politik, terciptanya kontestasi antar kandidat di internal partai, dan membuka ruang politik uang. Adapun sistem pemilu proposional tertutup menginstruksikan pemilih untuk memilih tanda gambar atau lambang partai yang tertera dalam surat suara karena tidak tersedia list kandidat wakil disurat suara. Akan tetapi, partai politik tetap menyediakan daftar nama kandidat wakil rakyat yang diurutkan berdasarkan nomor terkecil hingga terbesar (1,2,3,4,5,6) dengan aturan main nomor urut pertama berhak meraih kursi pertama di lembaga perwakilan.

Sedangkan sistem pemilu proporsional tertutup adalah sistem pemilu yang membuat pemilih hanya dapat memilih partai politik, bukan calon anggota legislatif (caleg) individu. Partai yang memperoleh suara terbanyak akan mendapatkan sejumlah kursi di parlemen sesuai dengan perhitungan yang ditentukan. Caleg yang akan duduk di parlemen kemudian ditentukan oleh partai itu sendiri melalui mekanisme yang disebut ‘daftar hitam’ atau ‘daftar terbuka’.

Kelebihan sistem ini ialah meningkatkan peran partai dan mendorong institusionalisasi partai politik. Tetapi di tengah dominasi peran partai yang meningkat, sering kali sistem pemilu tertutup mengondisikan mekanisme pencalonan kandidat wakil rakyat yang tertutup pula, ditambah dengan menguatnya oligarki di internal partai, serta terbukanya ruang politik uang di internal partai dalam bentuk jual-beli nomor urut.

Perubahan Sistem Pemilu?

Pertanyaan kritisnya, mengapa sistem pemilu harus di ubah-ubah? Apa yang hendak dicapai dari perubahan sistem pemilu?

Misal ada beberapa catatan kritik penulis tentang pemilu adalah semakin terbuka dan masifnya praktik politik uang, lemahnya kontrol partai politik terhadap kandidat, tertutupnya akses kader-kader ideologis partai untuk dicalonkan akibat hanya kandidat yang memiliki modal finansialdanpopularitassemata yang memiliki peluang untuk terpilih di tengah aturan suara terbanyak. Hal inilah tentunya menjadi basis argumentasi yang melatarbelakangi mengapa sistem pemilu harus di ubah-ubah.

Jika memang demikian persoalannya, apakah mengubah sistem pemilu mampu menyelesaikan persoalan? Mengingat dalam sistem dua varian sistem pemilu proporsional tersebut tentunya potensi politik uang masih ada, termasuk tertutupnya ruang kader partai politik yang ideologis untuk mencalonkan karena kewenangan pencalonan sepenuhnya berada di elite partai politik.

Pakar kepemiluan Andrew Reynolds (2001) menjelaskan terdapat tiga tujuan utama dari sistem pemilu.

Pertama, sebagai alat untuk menyeleksi pengambil keputusan. Ketika jumlah warga negara semakin besar di perlukan individu-individu yang menempati lembaga perwakilan sebagai kepanjangtanganan warga negara untuk mengambil keputusan. Sistem pemilu hadir sebagai instrumen untuk menerjemahkan pilihanpilihan warga negara di kertas suara menjadi anggota dewan perwakilan rakyat.

Kedua, sistem pemilu dapat dijadikan saluran pertanggungjawaban wakil rakyat terhadap rakyatnya atau sebaliknya.Ketika wakil rakyat dirasakan tidak mampu mencerminkan kehendak rakyatnya dalam setiap pengambilan keputusan, sistem  pemilu menjadi arena untuk mempertanyakan, mengkritisi, bahkan menghukum wakil rakyat dengan cara tidak memilih kembali wakil tersebut di pemilu berikutnya.

Pada sisi lain, sistem pemilu dapat dijadikan alat bagi wakil rakyat untuk melaporkan keputusan apa saja yang sudah dibuat, sampai capaian-capaian yang sudah dilakukan selama di lembaga perwakilan, sehingga mampu membuka ruang keterpilihan kembali di pemilu berikutnya. Ketiga, sistem pemilu menjadi arena untuk membatasi wacana politik atau agenda politik ke depan.

Dalam hal ini melalui sistem pemilu, setiap aktor politik yang terlibat mulai pimpinan partai politik sampai kandidat wakil rakyat, dapat menyampaikan agenda politik yang diterjemahkan dalam bentuk program-program yang akan dilangsungkan, jika partai atau kandidat tersebut terpilih sebagai wakil rakyat.

Secara teknis kepemiluan, pilihan terbuka atau tertutup setidaknya akan memengaruhi dua hal.

Pertama, tata cara pemberian suara oleh pemilih. Jika menggunakan daftar terbuka maka pemilih dapat memberikan suara untuk nama calon dari daftar yang dibuat oleh partai politik.Jika tertutup, pemilih hanya memberikan suara untuk partai politik peserta pemilu saja.

Kedua, tata cara penentuan calon terpilih. Jika menggunakan daftar terbuka, penentuan calon terpilih didasarkan pada suara yang diperoleh calon. Jika menggunakan daftar tertutup, penentuan calon terpilih didasarkan pada nomor urut daftar calon yang disusun oleh partai politik peserta Pemilu.

Proporsional Terbuka untuk Rakyat

Alhamdulillah, MK sudah melakukan analisis terhadap gugatan yang diterima dan membuat keputusan berdasarkan pertimbangan hukum yang tepat dan konstitusional.

Pandangan penulis, putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan perkara gugatan Undang-Undang Pemilu sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku merupakan keputusan yang tepat.

Proporsional terbuka membuat rakyat punya otoritas memilih sendiri wakilnya dan sistem proporsional terbuka adalah kemajuan esensial dalam demokrasi Indonesia. Sebab, sistem proporsional tertutup dinilai menjauhkan dan mengasingkan rakyat dari proses politik.

MK punya alasan hukum yang bagus, sebenarnya ketika memutuskan menolak itu karena mengubah sistem di tengah jalan, di tengah tahapan pemilu itu tidak mungkin. Kecuali mengubah sistem, tetapi diterapkan bukan pada 2024 ini, melainkan 2029. Tapi, putusannya tetap terbuka dan itu sudah tepat.

Ketika ada kekurangan dari sistem yang dipakai, upaya yang dilakukan bukanlah dengan mengganti sistem, namun dengan memperbaiki apa yang menjadi permasalahannya.

Seyogyanya, dalam pemilu 2024 nanti masyarakat pemilih belajar untuk tidak lagi taqlid buta dalam pemilu. (Red)

 Eko Supriatno, M.Si, M.Pd, penulis adalah Pengamat Politik, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

Editor: Rois Rinaldi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button