biem.co – Ramadhan adalah salah satu bulan yang disucikan. Ramadhan adalah bulan mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam. Puasa disyariatkan pada bulan Ramadhan.
Puasa merupakan salah satu dari arkanu al islam al khamsah (unsur-unsur sakral dalam Islam), dimana ia menduduki posisi ke tiga setelah mengucap dua kalimat syahadat dan sholat lima waktu.
Kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan bagi umat muslim sudah tidak bisa diganggu gugat lagi, sebab eksistensi hukumnya sudah dinash dalam Al Qur`an, juga termasuk dalam kategori al masa`ilu al dloruriyyah (masalah-masalah yang mudah ditemukan hukumnya).
Ketika bulan Ramadhan, banyak sekali di antara masyarakat yang menyepi (tahannuts) di beberapa tempat yang keramat. Rasulullah SAW, memiliki kebiasaan ini juga. Peristiwa pewahyuan Al-Qur’an terjadi ketika Rasululllah sedang ber-tahannuts di Hira’.
Dalam Ramadhan, seluruh amaliyah puasa di rumah sejak sahur hingga berbuka, entah diisi dengan tadarus Al Qur’an, tarawih berjamaah, qiyamul lail, dan ibadah sunnah lainnya, sejatinya menggembleng pribadi mukmin untuk meraih spiritualitas puasa sebagai fondasi Ruhanisasi Puasa.
Pembebanan ibadah puasa bukanlah hal yang baru bagi sejarah umat manusia, sebab ia pernah pula di syari`atkan pada agama-agama samawi lainnya (seperti Yahudi, Nasrani dsb).
Dalam buku Ihya Ulumu Al Dien, dikatakan bahwa puasa adalah seperempat dari iman, ini sesuai dengan hadist nabi saw “Puasa itu setengahnya sabar” dan hadist lain “Sabar itu setengahnya iman” dari gabungan dua hadist inilah filsuf Al Ghozali menarik kesimpulan bahwa puasa adalah seperempat dari iman.
Ramadhan sendiri secara bahasa bermakna membakar. Dimaksudkan sebagai proses, ruang, dan waktu membakar hawa nafsu, serta menggemblengnya menjadi hawa nafsu yang tenang (muthmainnah), ridla (radliyah), dan tunduk patuh dengan petunjuk Allah (musawwalah).
Puasa dalam bahasa Arab shaum dan jama’nya adalah shiyam. Shaum berarti al-imsak atau ‘menahan’. Puasa berarti menahan dari makan dan minum. Puasa untuk melatih mengendalikan diri, hawa nafsu, dan sifat-sifat buruk lain agar berubah menjadi manusia baru seperti tergambar dalam surat Al-Baqarah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Beriman menjadi landasan rangkaian ibadah, termasuk puasa. Sebaliknya, puasa juga untuk melatih meningkatkan kesadaran dan rasa ketuhanan bahwa Allah selalu hadir sehingga malu untuk berbuat dosa. Maka, orang berpuasa akan mengevaluasi dan introspeksi diri akan dosa-dosa yang penah dilakukan. Dia juga akan berpikir seribu kali untuk berbuat kejahatan-kejahatan baru.
Ramadhan adalah bulan ruhanisasi. Ruhanisasi Puasa Ramadhan adalah ruang penggemblengan ruhani pribadi-pribadi mukmin agar menjadi bertakwa (tattaqun), berilmu (ta’lamun), bersyukur (tasykurun), memperoleh kebenaran (yarsyudun), dan beruntung atau sukses (tuflihun).
Penggemblengan ini bila ditelaah secara filosofis bisa saja disebut sebagai Ruhanisasi Puasa ramadhan.
Ruhanisasi Puasa
Menurut penulis, setidaknya ada 3 (Tiga) pesan dalam tulisan ‘Ruhanisasi Puasa’:
Pertama, Ramadhan melatih disiplin. Disipilin adalah pangkal dari kemajuan individu, rakyat, maupun suatu bangsa. Perbedaan pokok antara bangsa yang maju dan terbelakang adalah kedisiplinan dalam bekerja, kedisiplinan dalam menjalankan rencana, disiplin menjalankan aturan dan kedisiplinan dalam berbagai segi kehidupan.
Salah satu penyebab ketertinggalan bangsa Indonesia karena pemerintahan, para pejabat, dan rakyat tidak disiplin.
Orang yang puasa dilatih untuk berlaku disiplin dengan mematuhi aturan. Tidak boleh keluar sedikit pun dari aturan tersebut. Menentukan awal dan akhir bulan Ramadan harus pasti. Sahur dan berbuka juga harus tepat waktu. Tidak dibenarkan mencuri waktu start maupun finish, walaupun hanya satu menit. Puasa mengajarkan untuk tidak makan atau minum, walaupun hanya sebutir nasi atau setetes air.
Kedua, Ramadhan melatih pengendalian diri. Puasa secara fundamental adalah latihan pengendalian diri dan hawa nafsu. Ramadhan melatih orang berpuasa beraktivitas bersamaan dengan lapar dan haus. Padahal makan dan minum adalah kebutuhan pokok manusia. Suatu kebutuhan dan kebiasaan yang sudah mendarah daging bagi, tetapi karena sedang puasa rela dan mau meninggalkan.
Puasa juga latihan mengendalikan amarah. Biasanya orang yang sedang lapar mudah tersulut emosi lalu marah. Orang berpuasa harus mampu mengendalikan marah agar puasanya tidak menjadi sia-sia. Bahkan lebih jauh nabi SAW memberi nasihat terhadap orang sedang berpuasa untuk menahan marah. Kalau ada orang menyulut kemarahannya, maka katakan bahwa “saya sedang berpuasa”.
Ketiga, Ramadhan melatih kepekaan sosial. Puasa jangan hanya dimaknai sebagai suatu rutinitas. Dia harus dijadikan momen latihan untuk meningkatkan kepekaan sosial. Kepekaan sosial yang dimaksud tidak hanya diwujudkan dengan berbagi uang dan harta, tetapi dapat dilakukan dengan bersikap sewajarnya dan tidak berlebihan. Meskipun memiliki harta lebih dari cukup, tak boleh pamer dengan hidup bermewah-mewah karena masih banyak masyarakat berkekurangan.
Merasakan jauh lebih bermakna dari sekadar melihat. Berpuasa bukan hanya menahan diri dari makan, minum, dan semua yang dapat membatalkan. Dia juga dapat melatih kepekaan terhadap kesulitan orang lain dengan pengalaman pribadi. Mengalami sendiri akan lebih bermakna dan mendalam daripada hanya melihat. Ingat pepatah, “Seberat-berat mata memandang akan lebih berat bahu memikul.”
Kepekaan sosial antaranggota masyarakat akan lebih mudah dibangun dan kokoh saat mereka senasib sepenanggungan. Orang-orang berpuasa mempunyai dasar dan tujuan sama. Bahkan dengan rasa laparnya juga sama, sehingga akan melahirkan sikap saling peduli dan empati.
Keempat, Ramadhan melatih hidup sederhana. Sederhana adalah makna puasa yang selayaknya dapat diinternalisasi. Puasa merupakan momentum untuk mereset diri agar dapat hidup sederhana, hemat dan secukupnya. Karena itu, ibadah puasa yang dilakukan sesungguhnya mengajarkan bagaimana hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Oleh sebab itu, puasa yang saat ini kita lakukan mestilah jauh dari belenggu pemborosan.
Puasa artinya menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Memaknai fenomena sosial yang terjadi hari ini, ibadah puasa selayaknya dapat dipahami bukan hanya menahan lapar dan dahaga saja. Lebih dari itu, puasa dapat dijadikan sebagai momentum untuk melatih diri agar dapat hidup dalam kesederhanaan.
Seringkali dalam menjalankan ibadah puasa kita terjebak dengan gaya hidup yang berlebih-lebihan, sehingga esensi puasa tidak benar-benar didapatkan. Padahal, Rasulullah SAW dan para sahabatnya memberikan teladan dalam menghadapi bulan Ramadan. Dikisahkan, Rasulullah SAW dan para sahabat hanya menyantap kurma basah (ruthob) dan kurma kering (tamr) dan air putih saja saat berbuka puasa.
Terlebih di era digital ini banyak sekali godaan dalam menjalankan ibadah puasa. Tak sedikit yang berlomba-lomba menyajikan menu berbuka yang beraneka ragam dan menggugah selera. Bukan hanya menyajikannya di meja makan, tetapi juga berlomba untuk mempostingnya di media sosial.
Era media sosial yang mewariskan kecemasan akan ketinggalan update informasi atau Fear of Missing Out (FOMO) tak seharusnya menjadikan momentum puasa jadi ajang pamer. Bukan hanya pamer menu, tetapi juga pamer gaya hidup. Pamer rubicon, deretan tas bermerk hingga liburan mewah ke luar negeri.
Apalagi gaya hidup yang dipamerkan didapat dari cara-cara batil, mengambil yang bukan haknya. Tentu hal ini dapat mengurangi esensi puasa yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Sederhana berarti hidup secara wajar. Artinya, mampu menggunakan hartanya sesuai kebutuhan yang ada, tidak menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak penting. Tidak pamer gaya hidup mewah alias flexing. Korupsi salah satunya dipicu oleh hidup mewah yang berlebihan dan tidak sesuai dengan besaran gaji.
Kelima, Ramadhan melatih akhlak mulia. Bulan Ramadhan adalah bulan untuk kita merevitalisasi akhlak mulia. Ibadah puasa dimaksudkan, di antaranya untuk menggapai tingkatan taqwa. (QS Al-Baqarah: 183) Berkaitan dengan ibadah puasa ini, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan palsu (bohong), maka tidak ada keperluan bagi Allah SWT terhadap puasa seseorang yang hanya sekadar meninggalkan makan dan minum. (HR Bukhari).
Agama Islam, melalui Al Qur’an banyak menjelaskan kedudukan akhlak. Di antaranya adalah penegasan bahwa Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabda Rasulullah, “Aku tidak diutus oleh Allah SWT kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang baik. (HR Malik) Sesungguhnya realisasi akhlak yang mulia merupakan inti risalah Nabi Muhammad SAW.
Konsep akhlak mulia bersifat komprehensif. Umat muslim dituntut untuk berakhlak mulia kepada makhluk dan Khaliq. Akhlak mulia kepada Allah, antara lain hanya menuhankan Dia, menyembah dan berdoa kepadaNya, menaati segala perintah dan menjauhi segala laranganNya, termasuk tidak melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah.
Dalam konteks jabatan publik, berakhlak mulia kepada Allah menuntut adanya keyakinan setiap jabatan adalah amanah dari Allah dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Maka, pelaksanaan amanah mutlak harus dalam koridor petunjuk Allah, seperti memprioritaskan urusan rakyat dan negara serta bersungguh-sungguh menyejahterakan mereka. Ironisnya, selama ini dimensi transendental justru kerap dilupakan.
Jalaluddin Rumi pernah berpetuah kepada murid-muridnya: “Bila kalian dapati apa yang kusampaikan bukanlah sesuatu yang telah kuamalkan secara istikamah, pasti itu bukanlah pengetahuan ruhaniku. Bukan sulukku. Karena pengetahuan sejatiku adalah ilmu yang telah kuamalkan secara ajeg sebagai suluk pencerahanku.” Makna tarnsformasi memang untuk diamalkan. Tanpa diamalkan, ruhanisasi hanya jadi catatan sejarah. Bukan kesadaran sejarah.
Sebagai basis kesalehan pribadi dan sosial. Spiritualitas puasa sebagai fondasi akhlak itu lahir dari proses spiritual yaitu Ruhanisasi Puasa ramadhan.
Ruhanisasi Puasa adalah proses subjek mukmin mencari serta mempertanyakan apa sumber spiritualitas dalam ruang-waktu penggemblengan ruhaninya itu.
Ruhanisasi Puasa membawa pribadi mukmin ke dalam dialog reflektif dengan dirinya sendiri dalam rangka meraih spiritual ruhaninya. Sebagaimana Al Qur’an uraikan iman, ibadah, dan aktifitas apapun yang dilakukan oleh seorang mukmin adalah untuk pencerahan dirinya sendiri. Pencapaian ruhanisasi untuk kesalehan pribadi dan sosial. (Red)
Eko Supriatno, penulis adalah Intelektual Entrepreneur, Pengurus ICMI Orwil Banten, Pengurus IDRI Provinsi Banten, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten.