JAKARTA, biem.co — Trend Asia beserta 37 organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara mengirim surat ke Departemen Keuangan Amerika Serikat. Surat ini berisi tuntutan kepada Pemerintah Amerika Serikat agar tegas menjalankan wewenangnya dalam upaya reformasi kebijakan investasi Bank Pembangunan Multilateral (MDB).
Dalam surat tersebut, proyek PLTU Jawa 9 & 10 yang berada di Banten, menjadi salah satu proyek yang disoroti. Tuntutan utamanya adalah International Finance Corporation (IFC), anak usaha Bank Dunia—salah satu Bank Pembangunan Multilateral (MDB) yang begitu berpengaruh— harus segera menghentikan dukungan secara menyeluruh terhadap proyek energi fosil dengan cara menarik ekuitas yang dimilikinya di Hana Bank Indonesia yang masih berinvestasi di proyek PLTU Jawa 9 & 10.
“Langkah ini penting untuk menekan Hana Bank Indonesia agar segera berhenti mendanai proyek PLTU Jawa 9 & 10 sesuai kebijakan mereka yang menyatakan akan keluar dari pendanaan batubara,” ujar Peneliti Trend Asia
Andri Prasetiyo kepada biem.co, Selasa (24/08/2021).
Andira mengatakan bahwa proyek PLTU Jawa 9 & 10 memang layak mendapatkan sorotan tajam sebab akan membawa dampak serius terhadap sisi sosial dan lingkungan. Keberadaan surat tersebut juga menunjukkan bahwa kepedulian atas persoalan ini semakin besar, meluas dan tidak lagi berbatas wilayah.
“Masyarakat dari berbagai penjuru dunia saat ini bahu-membahu menekan proyek energi kotor yang berbahaya bagi lingkungan dan akan semakin memperparah krisis iklim, termasuk dengan menghentikan arus pendanaannya. Kebijakan pembangunan harus diawasi secara serius, agar lebih mengedepankan kelestarian lingkungan, bukan berorientasi pada keuntungan semu dan keuntungan bagi sebagian pihak,” terangnya.
Studi pra-kelayakan proyek PLTU Jawa 9 & 10 di Cilegon, Banten oleh Korea Development Institute telah menyatakan bahwa pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 dilabeli sebagai proyek tidak layak. Produksi listrik PLTU Jawa 9 & 10 tidak akan terserap sebab kondisi neraca energi nasional telah kelebihan pasokan. Selain itu, kedepan biaya operasional dari energi kotor batubara akan semakin mahal dan tidak kompetitif dengan energi terbarukan.
Proyek ini akan membebani keuangan pemerintah Indonesia karena diproyeksikan membawa kerugian hingga Rp610,12 miliar. Nilai investasi yang harus dibayarkan pemerintah dalam proyek PLTU ini jauh lebih besar dari proyeksi pendapatan sampai dengan PLTU ini selesai beroperasi.
Tidak hanya itu, Cilegon, Banten sebagai lokasi PLTU Suralaya Jawa 9 & 10 juga berada dalam kondisi darurat polusi udara. Buruknya kualitas udara di Suralaya menyebabkan tingginya tingkat penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kota Cilegon. Data Dinas Kesehatan Kota Cilegon menyebut, sejak tahun 2018 sampai dengan Mei 2020 terdapat 118.184 kasus ISPA di kota Cilegon.
Pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 menuai kecaman publik dan penolakan warga. Dalam petisi yang dilakukan melalui Change.org, tercatat lebih dari 17.000 warga menandatanganinya. Warga Suralaya, yang hidup bertahun-tahun di kawasan PLTU, turut serta dalam aksi untuk menolak penghapusan FABA dari kategori limbah B3, sebab aturan turunan UU Cipta Kerja ini semakin menghimpit ruang hidup mereka yang selama ini sudah terkepung polusi.
Sementara itu, Mad Haer, Direktur Pena Masyarakat Banten, ancaman nyata sudah di depan mata, dengan banyaknya PLTU di Banten sudah seperti mesin pembunuh yang akan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sekitar.
“Hari ini masyarakat butuh energi yang baik agar kehidupannya tidak terganggu oleh limbah dan polusi yang mengancam kehidupan masyarakat,” pungkasnya. (As)