Oleh Edi Ramawijaya Putra
Peringatan Hari Guru 25 November 2017 beberapa hari yang lalu memberikan pesan kepada kita bahwa pendidik masih memiliki arti penting di tengah masyarakat. Peringatan dan perayaan Hari Guru tidak hanya dilakukan oleh unsur sekolah, siswa, orang tua/wali dan komite sekolah namun juga oleh warga netizen. Tagar #HUTKE72PGRI menjadi trending topic dan viral di jagad sosial media. Selain momentum apresiasi semua insan terhadap bakti dan dedikasi guru sebagai agen perubahan dalam peradaban manusia, peringatan hari guru juga merupakan wahana critical self-evaluation bagi guru untuk meningkatkan peran dan kompetensi untuk terus meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Eksistensi guru pada perubahan paradigma peserta didik dalam era digital, milenial dan disrupsi ini diharapkan berjalan seiring dan seimbang. Oleh karena itu guru harus melakukan transformasi dan inovasi. Proses transformasi ini akan berimplikasi pada perubahan pendekatan, didaktis-metodik dan strategi pembelajaran yang diimplementasikan di dalam kelas. Salah satu perubahan mendasar yang wajib dilakukan oleh guru adalah shift-model dimana guru sebelumnya hanya sebagai pusat sumber ilmu menjadi kolabolator, fasilitator, motivator dan inspirator. Ilmu pengetahuan dalam konteks ini adalah subjek yang dinamis, berubah-ubah dan berkembang setiap saat tanpa henti.
Saat peserta didik menguasai dunia dalam genggaman tidak ada satu informasi yang luput dari mereka, tidak ada satu perkembangan yang mereka tidak tahu. Ironinya, banyak guru yang kalah cepat dengan perkembangan informasi, berita dan pengetahuan sebagai akibat dikotomi digital native dan digital immigrant. Sering sekali pemahaman awam mereduksi niai dari pendidikan itu sendiri dengan membuat definisi sempit mengartikan pendidikan sebagai proses transfer ilmu saja. Ilmu pengetahuan sebagai komoditi pada proses transaksional dan interaksional yang terjadi di balik gedung-gedung persekolahan. Jika pembelajaran saat ini adalah representasi dari definisi tersebut maka cepat atau lambat sekolah menjadi tidak relevan lagi, untuk apa datang ke sekolah?
Kecanggihan mesin pencari dan sumber referensi dengan moda daring tidak akan mengurangi dan menggantikan peran dan fungsi guru sebagai pendidik. Meski siswa dapat mencari jawaban yang paling spesifik sekalipun dengan satu sentuhan jari saja namun bertumbuh dalam perkembangan tidak dapat diserahkan pada lautan informasi maya. Dalam konteks ini para guru dihadapkan pada satu pusaran penting yaitu memastikan posisi guru masih teramat fundamental sebagai penyemangat, penggugah dan penyulut api belajar. Informasi dan sumber referensi tidak didesain untuk mengganti piranti berpikir dan perkembangan kebijaksanaan melainkan sebagai sarana untuk mencapai hakikat pendidikan yaitu menjadi manusia yang berguna, berbudi pekerti luhur dan beradab.
Untuk mencapai hakikat pendidikan di atas, guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang inspiratif bukan akumulatif. Desain pembelajaran yang memberikan rangsangan berpikir, berucap serta bertindak yang positif dan konstruktif di masa depan. Sumber inspirasi yang bertahan dalam hati sanubari peserta didik yang akan mendorongnya untuk menciptakan, menemukan, menggali sesuatu yang berguna meski sudah tidak bersekolah. Faktanya semua peserta didik memiliki potensi, keahlian dan bakat yang spesifik namun hanya beberapa diantaranya yang mampu tumbuh dan berkembang. Tugas guru bukanlah semata-mata menuangkan pengetahuan tapi menyalakan pelita agar siswa tau arah dan tujuan hidup mereka sebagaimana dianalogikan oleh William Butler yang mengatakan bahwa “Education is not a filling of a pail, but lighting of a fire”.
Munculnya karakteristik yang unik peserta didik pada era milenial ini menjadi tantangan tersendiri bagi para maestro pendidikan. Salah satu karakteristiknya adalah selalu terkoneksi dan interkoneksi. Meminjam istilah Prof. Rhenald Kasali bahwa anak-anak dan remaja era sekarang ini disebut Gen-C (Connected Generation). Generasi ini terhubung oleh sosial media, gadget, group, games dan bentuk virtual lainnya. Kehidupan gawai membuat peserta didik lebih ekspresif dan ekploratif. Mereka cenderung pasif dalam kelas namun sangat aktif dalam komunikasi linimasa. Banyak siswa yang tidak bisa menjawab namun apik dalam membuat opini dan posting dan berbagai temuan lainnya. Maraknya digitalisasi pendidikan, eksploitasi multimedia sebagai bahan ajar, moda belajar daring oleh kalangan pendidik merupakan contoh nyata upaya untuk mengikuti perkembangan peserta didik. Namun, lagi-lagi guru harus tetap mampu menghadirkan inspirasi-inspirasi di dalamnya agar kemudahan teknologi informasi dan internet tidak menjadi sumber kesesatan dan petaka.
Mantan Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt pernah berkata “Nobody cares how much you know, until they know how much you care”. Guru yang disenangi oleh para siswa biasanya tipikal yang berempati, easy-going, mudah bergaul dan komunikatif sebagaimana tuntutan kompetensi sosial dan kepribadian seorang guru. Akses inspirasi akan lebih mudah dilakukan jika siswa merasa nyaman dan tidak takut berada dalam kelas. Oleh sebab itu, pendidik “jaman now” diharapkan dapat membangun hubungan yang sinergis meminimalisir hirarkis formal sehingga peserta didik dapat dengan optimal berinterkasi dan berkolaborasi untuk bertumbuh dalam pendidikan. Guru dapat membangun hubungan emosional yang baik dengan mengenali sejak dini bagaimana latar belakang kehidupan siswanya, hobinya, keluarganya, pengalamannya dan membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Di sisi yang lain, PKB (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan) yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Pusat, Dinas-Dinas Daerah dan LPMP belum memberikan bekal yang cukup bagi guru untuk mengekplorasi potensi yang ada dalam dirinya. Diklat, workshop dan orientasi keguruan masih bersifat teoretis dan pengulangan regulasi belum pada aspek yang applied menunjang profesi guru secara langsung. Proses monitoring dan evaluasi pasca diklat dan program PKB oleh lembaga berwajib tidak memliki sistem yang baku dan tersistematis. PKB sering berakhir hanya pada eksekusi anggaran, seremonial dan pembagian sertifikat. Munculnya orang-orang hebat di masa yang akan datang bukan lahir dari guru-guru yang terus mengajar tapi yang terus menginspirasi.
Edi Ramawijaya Putra, adalah Akademisi dan Penulis, Konsultan Pendidikan, Pegiat Literasi di Lombok Utara NTB saat ini adalah dosen tetap Bahasa Inggris di STABN Sriwijaya Tangerang, mengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan Banten, Pendiri MOST English & Education Center, Kandidat Doktor Linguistik Terapan Bahasa Inggris Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.