“Kamu bisa membohongi semua orang pada satu waktu, kamu bisa membohongi sebagian orang untuk selamanya, tapi kamu tak bisa membohongi semua orang untuk selamanya.” – Abraham Lincoln, 1809-1865
biem.co — Sudah dua dasawarsa lebih, tepatnya 23 tahun, telah kita lalui sebagai sebuah entitas kebangsaan yang bersifat heterogen. Pada saat yang sama, agenda reformasi masih menjadi pekerjaan rumah yang seharusnya selalu kita evaluasi secara holistik. Hal ini sangatlah esensial, mengingat agenda reformasi yang sedari awal diperjuangkan secara bersama-sama, kini tampak tidak berjalan secara maksimal, terseok-seok bak ikan yang sedang mabuk, apabila tidak mau meyebutnya mengalami kemandekan.
Dua dekade reformasi lebih yang telah kita lewati tentu memiliki pelbagai tantangan-tantangan yang berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen bersama dalam mewujudkan cita-cita nasional, yaitu kesejahteraan, melalui saling percaya antarsesama (mutual trust), juga semestinya dapat lebih meningkatkan pemahaman bersama (mutual understanding) mengenai pengelolaan negara.
Semenjak telah usainya proses elektoral pada 2019 silam, tampaknya masih menarik untuk dicermati, terutama dalam dinamika perkembangan politik di aras nasional. Setelah terbentuknya pemerintahan dan/atau kabinet Jokowi-K.H Ma’ruf Amin, secara faktual menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia memiliki kepentingan yang sama, dalam hal ini, mempunyai orientasi yang sama untuk mencapai puncak kekuasaan dengan pelbagai metode, termasuk ikut serta dalam koalisi pemerintahan; ada yang sedari awal sudah membuat konsensus bersama dalam konstelasi politik, ada pula yang baru bergabung dengan mudahnya, jika ditelisik secara kasat mata, dalam pandangan di depan.
Berbeda halnya, apabila dilihat dari aspek atau sudut yang lain, yang tentunya tak semudah membalikan telapak tangan, justru lebih sukar, karena ada kesepakatan tak terlihat yang tentunya tidak bisa diterka secara cepat. Karena, dalam politik, akan selalu ada yang mengejutkan.
Dengan kata lain, khalayak publik akan selalu disajikan konten-konten baik bahwa parpol akan selalu memperjuangkan hak-hak rakyat dan retorika lainnya, ketika dalam panggung depan politik (frontstage politics). Karena, untuk menjadi politisi terkadang kita hanya membutuhkan kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas dalam bidang atau sektor retorika.
Meski demikian, bahasa retoris juga kadang tidak sesuai dengan pelaksanaannya secara praktis riil. Akibatnya, konstitutuen, masyarakat, dan pemilih mengalami distrust terhadap institusi modern, seperti partai politik. Bahkan, hal ini juga akan bermuara terhadap melemahnya kepercayaan kepada para politisi di Senayan. Kemudian, dalam panggung belakang politik (backstage politics) biasanya tidak akan tersaji kepentingan-kepentingan para elite politik dan/atau partai politik, dan politisi.
Dengan demikian, ungkapan Abraham Lincoln di atas tampak sangat relevan untuk dijadikan sebagai tools untuk merefleksikan perkembangan demokrasi dan unsur pendukung lainnya.
Dalam kaitan tersebut, melihat partai politik di Indonesia kontemporer yang justru tampak terjerembab pada praktik pragmatisme sempit, yang hanya mengutamakan kepentingan individu, kelompok, dan organisasi, tanpa memerhatikan kepentingan masyarakat pada umumnya. Ungkapan ini juga selaras dan/atau diafirmasi dalam sebuah studi.
Meminjam perspektif Andreas Ufen yang pernah mendedahkan bahwa partai-partai di Indonesia cenderung berkembang menjadi apa yang disebutnya sebagai “partai-partai kartel,” yaitu sebuah partai yang melekat pada negara, teralienasi dari masyarakat dan didominasi oleh para pejabat publik. Pada dasarnya, apabila hal demikian terjadi dalam sistem demokrasi seperti yang sedang dilalui oleh bangsa Indonesia, maka tentunya hal ini merupkaan preseden buruk bagi perkembangan demokrasi.
Selanjutnya, hal tersebut akan berdampak pada karamnya daya kritik parpol sebagai sebuah entitas modern, karena sudah merasa cukup dan/atau puas terhadap kekuasaan yang sudah diraih. Padahal, partai politik juga memiliki fungsi sosial yang sangat substansial dalam sistem politik di Indonesia, yakni sebagai salah satu pelindung yang menjadi aktor check and balances dalam mengelola jalannya roda pemerintahan.
Gemuknya koalisi pemerintahan dapat dilihat representasi dukungan yang ada di lembaga legislatif, dalam hal ini para politisi di Senayan yang merupakan anggota dan/atau kader partai politik tertentu. Dalam bahasa lain, eksekutif memperoleh legitimasi yang besar, apabila partai politik tertentu sudah diakomodasi kepentingannya.
Gemuknya koalisi akan melahirkan erosi demokrasi yang akan berujung pada tenggelamnya kapal besar yang bernama ‘demokrasi’. Meskipun, pada satu sisi memberikan keuntungan, karena akan mempercepat pembangunan.
Namun, tanpa adanya kontrol yang sehat, tentu ini tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang sering diagung-agungkan. Karena, demokrasi memiliki sebuah prinsip yang sangat arif, yakni menjunjung tinggi asas akuntabilitas. Oleh karena itu, sudah seyogianya kita merefleksikan diri di tengah perkembangan demokrasi di Indonesia yang tampak masih tertatih-tatih.
Ajeknya Koalisi
Dalam pengamatan penulis selama berjalannya pemerintahan jilid kedua Jokowi, yang berpasangan dengan K.H. Ma’ruf Amin, memiliki komposisi struktur legitimasi yang kokoh. Hal ini diafirmasi dalam pelbagai komponen.
Pertama, dari aspek institusi partai politik. Semula, partai politik yang mendukung pasangan Jokowi-K.H. Ma’ruf Amin pada kontestasi politik nasional hanya terdiri dari PDI-Perjuangan, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, PSI, Perindo, PKPI, Hanura, dan PBB. Kemudian, kekuatan atau komposisi tersebut bertambah saat penyusunan struktur kabinet, yang diikuti Partai Gerindra.
Pada hasil perolehan hasil proses elektoral pada 2019 yang lalu, sebagian besar partai politik yang mendukung pasangan Jokowi-K.H. Ma’ruf Amin memperoleh kursi yang dominan.
Sebagaimana yang sudah diketahui, kursi DPR RI pada 2019 menjadi 575 kursi, dan secara umum partai-partai yang sudah mendukung Jokowi-K.H. Ma’ruf Amin memiliki keterwakilannya di parlemen, misalnya, PDI-Perjuangan yang memiliki kursi sangat dominan, yaitu sebanyak 128 kursi, diikuti Golkar 85 kursi, NasDem 59 kursi, PKB 58 kursi, dan PPP sebanyak 19 kursi.
Berdasarkan catatan tersebut, seperti yang sudah diilustrasikan secara eksplisit bahwa partai politik yang mengawal pasangan Jokowi-K.H. Ma’ruf Amin yang paling dominan adalah PDI-Perjuangan, dan paling sedikit diperoleh PPP.
Secara umum, koalisi pendukung Jokowi pada Pemilu 2019 memperoleh 349 kursi atau jika dipersentasekan sebanyak 60% kursi. Sementara itu, partai politik lainnya juga memperoleh suara yang berbeda, dalam hal ini, yang menjadi penantang pada proses elektoral, seperti, PKS (50) kursi, PAN (44) kursi, Partai Gerindra (78) kursi, dan Partai Demokrat (54) kursi. Secara akumulasi dari keempat partai politik tersebut, hanya memiliki 226 kursi atau setara dengan 40% kursi di DPR. Jadi, di sini juga sudah sangat tampak perbedaan yang signifikan, yakni 60% dan 40%.
Kekuatan komposisi kabinet Jokowi juga semakin bertambah dengan masuknya Partai Gerindra ke koalisi pemerintahan. Hal ini menunjukkan akan semakin kokohnya roda pemerintahan. Sepanjang pengamatan penulis sejak dilantiknya komposisi kabinet sampai saat ini memperlihatkan masih belum goyahnya koalisi Jokowi, terlepas dari adanya hiruk-pikuk reshuffle kabinet. Tak hanya itu, kekokohan koalisi ini juga berdampak pada berjalannya pengambilan keputusan. Dalam bahasa yang lebih sederhana adalah saling mendukung satu sama lain dalam membuat produk politik.
Koalisi partai politik pendukung Jokowi pada 2019 silam yang mendapatkan perolehan kursi yang cukup signifikan tentu karena ada efek ekor jas (coattail effect) yang membantu semua parpol anggota koalisi. Efek ekor jas ini tentu momentum yang sangat baik bagi parpol yang pada Pemilu sebelumnya mengalami erosi suara atau meredupnya hasil Pemilu dan/atau ada interpretasi lain, seperti, bermigrasinya para pemilih ke partai lain dan diperkuat masih lemahnya Party ID.
Senyapnya Parpol Oposisi
Seperti yang sudah disebut di awal bahwa sebagian besar partai politik bergabung dengan koalisi pemerintahan, alhasil hanya tersisa beberapa partai politik. Jika kita lihat secara faktual, pada dasarnya memang akan irasional secara politik, karena secara proporsi persentase pun sangat jauh.
Namun dalam iklim demokrasi, watchdog dari berbagai elemen harus selalu ada, agar untuk mengawasi dan mengontrol jalannya roda pemerintahan. Sebab, meminjam istilah Francis Fukuyama (2005) yang pernah mendedahkan dalam sebuah studinya, sebuah lembaga negara yang baik adalah suatu lembaga yang secara transparan dan efektif melayani kebutuhan-kebutuhan para kliennya, yakni warga negara.
Respons publik pada saat para politisi mengambil keputusan (decision making) tentu memunculkan riak-riak yang sangat dahsyat, tapi entitas modern, seperti partai politik juga tampak tidak mendengar secara lugas ungkapan kegelisahan para warga negara, karena kebijakan dan/atau produk politik yang dibuat tidak serta-merta melibatkan masyarakat secara menyeluruh.
Hal ini juga bertentangan dengan semangat reformasi. Semestinya, warga negara juga dijadikan sebagai subjek dalam pembangunan, terutama dalam hal ihwal pembahasan formulasi kebijakan publik, karena produk politik yang dibuat juga akan berdampak secara eksklusif kepada masyarakat di aras grassroots.
Dalam peristiwa tersebut dapat kita lihat bahwa, pertama, partai politik sebagai sebuah institusi modern, belum maksimal memainkan perannya sebagai sebuah lembaga, yang semestinya dapat memberikan pelayanan prima kepada kliennya, dalam hal ini warga negara.
Kedua, parpol seolah tutup mata dan telinga atas pelbagai peristiwa yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat secara menyeluruh. Akibatnya, saat ini terlihat secara jelas, munculnya riak-riak dari pelbagai kalangan dalam melakukan check and balances.
Dengan kata lain, seolah peran dan fungsi parpol diambil alih secara tidak langsung oleh para kalangan yang memiliki concern terhadap rumah besar, yakni demokrasi, termasuk riak-riak itu muncul dari kalangan anak muda; pada masa silam, anak-anak muda kerap diasosiasikan sebagai suatu kelompok yang sangat apatis terhadap dunia politik. Hal itu kini tidak relevan lagi, karena para anak-anak muda mulai menggeluti pentas politik. Bahkan, partai politik kontemporer juga sangat tertarik untuk menarik anak-anak muda untuk ikutserta bergabung ke partainya.
Meski demikian, baik partai politik yang masih bersatu atas nama koalisi maupun oposisi, seharusnya dapat memberikan teladan yang apik, agar tetap menjaga marwah reformasi. Sebagai salah satu aktor demokrasi, parpol dituntut untuk dapat melakukan transformsi besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui representasi anggota dan kadernya yang menjadi pemimpin nasional maupun politisi. Institusi modern (parpol) dan stakeholders lainnya juga harus berjibaku dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila, agar semangat kegotongroyongan dalam mengembangkan bangsa Indonesia juga kembali menyala.
Stabilnya koalisi pemerintahan karena ada asa yang diutamakan sampai saat ini, menjelang proses elektoral 2024 tentu koalisi tersebut akan memunculkan resonansi baru, biasanya akan muncul riak-riak perbedaan pendapat dan sikap antarpartai koalisi, dan sebaliknya juga, kadang parpol oposisi yang juga kerap mencari perhatian agar dapat masuk dalam koalisi. Karena, secara kalkulasi politik, yang memegang kekuasaan biasanya sudah memiliki kesiapan lebih awal untuk kompetisi pada Pemilu mendatang.
Biasanya, perbedaan pendapat akan muncul ketika para representasi parpol yang berada di K/L direshuffle. Selain itu, karena hendak mencari eksistensi, agar institusinya tetap eksis di mata khalayak publik, termasuk tidak diakomodasinya kepentingan tertentu. Terakhir, di tengah iklim demokrasi, semangat untuk menjaga agar reformasi bejalan sebagaimana mestinya, perlu komitmen antarpihak, terlebih di tengah situasi dan kondisi yang sangat sukar seperti ini. Kinerja baik tentunya sangat ditunggu oleh masyarakat. (*)