Oleh: Setiawan Chogah
Aku Ingin Tua dan Mati di Kampung Kita
Tahun-tahun usai dan datang kembali, dan aku kian tua di sini.
Di dadaku, Mak, tumbuh subur sebatang pohon.
Pohon berdaun lebat dan akar kokoh menghujam jantung.
Dedaunnya terus saja membisikiku, "Pulanglah."
Sadar diriku ini, Mak. Kelak, pun aku tak ingin jasadku bersemayam di pandam-pandam yang aku sendiri tak mengenalnya ini.
Di kepalaku, Mak, tumbuh pula pohon angan berdaun lebat.
Hijau serupa daun-daun talau yang kerap memiangiku di masa bocah.
Di masa menjelang petang seperti ini, daun-daunnya kususun, menjelma rumah sederhana kita dengan anak sungai di belakangnya.
Rumah yang kuperuntukkan untukmu, menantu, dan cucu-cucumu. Di sana kita hidup bersama, ditemani dendang uwie-uwie dan cekikik kawanan simpai yang berlompanan di pohon-pohon karet.
Mak, aku ingin tua, dan mati di kampung kita.
Rantau, 27/05/2015
Setiawan Chogah lulus dari Jurusan Teknik Industri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Sempat bekerja di perusahaan fabrikasi, namun akhirnya memilih untuk menggeluti pekerjaan yang berhubungan dengan dunia kata-kata. Pernah bekerja di Tabloid Banten Muda dan menjadi kontributor di halaman Gen B Banten Pos. Pada 2014, Chogah memutuskan untuk mengabdi di lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa cabang Banten. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit adalah SMS Terakhir (Penerbit Andi, 2013) serta beberapa tulisan yang tersebar di sejumlah media dan antologi. Saat ini juga menjabat sebagai editor in chief di biem.co.