biem.co — Mulai detik lalu, telah kutanamkan takdir yang malang dalam hidupku. Di pulau kecil ini akhirnya kujatuhkan pilihan untuk mengadu nasib. Melalui kenalan seorang kawan, aku dapat dibantu, dan bertolak dengan nafas lega dari pulau Jawa ke pulau yang berada tepat di tengah-tengah peta Nusantara ini. Meski harus melewati perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Setidaknya aku bebas dari cegatan orang-orang berpakaian putih serba tertutup, dengan alat tergenggam entah apa di tangan mereka.
Seperti debu, mereka bertebaran di mana-mana. Setiap hari tumbuh peringatan dengan ancaman yang menakutkan dari spanduk, poster, media sosial, televisi, mengatasnamakan diri mereka dengan nama “Tim Pencegahan.” Mereka melarang Sumi, tetangga dekatku, untuk berjualan. Mereka melarang suaminya, Pak Dedes, untuk menarik delman. Mereka melarang anakku, Nuki, untuk bersekolah. Dan mereka juga melarangku keluar rumah; memungut pundi-pundi rupiah di dunia malam.
Seorang janda yang tak memiliki siapa pun sebagai tempat bergantung, sudah menjadi naluri untuk memutuskan sesuatu dengan cepat dan tepat. Tak mampu bertahan dalam situasi itu, akhirnya aku memilih pergi, demi melanjutkan hidup.
Di sini aku mengenal Narto. Karena sejak muda pergaulanku yang bebas, aku cepat membaur kepada siapa saja. Narto dengan senang hati mengizinkan aku tinggal di rumah kontrakan yang dikelolanya dengan harga cukup miring.
“Nanti jangan paksa saya yang aneh-aneh, ya!” sungut Narto berpesan. “Kalau tidak bisa membayar, yowes ditunda dulu. Ndak apa-apa. Harga kontrakannya tak kasih murah juga karena kebutuhan buat hidup di sini mahal.”
Meski begitu, sama seperti yang lainnya, toh lelaki itu juga akhirnya menelan kembali kata-katanya sendiri. Karena terhimpit kebutuhan, aku diminta untuk melayani syahwat bejatnya. Seorang wanita yang entah harus mengadu kepada siapa, apa kuasa?
Setelah bercerai karena diselingkuhi, pernah terbesit padaku untuk menikah lagi. Tapi entah, ketika kuberitahukan kenyataan bahwa aku janda beranak tak berpunya, niat itu selalu terpental kepada setiap lelaki yang ingin kudekati. Dan seiring waktu berjalan, bertahan dalam kesendirian, perasaaan itu perlahan-lahan mulai mati.
Aku sangsi apa itu cinta di antara manusia. Yang kutahu hanya nafsu yang dibungkus oleh rasa suka sama suka; yang tumbuh di antara paras yang rupawan, dan dompet yang tebal (atau bahkan keterpaksaan?). Karenanya, hidup untuk menikmati cinta yang sementara tidaklah demikian buruk, pikirku. Tak ada kepura-puraan yang perlu disembunyikan. Sebab kau tahu, hanya ada satu kesempatan untuk meluruhkan semuanya, dan mencapai puncak.
Aku yakin Tuhan mengutukku atas nama kebaikan. Tuhan hanya cemburu karena aku lebih mendului kesetiaanku untuk yang lain. Ia menjauhiku dari hal-hal yang kekal, yang sejatinya sungguh mengerikan, lalu mendekatkanku pada hal-hal yang fana namun menyenangkan. Dan atas kuasa-Nya aku hidup melacur seperti ini.
***
Dua bulan sejak kepindahanku dari kontrakan itu, akhirnya membawa perkenalanku kepada Seli, wanita penghibur salah satu vila terkenal di pulau ini. Bersamanya aku ikut bekerja dan tinggal dalam satu rumah kontrakan cukup mewah di sebuah perkomplekan.
Soal pembayaran rumah itu, berhubung masih pemain baru dan jatah yang kudapatkan tak banyak, Seli berbaik hati hanya menyuruhku mengeluarkan kantong untuk sekenanya saja demi keperluan isi dapur.
“Nanti kalau kau lebih lama di sini, mulai dikenal, bakal lebih banyak yang narik,” katanya.
Seli seolah telah melegenda, hampir seantero pulau ini tak ada yang tak mengenal. Sebagian besar memanggilnya Seli Kuncir. Entah untuk alasan apa. Namun memang, kalau yang dimaksudkan orang-orang adalah penampilannya, aku hampir tak pernah menemukan wanita berparas ayu itu muncul dengan kondisi rambut terberai, selain diikat dan juga dijepit dengan model kuncir. Dibandingkan mengenalnya dengan sebutan seperti itu, hal yang mencolok padaku darinya justru tato bergambar bunga mawar dan pistol yang terlukis cukup besar di atas buah dadanya yang lebar. Kesan yang sangar dan binal, menurutku.
Menginjak usia kepala tiga, wanita itu mengiringi dunianya hanya seorang. Ia tak ikut menggantungkan harga dirinya seperti wanita penghibur lain. Ia anti mucikari. Bukan tanpa sebab. Dulunya ia pernah mengekor, tapi karena tak tahan kerap mendapatkan perlakuan tak adil, ia memilih pergi.
“Gendeng. Sebagai orang yang sudah jatuh, aku ogah tertimpa tangga pula,” sungutnya.
Berbeda dengan dunia malamku sebelumnya, Seli tak ingin mengikat apapun padaku. Ia membebaskanku menentukan jalan sendiri.
Tak ada jadwal pasti melayani. Semenjak orang-orang aneh itu menyebar sampai ke pulau ini, vila jadi terbilang sepi. Akibat situasi ini, kami cukup kewalahan. Seli harus memutar otak untuk mematok tarif kembali. Dan aku pun harus melonggarkan kriteria pelanggan yang hendak dilayani.
“Apa kabar Si Nuki, Ning?” celetuk Seli bertanya sambil mengudut sebatang rokok. Hening sebentar menanggapinya untukku yang tengah menenggak segelas anggur merah.
“Baik. Baik,” jawabku mengulang. Kerlip lampu Bar menyala, musik disko terhentak, dan beberapa orang tampak menari mengiringi meski tak terlalu ramai. Kami berdua duduk di pojok ruangan menikmati suasana.
“Seperti apa rasanya?”
“Mm?” kataku, dengan gelas terkulum di mulut. Sambil memandu air berwarna merah agak pekat itu masuk ke kerongkongan, kepalaku berputar menerka maksud dari pertanyaannya. “Apanya?” tanyaku selepasnya coba memperjelas.
“Punya anak,” katanya, sambil dengan santai mengembus tipis asap rokok dari mulutnya.
“Berat untukku harus menghidupinya seorang diri. Berat juga buatnya, karena harus hidup hanya dengan seorang Ibu.”
“Syukurlah. Daripada aku…”
Aku diam sejurus, coba menarik senyum pada bibirku. “Kenapa?” tanyaku mencoba memancingnya bercerita.
“Seandainya waktu belia dulu aku memiliki pikiran untuk menikah, mungkin aku akan menikah, Ning. Keperawananku bisa jadi tidak akan sia-sia oleh ulah bejat seorang pejabat tak berotak yang memperkosaku kala itu,” ucapnya dengan nada agak dongkol. Ia lalu menuangkan botol anggur ke gelas. “Puas tak sampai, justru petaka yang kudapat,” lalu menenggak habis gelas anggurnya yang terisi penuh. “Aku dibuatnya mandul. Sial memang,” pungkasnya.
Musik disko di ruangan terdengar berputar kencang, beradu dengan hiruk suara orang-orang di sekitar yang turut berbincang.
“Berarti kau tepat bertemu denganku,” kataku. Seli tertawa menanggapi. Aku pun lalu ikut tertawa. “Kita memang orang-orang yang sial.”
“Ini bukti jika Tuhan itu adil, Ning. Kita mengimbangi apa yang Dia ciptakan. Kita ada di nasib yang buruk, sementara sebaliknya di tempat lain ada yang bernasib baik.”
“Apakah ini surga yang tertukar, Sel?”
“Ndaklah, Ning. Ini surga yang tepat. Tapi buat orang-orang bejat,” jawab Seli.
Kami berdua melepas tawa dengan kencang.
***
Pagi itu kosan Kiyem tampak sunyi tak berpenghuni ketika Seli mengajakku datang untuk menemuinya di kawasan pesisir pulau. Seli sudah lama ingin melepas rindu kepada karib lamanya itu setelah beberapa bulan tak kunjung dapat bertemu.
Masing-masing bangunan berukuran kira-kira 4×5 meter itu berdiri sebanyak lima buah, berderet di atas sebuah tanah lapang yang cukup subur ditumbuhi rerumputan liar dengan dikelilingi oleh kebun dan sawah milik warga. Sedikit menanjak naik ke jalan arah utara, debur ombak menggulung dari pantai di bawahnya cukup jelas terlihat. Sebuah kapal layar tampak mengarung di ketengahan, dan sepotong sampan seorang nelayan bergoyang-goyang ditampar angin yang berhembus tak berkesudahan.
Akhirnya aku duduk sejenak di beranda, setelah beberapa menit berlalu yang tak mengisyaratkan tanda-tanda dari keberadaan dan kehadiran Kiyem di kosan itu. Sementara Seli mencoba mencari penghuni kos lainnya barangkali tahu keberadaan Kiyem ke mana. Tapi beberapa menit kemudian, nihil juga. Dengan raut wajah sedikit kesal, Seli duduk di kursi pekarangan, lalu membakar sebatang rokok.
Mataku mengedar perhatian pada halaman di sekeliling. Sederhana. Sebuah daster dan celana dalam tampak berkibar ditiup angin pada seutas tali tambang yang diikat melintang di antara pohon jambu dan pohon mangga. Ada sebuah pondokan kecil di ujung bangunan kosan. Papan-papan dan kayu tersusun berserakan, ada radio dan televisi tabung yang tampak tak lagi berfungsi, penuh debu, mengesankan tempat itu seperti memang difungsikan sebagai gudang. Seekor anjing sesekali terlihat mengendap keluar masuk perkebunan. Melintasi kami berdua yang duduk saling melempar diam.
Tak berselang, tiba-tiba di kosan sebelah milik Kiyem terdengar suara kunci pintu di putar. Lalu kuamati pintu kayu yang tampak lapuk itu berdecit terbuka, pelan-pelan, seolah menyingkap dengan sabar apa yang selama ini ia sembunyikan.
“Seli…?!” gelegar suara itu muncul menjadi sebuah kebingungan untukku. Aku diam. Seli sontak terbangun dari kursi. Sesosok wanita dengan hanya berpakaian kutang dan celana mini lalu melangkah keluar perlahan berpaling dari balik pintu ke arah kami. Kakinya yang jenjang terlihat ideal melenggokkan irama tubuhnya yang sintal.
“Ies…!” seru Seli, penuh pasti, seperti tak mengenal wanita itu hanya pertama kali.
“Ngapain? Sudah lama? Maaf, aku ndak dengar ada orang datang.”
“Iya ndak apa-apa, Ies,” jawab Seli, “baru juga nyampe.”
“Siapa…?” tanyanya berbicara kepada Seli dengan lirik mata mencuri ke arahku.
“Ah, baru…” jawab Seli. Aku hanya diam tersenyum mengerti.
“Oalah… Maaf aku lagi ada tamu di dalam, jadi ndak nyadar tadi. Keenakan,” katanya tertawa kecil.
“Kiyem ke mana? Aku cari-cari ndak ada di sebelah.”
“Waduh maaf, Sel. Aku ndak tau. Sudah dari beberapa minggu terakhir. Akhir-akhir ini Kiyem banyak yang cari.”
“Maksudnya?”
“Kiyem sedang ada masalah. Aku juga ndak ngerti, Sel. Katanya, soal utang.” Sementara Seli terdiam mencerna, wanita itu kembali berkata, “Aku sama anak-anak sudah coba bantu, Sel. Kita juga terhimpit, coba bertahan dengan apa yang ada. Kasihan, tiap hari hanya menyuap nasi dengan garam.”
Manusia-manusia malang, kataku membatin.
Juli, 2020
Tentang Penulis: Afthon Ilman Huda, Lahir di Mataram, 1996. Menetap di Lombok Barat. Pernah menempuh Pendidikan Sarjana di Jurusan Sosiologi, Universitas Mataram. Kini tengah menekuni Sastra. Karyanya masuk dalam Antologi Puisi Menenun Rinai Hujan (2019)