biem.co — Sobat biem, kapan terakhir kali kalian menonton film di bioskop? Kali ini, saya akan memberi sedikit ulasan film yang bisa dikatakan sangat menarik perhatian, agak sensitif, dan “menampar” penonton. Yaitu, Ave Maryam.
Film yang minim kata, tetapi kaya akan makna ini mulai diperbincangkan kembali oleh khalayak media massa. Film ini sudah resmi tayang di Netflix pada 2 September 2020. Bisa dikatakan cukup berhasil menarik perhatian sepasang mata dan mengetuk hati siapapun yang menyaksikan. Meskipun sudah terbilang “basi” karena sudah dua tahun tayang lebih awal di tahun 2018, tetapi masih tetap mencuri perhatian.
Dikisahkan sosok suster bernama Maryam (40 tahun) yang memilih jalan hidupnya sebagai seorang biarawati di salah satu pondok kebiaraan di Semarang. Diceritakan ia sangat taat dan sigap dalam menjalankan tugasnya seperti membersihkan asrama, menyiapkan makanan untuk para biarawati senior serta memandikannya. Ia juga terlihat dekat dengan seorang anak bernama Dinda yang setiap pagi mengantarkan susu.
Dalam film, meskipun berbeda keyakinan, tapi keduanya nampak harmonis dalam menjalankan kehidupan sebagai makhluk sosial. Di tengah perjalanannya menjadi seorang suster, Romo Matrin mengabarkan bahwa gereja akan dipimpin oleh seorang Romo bernama Yosef, yang di mana ia adalah anak angkat dari salah satu suster senior yang ia rawat bernama Monic.
Romo tampan itu ternyata mahir dalam memimpin orchestra gereja, karena kemahirannya itulah Maryam jatuh hati dengan Yosef. Begitu juga sebaliknya, Yosef jatuh hati dengan Maryam. Hal tersebut diketahui oleh Suster Monic, ia mencoba mengingatkan Yosef tetapi gagal.
Pada suatu malam, Yosef mengajak Maryam keluar untuk sekadar jalan-jalan. Awalnya tawaran tersebut Maryam tolak, tapi lambat laun Maryam mengiyakan ajakan Yosef. Hingga suatu hari tepat di hari ulang tahun Maryam, saat mereka berdua merayakannya di tepi pantai, mereka melakukan hal yang tidak pantas dilakukan bagi seorang biarawati dengan Romo. Karena menyadari kesalahan itulah akhirnya Maryam menarik diri dari Yosef dan kebiaraan. Ia melakukan sakramen tobat dan meninggalkan tempat tinggal biarawati.
Film yang disutradarai oleh Ertanto Robby Soediskam ini awalnya berjudul Salt is Leaving the Sea dan sebelum memulai proses produksi, pihak yang membuat film ini menyurati seluruh pihak terkait termasuk keuskupan di Semarang karena dinilai sensitif.
Dilansir dari CNN Indonesia, sang sutradara juga menyatakan bahwa karya ini dibuat untuk keragaman industri film di Indonesia. Ditayangkan pertama kali pada Festival Film International Hanoi, Festival Film Asia Hong Kong, dan Festival Film International Capetown di tahun 2018. Kemudian ditayangkan kembali di Indonesia pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival dan ditayangkan di bioskop pada 11 April 2019. Namun dari 30 bioskop hanya menarik 80.000 penonton saja.
Selain itu, bagi saya yang sangat menarik dari film ini selain minim kata adalah sinematografi yang sangat mendukung. Karena secara tidak langsung penonton diajak untuk menebak latar waktu kapan kisah ini terjadi. Seperti adegan Romo Yosef mengendarai mobil, setir mobil berada disebelah kiri. Terlebih didukung dengan penjiwaan setiap pemain. Diperankan oleh Maudy Koesnaedi (Suster Maryam), Chicco Jerikho (Romo Yosef), Tutie Kirana (Suster Monic), Olga Lydia (Suster Mila), Nathania Angelia (Dinda), dan Joko Anwar (Romo Martin).
Film ini juga terdapat dua versi, yakni versi penayangan bioskop 17+ di mana ada pemotongan adegan, dan versi penayangan festival berklasifikasi 21+ utuh. Mungkin bagi Sobat biem yang sudah menonton film ini dengan versi 17+ pasti akan merasa ada yang ganjal, bahkan sedikit membenarkan posisi duduk karena ada pemotongan adegan, tak terkecuali saya sendiri.
Namun sekadar informasi saja bahwa tak banyak pula film Hollywood lain yang melakukan pemotongan adegan bahkan saat diputar di bioskop, Jupiter Ascending (2015) misalnya. Namun secara keseluruhan, saya menilai film ini sangat layak untuk disaksikan untuk Sobat biem yang sudah menginjak usia 17 tahun karena mengandung nilai sisi kemanusiaan, religius, dan cerminan masyarakat.
Terakhir, ada kutipan film yang sangat menampar saya seperti yang di awal tadi disebutkan.
“Jika surga belum pasti buat saya, untuk apa saya mengurusi nerakamu?”
Bagaimana Sobat biem, tertarik untuk menonton? (FS).