InspirasiOpini

Esai Niduparas Erlang: Diselesaikan Secara Kekeluargaan

 

biem.co — Dalam menyelesaikan suatu persoalan yang melibatkan dua pihak yang tengah atau telah bertentangan—baik secara fisik maupun psikis—hingga salah seorang menjadi pelaku dan lainnya menjadi korban, saya kerap mendengar adagium yang tampaknya begitu agung: “diselesaikan secara kekeluargaan”. Berdamai. Bermaafan. Lalu masalah pun selesai—tepatnya: “dianggap selesai”. Barangkali, adagium semacam itu terambil dari kebijakan ajaran agama-agama yang tidak membolehkan seseorang untuk menyimpan dendam, apalagi melakukan perbuatan yang sama kepada seseorang yang pernah menimpakan kekerasan terhadap dirinya dan/atau terhadap tubuhnya.

 

Namun, belakangan ini, dalam kepala saya, adagium semacam itu tak lagi mengandung makna kebaikan bagi sesama, melainkan melulu berkonotasi pada suatu keburukan yang terus-menerus dipelihara oleh para “pemenang” guna membodohi para “pecundang”. Betapa, para pelaku suatu tindak kekerasan—apa pun bentuknya—itu kerap lepas-bebas begitu saja tanpa pernah merasakan suatu kesakitan yang sama persis dengan apa yang dirasakan para korban. Dalam hal ini, tentu saya juga bukan hendak mengimani pameo “utang nyawa bayar nyawa”.

 

Tapi, mari kita bayangkan: begini misalnya, seorang mantan bupati—yang masih sangat berpengaruh karena memiliki banyak perusahaan dan tentu saja memiliki banyak uang—melakukan tindak kekerasan terhadap seorang sopir—yang tidak begitu terpandang di kampungnya, tidak memiliki perusahaan pula, dan karenanya tidak memiliki banyak uang—, dengan cara memukulinya sedemikian rupa hingga pelipis si sopir pecah dan kaca mobilnya berkepingan. Pada saat itu, si sopir tidak mampu melawan karena si pelaku itu ditamengi beberapa orang ajudan atau bodyguard—yang barangkali juga ikut menyumbang pukulan demi pukulan. Setelah merasa puas, si pelaku pun berlalu begitu saja dari tempat kejadian untuk menyelesaikan berbagai persoalnya yang lain, bisnis-bisnisnya yang lain, proyek-proyeknya yang lain—yang mungkin saja sempat tertunda beberapa jenak karena kejadian itu. Mungkin, si pelaku akan mudah melupakan tindak kekerasannya barusan, atau mungkin juga malah berbangga diri karena telah berhasil melampiaskan amarah kepada seseorang yang telah membuatnya kesal sembari berkacak pinggang, terbahak dan menyeringai, sembari berbusa-busa menyampaikan “kehebatannya” itu di depan para anak buahnya—yang tentu saja sebagai bentuk intimidasi terselubung agar kelak anak buahnya tidak melakukan hal serupa dan membuatnya kesal-sekesal-kesalnya. Sementara itu, si korban mesti tersuruk-suruk pergi ke rumah sakit, atau minimal klinik, untuk mengobati luka-luka di tubuhnya, mengobati sesak di dada, dan mengantarkan mobilnya ke suatu bengkel untuk mengganti kaca mobilnya yang pecah. Dalam pada itu, saya kira, belum tentu si korban itu mampu melupakan kejadian barusan dalam beberapa hari ke depan. Mungkin ia hanya akan berbaring sakit, menyimpan rasa marah, terluka, kecewa, sakit hati, dan sebagainya, juga tak mampu bekerja dengan baik—dalam beberapa hari ke depan—guna menghasilkan sejumlah uang untuk sekadar mengepulkan asap di penggorengan.

 

Selepas itu, sembari masih menyimpan dendam karena tak mampu melupakan tindak kekerasan yang menimpanya itu, si korban yang kita bayangkan itu, melaporkan si pelaku kepada pihak kepolisian. Dan karena si pelaku adalah bekas pemimpin suatu daerah, maka wartawan-wartawan pun datang meliput. Juru bicaranya yang angkat suara, dan polisi memberi pernyataan yang paling tegas seolah yakin betul bakal mampu menegakkan hukum secara benar. Dan kedua pihak, bisanya ditambah pihak keluarga, pun diklarifikasi. Berita-berita tentang kasus tersebut pun bermunculan dan menjadi bahan pembicaraan di media sosial atau warung-warung kopi.

 

Tapi mungkin ada skenario yang dijalankan secara lain. Begini misalnya: selepas pelaporan itu, selepas berita-berita bertebaran di berbagai media massa, maka untuk menjaga reputasi, nama baik, dan sebagainya, si pelaku mengerahkan segala kekuatan—tentu saja didukung kekuatan finansialnya secara penuh—untuk menyewa pengacara, penasihat, dan lain-lainnya, guna mendekati si korban atau keluarganya yang sudah telanjur melapor itu. Tujuannya, tentu saja, agar si korban bersedia mencabut laporannya dan menempuh jalan damai “diselesaikan secara kekeluargaan”. Dengan “kekuatan finansial” yang tak terbayangkan oleh si korban, apalagi kemudian si korban atau keluarga korban—yang telah dibujuk-didekati oleh salah seorang pengacara atau penasihat si pelaku—, mulai berpikir untuk tidak meneruskan perkara sampai ke pengadilan sebab mereka tak mampu menyewa jasa pengacara, tak ada waktu untuk bolak-balik ke kantor polisi, tak mungkin sempat mengikuti perkembangan sidang demi sidang di pengadilan, yang kesemuanya pasti akan menyita waktu yang panjang sementara perkara belum tentu mereka menangkan—sementara periuk nasi tetap mesti diisi—mulai berpikir untuk mengikuti bujukan menempuh jalan damai “diselesaikan secara kekeluargaan”. Maka hasilnya sudah bisa kita tebak: laporan dicabut, ganti rugi—mungkin dalam bentuk sejumlah uang—diterima oleh si korban, dan kedua pihak pun bermaaf-maafan. Berdamai. Dan apa yang disebut sebagai “diselesaikan secara kekeluargaan” itu pun berjalan lancar, tanpa hambatan, tanpa kekurangan sesuatu apa. Maka kini, si pelaku bisa kembali ke keadaan sedia kala: tak punya masalah dengan pihak korban, kepolisian, ataupun pengadilan. Aman. Tentram. Damai. Reputasi dan nama baiknya pun tetap terjaga. Sementara media massa daring dan luring mencetak berita-beritanya dengan judul besar-besar: “… diselesaikan secara kekeluargaan”.

 

Nah, dalam kasus tersebut, si pelaku tindak kekerasan itu tampak mudah saja terlepas-bebas tanpa pernah mengalami kesakitan yang sama dengan si korban, yang bahkan ketika proses “diselesaikan secara kekeluargaan” itu berlangsung, pelipisnya yang pecah masih berdenyut nyeri dan belum sembuh benar, dan kaca mobilnya masih dalam tahap pemasangan kaca baru di suatu bengkel yang tak begitu tenar.

 

Agaknya, dalam kasus kekerasan seksual pun sama belaka. Misalnya, kasus pencabulan atau pelecehan seksual sebagaimana yang sering kita dengar atau lihat (atau keduanya) melalui media massa kita, yang dilakukan oleh seorang guru kepada siswa, dosen kepada mahasiswa, guru mengaji kepada santri, anggota dewan kepada sekretaris pribadi, dan sebagainya dan seterusnya, ternyata dapat dibekukan dengan gampang dengan cara “diselesaikan secara kekeluargaan”; tanpa perlu si pelaku merasakan trauma, menderita, depresi, frustrasi, malu, terluka, atau mengandung dan melahirkan—jika si korban sampai bunting duluan. Untuk kasus yang terakhir ini, bagi saya, gobloknya cara “diselesaikan secara kekeluargaan” itu adalah suatu putusan yang semena-mena yang disepakati kedua pihak—biasanya disepakati oleh para perantara bermata tolol—dengan menikahkan si pelaku pelecehan seksual dengan si korban yang mungkin masih menyimpan trauma. Jika begini kejadiannya, rasanya si pelaku adalah selamanya “pemenang”, dan si korban adalah selamanya “pecundang”!

 

Nah, sampai pada titik ini, saya kerap membayangkan untuk menjadi sang “pemenang”: pukul saja dulu, gebuk dulu, hajar dulu, babak-belurkan dulu, remukkan dulu, pecahkan dulu, hancurkan dulu, lecehkan dulu, perkosa dulu, toh setelahnya saya bisa meminta maaf, mengaku khilaf, lalu bermaaf-maafan, berdamai, dan mengakhiri segala perkara dengan cara paling sederhana namun mengena: “diselesaikan secara kekeluargaan”. Selesai perkara! Namun jika ada yang rewel bertanya, cukuplah saya sewa jasa seorang ustaz atau jasa seorang bijak-bestari untuk menyampaikan kebijakan-kebijakan agama-agama yang mengajarkan kepada manusia untuk saling memaafkan, untuk tidak mendendam, untuk tidak melawan kekerasan dengan kekerasan. Sekalipun, tentu saja, kita tahu belaka bahwa maaf tak pernah membatalkan apa-apa yang pernah terjadi, dan bahwa maaf di mulut-sekadar tak pernah mampu benar-benar menawarkan pahit-luka dalam dada paling datar.

 

Tapi mungkin, bagi Anda yang masih menyimpan luka, kecewa, marah, dendam, malu, frustrasi, depresi, trauma, dan sebagainya dan sebagainya akibat tindak kekerasan—apa pun macamnya itu—, ada baiknya melempangkan segala perkara menurut hukum “diselesaikan secara kekeluargaan” itu. Bukankah cara itu sudah terlampau kaprah dalam kehidupan kita, dan terbukti ampuh untuk terus-menerus mempecundangi Anda, sekaligus menempatkan Anda dalam posisi sebagai “seorang kalah” untuk selama-lamanya?

 

Tapi sekali lagi, saya tak sedang menganjurkan kepada Anda agar mengimani pameo “utang nyawa bayar nyawa”. Tidak. [*]


Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011. Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar (2015) adalah buku kumpulan cerpennya yang baru terbit. 

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button