biem.co — Banyak kecurigaan bahwa munculnya wabah pandemi Covid-19 hanyalah siasat kecil penguasa kapital global untuk menciptakan krisis finansial demi mengembalikan dominasinya di tengah wabah ini dengan melalui berbagai lembaga keuangan dunia.
Target tersebut kemudian disasarkan kepada negara-negara berkembang dan terbelakang dalam skema kredit atau utang, yang beberapa tahun lalu berhasil meluluhlantakkan fundamen ekonomi serta diobral habisnya aset Indonesia.
Pada dasarnya sebagian dari kita setuju, persoalan ekonomi di negeri ini mesti berani dibincang ulang, seperti PERPPU NO 1 Tahun 2020 yang kini telah sah menjadi UU Covid yang di dalamnya memuat pasal-pasal kontroversi yang mengatur kebijakan fiskal atau keuangan Indonesia sampai pada dasar keberadaan sistemiknya hingga dasar epistemologis dan filosofisnya.
Pemeriksaan secara sistemik akan memberikan asumsi tepat mengapa krisis dapat menyengat begitu lama di tubuh Indonesia di tengah pandemi. Pelbagai macam strategi dilakukan hingga terbitnya kebijakan “New Normal” yang menurut sebagian publik menjadi hal yang sangat riskan dan rentan terhadap kondisi negeri. Katakanlah kebijakan ini bisa saja dapat menjadi bumerang bagi Indonesia, pasalnya bisa menambah angka manusia yang positif terpapar Covid-19.
Tentunya sejak pergantian milenium, raksasa ekonomi dunia seperti Amerika Serikat, Eropa dan macan Asia seperti Cina dan Jepang memulai perang ekonomi. Namun, akibat munculnya wabah Covid-19 yang berawal dari Wuhan, Cina menyebabkan terinfeksinya perekonomian banyak negara menjadi lemah bahkan menuju kehancuran.
Mungkin dalam sepuluh tahun terakhir muncul perang baru, yakni “perang mata uang” (forex war). Ini merupakan turunan langsung dari perang dagang dan perang tarif yang merupakan bagian dari perang ekonomi global yang sedang terjadi. Dunia keuangan hari ini ialah hasil dari evolusi ekonomi selama empat milinia. Uang-hubungan yang mengkristal di antara debitor dan kreditor yang menghasilkan bank-bank, tempat-tampat kliring untuk setiap total pinjaman yang lebih besar.
Pada hari ini Indonesia tengah mendapatkan ancaman serius dalam fluktuasi ekonomi yang kian terpuruk akibat pandemi. Ancaman serius didapatkannya akibat ketidakmampuan para pemangku kebijakan untuk menganalisis serta memprediksi berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam kolapsnya ekonomi di tengah wabah ini.
Anggap saja Indonesia kini sedang mengalami masa dilemanya untuk mencari alternatif-alternatif baru agar perekonomian tetap stabil. Namu sebaliknya, virus ini semakin menggrogoti keadaan negara menjadi “negeri penuh ironi.”
Gejala ini secara signifikan akan terus terjadi lima sampai sepuluh tahun ke depan. Bahkan saat ini dampaknya sudah dirasakan dengan menghilangnya jutaan lapangan pekerjaan, kesenjangan sosial, dan jaminan kebutuhan hidup dan kesehatan yang tidak menentu.
Imunitas perekonomian Indonesia semakin melemah akibat melilitnya hutang yang begitu besar. Banyak negara pengimpor seperti Cina, Amerika Serikat, Korea, dan negara kaya minyak seperti Arab Saudi dan Qatar sudah melakukan hampir 500 akuisisi lahannya untuk mencegah kerusuhan sosial.
Kita perlu mengetahui apa saja yang bisa menyebabkan Indonesia mengalami civilization collapse, sehingga bisa mempersiapkan diri. Perang dagang kini menjadi entitas nyata yang mengakibakan dua pertiga minyak impor dunia hilang dari pasar. Dalam menghadapi krisis yang sangat besar, Indonesia secara tidak langsung akan mengalami defisit sistem ekonomi dan politik dari unaccountability sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial.
Di sisi lain patut pula dipertanyakan dalam situasi serba defisit (politik, ekonomi, sosial) seperti sekarang: Apakah konsep globalisasi saat ini dengan lembaga multilateral (PBB, IMF, World Bank, WTO) dapat mengembalikan keadaan Indonesia semakin membaik?
Mari sedikit kita melirik isu hari ini akibat pandemi; Perppu Covid-19 yang sudah ditetapkan menjadi UU Covid-19, RUU Minerba sudah menjadi UU Minerba, Perpres 64/2020 tentang kenaikan iuran BPJS, Penerapan PSBB yang tidak efektif, RUU haluan Ideologi Pancasila yang akan menghilangkan TAP MPRS XXV/MPRS/1966, RUU Cipta Kerja, Program kartu pra kerja sebesar Rp20 triliun, turunnya harga minyak dunia namun tidak turunnya harga BBM dalam negeri, penerima bansos 2020, data penerima diambil di tahun 2015.
Ekonomi yang berkembang meningkatkan penerimaan pajak-memungkinkan penyerapan pinjaman dan mengembalikan keuangan negara yang berkelanjutan. Kemudian pinjaman dapat dilanjutkan jika dapat mendorong pertumbuhan lebih lanjut.
Pemerintah tidak bertanggungjawab membiayai mereka sehari-hari dengan meminjam, dan investasi tetap pada tingkat yang mereka bisa bayar. Sejarah mengajarkan bahwa utang negara harus ditangani dengan hati-hati. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang dapat memicu krisis hutang negara, karena dalam prakteknya krisis timbul lebih banyak dari hilangnya kepercayaan subjektif.
Pemerintah harus lebih bijaksana dalam mengurai pinjaman uang untuk kepentingan infrastruktur publik, transportasi, perawatan kesehatan dan pendidikan.
Ke depan semestinya strategi harus dikompromikan dengan memasukkan komponen produk dalam negeri sehingga paling tidak pada taraf terendah, pinjaman dari luar negeri bisa menjadi suatu investasi, bukan sebagai pinjaman negara, swasta atau bisnis, sehingga tidak membebani keuangan negara.
Adapun demikian pemerintah harus konsisten terhadap pengambilan kebijakan serta tegas dalam fungsi kontrol kebijakan yang akan dijalankan. Dengan ketegasan tersebut keterpurukan ekonomi akan tereduksi. Juga di sisi lain, dalam hal mengambil kebijakan pemerintah harus mengedepankan prinsip-prinsip moralitas dan profesionalitas. (*)
Emyr Mochammad Noor, aktivis HMI Cabang Ciputat sekaligus Co-Founder Angkatan Muda Pegiat Sosial DKI Jakarta.