Masyarakat berpancasila
Temerang arena
Cakrawala Illahi
Demikian akhir lirik dari mars Mathla’ul Anwar yang selalu dinyanyikan saat upacara bendera pada Senin pagi oleh ribuan siswa di madrasah Mathla’ul Anwar seluruh Indonesia.
Perhatian publik pada Mathla’ul Anwar mengalami eskalasi terutama pasca peristiwa penyerangan pada Menko Polhukam Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Wiranto, S.IP. saat perjalanan pulang dari acara peresmian Gedung Kuliah KH Mas Abdurrahman milik Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) Banten.
Dalam struktur organisasi, Menko Polhukam Wiranto adalah Ketua Dewan Penasihat Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, terhitung sudah 25 tahun mantan Panglima TNI era orde baru itu aktif di kepengurusan PB Mathla’ul Anwar. Wiranto adalah ayahanda bagi warga Mathla’ul Anwar dan posisi ia sedang pulang ke “rumah sendiri”.
Pasca kejadian, ada fraksi yang mempertanyakan komitmen Mathla’ul Anwar terhadap Pancasila, tekad Mathla’ul Anwar menjaga NKRI, sikap Mathla’ul Anwar pada kebhinekaan, dan kesetiaan Mathla’ul Anwar pada UUD 1945.
Semua itu muncul saat penggiringan opini dan “cocoklogi” bahwa Mathla’ul Anwar mendukung aksi penyerangan pada Menko Polhukam, mengajarkan ideologi radikalisme ekstrem, terorisme, dan dalang di balik aksi penyerangan pada Menko Polhukam. Sungguh statement yang kontradiktif, ngawur, dan tak berdasar.
Mathla’ul Anwar dan Komitmen Nasionalisme
Di antara visi mulia yang termaktub dalam preambule adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, membuat kehidupan masyarakat Indonesia menjadi cerdas, menyempurnakan akal budi masyarakat Indonesia. Mathla’ul Anwar mengimplementasikan visi mulia itu jauh sebelum preambule UUD diformulakan oleh founding fathers dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai.
Berdiri 29 tahun sebelum kemerdekaan, militansi para Kyai Mathla’ul Anwar dalam membina manusia Indonesia menuju masyarakat yang cerdas diejawantahkan dengan pendirian lembaga pendidikan Islam berupa satuan madrasah. Ekspansi dakwah dan perluasan pendirian satuan madrasah Mathla’ul Anwar dilakukan dengan kohesifitas para Kyai.
6 tahun menuju kemerdekaan, pada 1939, madrasah Mathla’ul Anwar sudah berdiri di tujuh wilayah dakwah di luar daerah dengan puluhan madrasah, pondok pesantren, dan tempat ibadah.
Berdirinya Mathla’ul Anwar diharapkan dapat membawa ummat Islam dan bangsa Indonesia keluar dari alam gelap gulita ke jalan hidup yang terang benderang, sesuai ayat al-Qur’an Yukhriju hum min al zhulumati ila al nur. Yukhriju hum min al zhulumati ila al nur adalah perjuangan Mathla’ul Anwar untuk mengangkat derajat manusia Indonesia agar tidak terkungkung penjajahan dan terpenjara kebodohan.
Yukhriju hum min al zhulumati ila al nur yang menjadi perjuangan Mathla’ul Anwar adalah fragmen mencerdaskan kehidupan bangsa, berangkat dari ayat tersebut puluhan madrasah dan pondok pesantren yang berdiri pada sebelum kemerdekaan dan ribuan pada saat sekarang ini telah menjadikan Mathla’ul Anwar sebagai laboratorium insan terdidik.
Spirit nasionalisme para kyai dan warga Mathla’ul Anwar yang dimanifestasikan melalui pendidikan dan dakwah mengalami perlawanan berat dari Belanda. Salah satu putera Mathla’ul Anwar, KH Abeh Habri bin KH Mas Abdurrahman menjadi syuhada karena mempertahankan kemerdekaan, beberapa kyai dan petinggi Mathla’ul Anwar yang punya porsi penting karena daya pengaruhnya sangat kuat di masyarakat harus diungsikan ke pedalaman kampung sebab dijadikan target oleh imperialis Belanda, bahkan beberapa tokoh sentral lain ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Boven Digul.
Komitmen kebangsaan Mathla’ul Anwar sudah terkonstruksi sejak berdirinya MA pada 1916 dengan membawa misi membangkitkan ummat dari lembah kebodohan, kemiskinan, dan kolonial. KH Entol Muhammad Yasin, KH Tb Muhammad Soleh, dan KH Mas Abdurrahman sebagai trisentral pejuang Mathla’ul Anwar memperkokoh unifikasi ummat dengan persoalan kebangsaan.
Konstruksi Sikap Tasamuh
Mathla’ul Anwar bersifat keagamaan, independen (non partisan), berprinsip menerapkan akidah Islam menurut ahlussunah wal jama’ah, berfalsafahkan Pancasila yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Mathla’ul Anwar senantiasa mengedepankan harmoni antara agama dan budaya, dan konsentrasi pada pembangunan sumber daya manusia.
Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam yang besar di kampung mengakomodasi nilai lokal (local wisdom) dan tasamuh terhadap ijtihad ulama. Dalam budaya organisasi, MA membebaskan warganya dalam bermadzhab, selagi tidak keluar pada empat imam madzhab. Karena heterogenitas paham di internal Mathla’ul Anwar maka perdebatan khilafiyah sering terjadi dan merupakan hal yang biasa, tasamuh (toleran) Mathla’ul Anwar dibangun dari internal organisasi terlebih dahulu, sehingga sikap toleran yang terbangun di internal kemudian terluapkan keluar (eksternal).
Wawasan Kebangsaan Mathla’ul Anwar
KH Uwes Abubakar Ketua Umum PB Mathla’ul Anwar 1939-1973 telah meletakkan pondasi kebangsaan dalam sub-bab kitabnya yang dinamakan Islachul Ummah Fii Bayaani Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Dalam kitabnya tersebut, KH Uwes Abubakar menyatakan bahwa wajib hukumnya ditaati yang menjadi rakyat dari negara itu. Seorang umat Islam (ahli sunnah wal jama’ah) wajib taat kepada Allah, wajib taat pada rasul-Nya juga wajib taat kepada UUD Negara dan UU biasanya (hal 46).
Masih di buku Islachul Ummah Fii Bayaani Ahli Sunnah Wal Jama’ah, KH Uwes Abubakar menilai orang-orang yang makar atau bughot pada negara boleh untuk ditindak asalkan dengan ajakan untuk kembali pada pangkuan NKRI (hal 47). Pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam perspektif KH Uwes Abubakar harus collective oriented atau maslahah lil-ammah menghindari kerusakan atau kemudaratan.
Pada kepemimpinannya, KH Uwes Abubakar berhasil mengendalikan massa Mathla’ul Anwar dan membawa Mathla’ul Anwar menjadi bagian dari kekuatan yang menyetujui Banten bergabung ke dalam NKRI.
Pandangan keislaman dan keindonesiaan juga kesetiaan pada perangkat-perangkat negara sebagai fragmentasi dari entitas organisasi sudah ditanamkan oleh para pendahulu Mathla’ul Anwar. Diskursus kebangsaan dan keislaman yang diintegrasikan oleh para pendahulu diwariskan dan diteladani oleh penerus pejuang Mathla’ul Anwar hingga sekarang.
Kini, Mathla’ul Anwar yang mempunyai ribuan lembaga pendidikan Islam telah melakukan pengembangan pemikiran Islam yang santun, moderat, menjunjung toleransi, dan berorientasi kebangsaan. Polemik yang hebat dewasa ini adalah menanyakan kembali komitmen kebangsaan Mathla’ul Anwar, oleh karenanya publik harus memahami peran Mathla’ul Anwar secara komprehensif. Sebagai epilog, saya menukil akhir dari lirik mars Mathla’ul Anwar.
Masyarakat berpancasila
Temerang arena
Cakrawala Illahi
Substansi lirik menjelma dalam domain juang Mathla’ul Anwar membina masyarakat, lokus Mathla’ul Anwar adalah mencetak sumber daya manusia yang berkualitas melalui pendidikan dan dakwah, sehingga Mathla’ul Anwar mampu menyiapkan individu yang Islami dan umat yang Pancasilais.
Hadanallah wa iyyakum ilaa shiratiem mustaqiem
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.
Faiz Romzi Ahmad, Aktivis Himpunan Mahasiswa Mathla’ul Anwar.