biem.co — Secara prosedural, tahapan demokrasi di Indonesia menyisakan satu agenda yang akan dilakukan pada bulan Oktober. Hiruk pikuk demokrasi untuk mendapatkan simpati rakyat telah berakhir sejak April sampai penetapan melalui Mahkamah Konstitusi. Keterlibatan rakyat untuk bangsa kedepan yang lebih baik sudah usai, kini masa depan bangsa beralih pada mereka yang dipercayakan untuk mengelola negara berdasarkan pada hasil penetapan.
Literatur politik, menggariskan secara jelas antara politik dan kekuasaan. Politik dan kekuasaan memang menjadi satu kesatuan secara prosedural. Politik merupakan jalan untuk meraih kekuasaan, dan kekuasaan merupakan pengendalian atas otoritas politik kelak. Prosedural yang menciptakan proses kimiawi dalam kehidupan politik, ketika politik dan kekuasaan menjadi persoalan kontradiksi yang dapat berubah secara cepat. Inilah kimiawi prosedural politik, antara politik, kekuasaan yang bermetafora dalam sikap ingin berkuasa.
Pasca penetapan, tidak sekali ini, kita disuguhi berbagai perubahan perilaku aktor politik yang menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia. Melihat hasil, serta peta politik saat ini, lumrah adanya perubahan sikap pasca kompetisi dua pasangan hingga Oktober. Lawan dapat menjadi kawan atau kawan dapat menjadi lawan. Memang politik, “tidak ada kawan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan (kekuasaan)”.
Untuk kepentingan pengetahuan, literasi dari perubahan perilaku politik dikenal dengan nomadisme politik. Nomadisme sebagai bentuk pengkayaan istilah dalam ilmu politik dapat digunakan untuk melihat perubahan sikap politik para aktor dan dampaknya untuk satu kepentingannya pada kekuasaan.
Inkonsistensi
Berawal pada Pemilu 2004, ketika pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung. Babak baru bagi kelangsungan sistem politik disertai munculnya perilaku nomad para aktor politik. Meskipun nomadisme politik hanya sebuah kecenderungan, akan tetapi jika berlangsung terus menerus dilakukan baik oleh individu, kelompok, dan partai politik akan mencerminkan orientasi sebenarnya dari aktor politik yang inkonsisten dan berdampak pada imoralitas dalam penyelenggaraan negara.
Gilles Deleuze & Felix Guattari dalam Nomadology: The War Machine melukiskan nomad sebagai setiap entitas (politik) yang dicirikkan oleh sifatnya yang selalu berpindah menjadi becoming, berdeformasi, bertransmutasi dan bermetamorfosis.
Meskipun nomad sangat erat dalam psikis seorang aktor politik, kita akan sulit menilai aktor yang mampu mempertahankan identitas, ideologis bahkan organisasi yang dipimpin. Terkadang para aktor rela mengorbankan identitas, ideologi, bahkan organisasi, yang pada akhirnya akan membentuk sikap arogansi disertai imoralitas politik dikalangan elite politik. Politik tanpa adanya rasa malu, politik hanya untuk memenuhi hasrat berkuasa.
Berkuasa memang menjadi tujuan partai politik, apapun cara dilakukan, meskipun harus pindah haluan. Akan tetapi kekuasaan yang didasari karena perilaku nomad, akan menciptakan kekuasaan yang bersifat feodal. Kekuasaan tanpa disertai sikap kritis, mengabaikan kreatifitas dan memiliki kecenderungan menunggu arahan atasan. Bahkan kekuasaan yang dipenuhi dengan rasa kekhawatiran, kekuasaan yang selalu dijaga agar tidak hilang, dengan mengindahkan tujuan berkuasa untuk penerapan nilai-nilai selama berkuasa.
Fenomena politik saat ini memang berbeda jaman dengan sosok M. Natsir ataupun Buya Hamka. Mempertahankan prinsip, tidak goyah dengan iming-iming menteri atau bentuk apapun. Oleh karena itu, sosok seperi itu tidak mudah untuk berperilaku nomad. Sikap konsistensinya menjauhkan dirinya dari perilaku kolusi untuk mempertahankan kekuasaan.
Kolusi menjadi cerminan buruk yang didapat dari aktor-aktor politik yang selalu berperilaku nomad. Nomad yang dilakukan secara sadar, untuk kepentingan nepotisme dan keberlangsungan berkuasa di tahun-tahun selanjutnya (2024). Kita tahu bahwa Jokowi sudah tidak diperkenankan mencalonkan kembali berdasarkan ketentuan UUD 1945. Oleh karena itulah, partai-partai politik berusaha masuk dalam lingkaran eksekutif dengan harapan dapat berkolusi untuk kepentingan Pemilu 2024.
Keberlangsungan Sistem
Pemilu 2024 memang masih jauh, namun bagi petualang politik, memanfaatkan sumber daya sudah harus dipersiapkan, karena sistem demokrasi kita terbilang mahal, baik dalam penyelenggaraan maupun bagi kontestan. Perilaku nomad para aktor memang tidak selalu bermakna negatif, ada baiknya ketika perilaku nomad untuk menjaga keberlangsungan sistem politik, persatuan dan menjaga perpecahan sesama anak bangsa.
Baca Juga
Polarisasi dukungan Pemilu 2019 memang sempat menajam yang memiliki potensi cukup besar akan menimbulkan gesekkan di level grass root. Upaya rekonsiliasi para elite pun dilakukan untuk menyudahi perbedaan. Berbagai langkah politik, silaturahmi, bahkan ada yang menyatakan dengan sebutan manuver para aktor politik yang sebelumnya berseberangan memunculkan beragam spekulasi dalam hal pembagian kursi-kursi jabatan.
Sebenarnya, perilaku nomad semacam ini akan menghasilkan sesuatu yang positif ketika komunikasi menggarah pada produktivitas yang selalu bergerak dinamis serta mampu mengondisikan tataran sistem politik dan nilai-nilai kebangsaan agar tetap terjaga. Perilaku nomad diperlukan untuk mengukuhkan sistem presidensial dan Pancasila sebagai ideologi negara.
Kondisi demikian akan tercipta ketika keberadaan partai-partai politik baik kedua poros berbeda dapat menerima persamaan di atas persaingan politik selama tahapan politik berlangsung.
Kini harus diposisi seperti sedia kala, kritis terhadap kebijakan diharuskan untuk terciptanya saling kontrol dan kreatifitas untuk membangun bangsa harus digerakkan secara bersama agar tujuan kita bernegara dapat terwujud. Nomadisme politik bukan perilaku yang diharamkan, akan tetapi harus berakhir kritis, kreatif dan tegas, bukan sebaliknya yang dapat menimbulkan sikap arogan dan imoralitas dalam bernegara.
Usni Hasanudin, Pengajar Budaya dan Perilaku Politik FISIP UMJ dan Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP UMJ.