Oleh Annisa Sofia Wardah
biem.co – Beo, sebuah pulau di tengah Teluk Mayalibit adalah tujuan saya dan Earli sejak sepuluh hari lalu di Kota Waisai. Butuh kesabaran menanti Bapak Kepala Sekolah untuk menjemput kami ke Waisai, dan tibalah tanggal 31 Agustus 2015, pukul 15.30 WIT, perjalanan saya dimulai.
Oh ya, perkenalkan, nama saya Annisa Sofia Wardah. Bertualang adalah hobi saya. Barangkali hobi itu pula yang membawa saya sampai ke bumi Papua ini. Saya seorang lulusan PGSD di sebuah universitas di Kota Serang, Banten. Alhamdulillah, beberapa bulan lalu saya dinyatakan lulus di program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) dari Kemenristekdikti, dan ditempatkan di SD Inpres Beo, Pulau Beo, Distrik Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
Matahari sudah lama meninggalkan kami, tapi debur ombak masih saja setia menemani sepanjang perjalanan menuju Beo.
Sebuah perahu kayu kecil menjadi satu-satunya kendaraan pilihan yang ada di daerah kepulauan ini. Warga di sini menyebutnya bodi. Si bodi berhasil membuat mata saya yang sebenarnya mengantuk menjadi terjaga. Bagaimana tidak, air laut begitu bebasnya singgah ke muka, belum lagi perahu yang terombang-ambing. Saya benar-benar menahan napas, tak sabar segera menyudahi perjalanan menegangkan ini.
Letih? Itu sudah pasti. Selama empat jam berada di perahu yang sesuai ukuran badan, tidak bisa meluruskan kaki, sehingga badan “agak gemuk” ini tak leluasa ke sana-kemari. Panas? Iya, karena tidak ada atap yang melindungi. Sementara saya harus mengacungi jempol untuk Earli, teman saya itu mampu tidur pulas di atas bodi yang sempit.
“Berapa lama lagi perjalanan kita, Bapak?” saya bertanya dengan logat yang susah-payah saya buat agar terdengar sedikit “papua’.
“Kitong sudah sampai. Itu pulau!” tunjuk Bapak Kepada Sekolah. Sebuah kalimat yang membahagiakan, terlebih ketika mata saya menangkap atap masjid. Tidak hanya itu, satu, dua, tiga, entah berapa jumlahnya dari balita hingga remaja sudah menyambut kedatangan kami di bibir pantai Pulau Beo. Ya, tidak ada dermaga di sini.
“Ibu guru baru datang! Ibu guru baru… hai!” seru mereka sembari melambai-lambaikan tangan.
Tangan-tangan mungil milik mereka mengambil barang-barang kami sangat cekat. Koper, carier, dua buah tas ransel, satu dus mi, satu dus botol air, dua liter minyak goreng, lima liter minyak tanah, satu dus bumbu-bumbu, dua buah ember dengan segala isian kebutuhan kami itu mereka angkut dengan gotong-royong. Diam-diam saya menyeka bening di ujung mata saya.
“Muridku…” ucap saya. Lirih, dalam hati.
***
Kemarin, sahabat saya Agnes yang ditempatkan di Pulau Salio bercerita bahwa di sana mereka diperlakukan bagaikan putri. Bagaimana dengan anak-anak Beo? Setelah anak-anak menaruh barang-barang kami, mereka mengambil ember-ember kosong yang ada di rumah Bapak Kepala Sekolah. Mereka menuju ke sumur dan mengangkut air untuk keperluan bersih-bersih saya, sebagian anak-anak menyapu lantai, membersihkan rumah tanpa mengeluh. Semuanya mereka lakukan dengan senang hati, dan harus saya ceritakan, semua itu tanpa komando dari Bapak Kepala Sekolah, apalagi dari saya dan Earli yang pendatang baru. Semuanya seperti terjadi dengan otomatis. Ah, mereka memperlakukan saya sebagai princes juga ternyata, padahal saya belum sempat berbagi ilmu kepada mereka, belum mengajarinya deretan abjad, kumpulan angka, tapi mereka memperlakukan seorang guru dengan begitu baiknya. Hari pertama saya di Beo penuh kesan baik. Apalagi di malam harinya, ada empat anak yang setia menemani tidur kami.
Keesokan harinya saya dibangunkan suara azan Subuh. Tentram merambat dari rambut sampai kaki saya. Itu adalah suara azan pertama yang saya dengar di sini. Rindu ini tertuntaskan. Di Waisai, telinga ini tidak pernah mendengar suara semerdu itu.
Hari ini adalah jadwal bersih-bersih ruangan. Bapak Kepala Sekolah menyuruh memasak pisang goreng. Di rumah tidak ada terigu, dan di warung yang ada hanya rokok. Tapi, ada Mama Ayla yang menitipkan terigu untuk diolah oleh saya dan Earli.
“Ibu Guru, terigu saya punya! Kata Mama, ini buat Ibu Guru!” ucap Ayla sangat bersemangatnya, padahal dia baru saja selesai berlari.
Ketika sibuk memasak, terdengar suara Bapak Yosius berbicara santai di pekarangan rumah, rupanya dia sedang bersama anak-anak dengan pakaian seragam merah-putih. Di sini tidak ada listrik, tidak ada sinyal selular. Entahlah, kabar mengenai kehadiran guru baru, yaitu saya dan Earli, begitu cepat menyebar.
***
Gamis kotak-kotak berwarna cokelat pemberian sahabat saya Rauf, saya kenakan dengan senang hati. Earli menggunakan rok hitam dan kerudung, batik berwana ungu, dan sepatu menghiasi kaki. Di sekolah hanya ada 3 ruangan. Karena baru awal menginjakkan kaki, anak-anak pun membersihkan sekolah, hal itu berlanjut sampai dua hari saya tinggal di Beo.
Anak-anak Beo adalah anak yang cekatan. Sekali arahan, mereka mengerjakan "perintah" dengan baik. Anak-anak Beo adalah anak yang setia, ke mana pun saya dan Earli pergi, mereka siap menjaga kami.
Siapa sih kami? Hanya guru kontrak selama setahun, bukan yang melahirkan mereka. Tapi mereka begitu tulusnya memperhatikan keadaan kami.
Seperti tanggal satu September kemarin, saya dibawakan ikan lema berjumlah 6 ekor (sebutan Papua, kelau di Jawa disebut ikan kembung) dari Mama Zulaikha. Belum lagi ada Hamdi mengetuk rumah baru yang saya tempati, ”Ibu Guru, maafkan saya. Kelapa kecil–kecil he’eh, saya hanya bawa satu,” ucap Hamdi dengan muka penuh penyesalannya.
“Ah tara apa– apa, Hamdi. Ibu tara suruh kau. Kau yang petikah?” jawab saya menghiburnya. Matanya berkaca-kaca.
“Iya, Ibu Guru, saya su ambil tadi. Tapi hanya satu saya bisa,” ucapnya sambil menunduk.
“Hamdi!”
“Ya, Bu Guru?” mukanya masih layu.
“Hati-hati, ya, kau, Hamdi, kalau ambil-ambil kelapa he’eh!”
“Iya, Bu Guru! Siap!” Ada lekukan manis di bibirnya, ada pancaran bahagia di matanya.
Tidak lama kemudian dia pun tidak jadi beranjak pergi, ikut dengan teman yang lain bermain di rumah baruku. Saya memberikan beberapa majalah Bobo untuk dibacanya. Lelaki kecil hitam itu sangat antusias dan begitu fokus membaca majalah.
***
Di Beo memang tidak ada sinyal, tapi di puncak gunung ada tower provider CDMA. Ponsel yang sebesar bata dengan ada antena itulah yang dipakai warga di sini.
Saya dan Earli diajak ke puncak untuk menemui penjaga tower, untuk bisa menggunakan wifi. Selama di perjalanan, kami dipegang erat-erat, anak-anak Beo menjaga kami dari lecetan sekecil apa pun.
Pernah Earli terjatuh ketika turunan dari puncak. Tidak ingin terulang, mereka pun menjaga Earli dengan sangat ketat. Di depan ada yang menjaga, di belakangnya ada yang membututinya.
“Hai kalian! Cuma antar dua ibu guru saja, satu batalion banyaknya kemari!” ucap penjaga tower sambil menahan tawa.
Ketika keasyikan mengabari keluarga di Pulau Jawa hingga pukul 19.30 WIT, anak-anak melarang kami turun, kami harus menunggu salah seorang dari mereka membawa senter. “Ah, Anak-anaku!”
Mereka pun selalu ikut tidur bersama kami. Alya, Zulaikha, Eva, Rusini, dan Rahayu.
Anak-anak Beo adalah anak yang penurut. Saya sempat merasa miris, Kampung Beo adalah kampung Islam di tanah Papua. Tapi ketika saya menanyakan jumlah rakaat tiap salat, mereka kebingungan.
“Isya, 5 rakaat, Ibu Guru!”
Saya hanya tersenyum geli. Dan sedih.
Pada akhirnya saya tahu, kalau orangtua mereka jarang menyuruh salat. Saya coba buat peraturan, setiap memasuki waktu salat, yang ingin bermain di rumah, harus mau salat berjamaah dengan saya dan Earli. Satu kamar disediakan untuk mereka, anak-anak manis itu membawa cipu (mukena sebutan di Kampung Beo) dan ditaruh di kamar yang kami sediakan.
Anak-anak Beo adalah anak yang cerdas. Mereka belum bisa iqomat, tidak bisa melafal doa sebelum makan, doa sebelum tidur, doa untuk orangtua. Mereka tak tahu sama sekali.
Saya dan Earli mengajari mereka. Hanya dua kali usai kami salat berjamaah, dua kali makan bersama, mereka langsung hafal. Begitupun ketika Earli mengajari perkalian dengan jarimatika, langkah mudah berhitung perkalian dengan tangan.
“Gue cuma dua kali ngulang, Nis, mereka langsung hafal. Beuh, di kota itu ngulang berkali-kali, ampe anak kesel!” curhat Earli pada saya.
Anak-anak Beo adalah anak penuh semangat.
“Bu Anis, siang inikah mulai mengaji?” tanya Risna selepas bersalaman menutupi kegiatan belajar kami.
“Ibu, kapankah kita ke rumah belajar?” tanya Alya ketika kami belum menempati rumah baru.
“Jadi mau ngaji atau belajar dulu?” tanyaku dan Earli bergantian.
“Dua-duanya, Ibu Guru!” jawab mereka serentak.
Anak-anak Beo adalah pelipur lara. Rindu ini sudah akut di hati, hal yang sama rupanya dirasakan oleh Earli. Tapi bocah-bocah keriting itu, entah dari mana tahu caranya, mereka pandai membuat kami tertawa. Mengajak kami ke kampung sebelah, menunjukkan keahlian mereka di laut.
Pelabuhan Kampung Baru menjadi saksi tawa kami siang itu. Bocah-bocah itu, Alya dan Risna melakukan salto depan, berenang dengan riang, tidak peduli kulit mereka bertambah gelap.
Beberapa menit kemudian, anak-anak berusia 5 sampai 6 tahun memenuhi pelabuhan kecil bersorak riang gembira, berlari-lari dengan bahagia, sesampai di ujung pelabuhan mereka mendorong kakak-kakaknya.
“Byuuur….” Saya jatuh berkali-kali ke air. Diiringi sorak bergembira dan lompat kegirangan.
Anak-anak Beo adalah guru kehidupan saya. Apa yang ibu bisa balas akan semua kebaikan kalian, Nak?
Beo, Raja Ampat, Papua. Saat anak-anak sudah terlelap di Rabu, 2 September 2015.