Oleh: Arif Sodakoh
biem.co — Cerita rakyat memang diwariskan secara turun-temurun melalui dongeng. Para orang tua selalu punya cerita untuk dibagikan kepada anak-anak, bahkan mereka menjadikannya alat penenteraman anak ketika menangis atau hendak me-ninabobo-kan. Selain itu, menurut saya, bahwa anak yang dibiasakan mendengarkan cerita sejak dini (3—5 tahun) akan memiliki perkembangan jaringan otak lebih awal atau sejumlah daerah di bagian kiri otak menjadi lebih aktif.
Hanya saja orang tua zaman dahulu tidak bisa membaca. Mereka cukup mendongeng tanpa teks-book. Hal-hal yang didongengkan sangat bernilai sastra, sejarah, dan adat istiadat. Secara tidak langsung, mereka mewariskan suatu hal yang penting kepada generasi penerus.
Perkembangan semakin maju, terutama sistem teknologi dan informasi. Beberapa kebudayaan sudah tidak dilakukan/digunakan oleh masyarakat setempat, seperti upacara adat dan bahasa. Contohnya, di daerah pesisir, tepatnya, di Desa Labuan, Kec. Labuan, Kab. Pandeglang sudah tidak melakukan ritual larung laut, tetapi di Desa Carita masih melaksanakan ritual larung laut (sekarang mulai terkikis). Termasuk juga, persoalan bahasa. Contohnya, di Banten. Sebelum Sultan Banten, Maulana Hasanuddin (Sunan Gunung Jati), pada abad ke-16 melakukan ekspansi, bahasa yang digunakan di Banten adalah bahasa Sunda Kuno.
Setelah Demak dan Cirebon menduduki Banten, maka terjadilah akulturasi bahasa (Sunda dan Jawa). Saat ini dinamai Jaseng (Jawa Serang). Jaseng dikategorikan dua, pertama, Jaseng bebasan, kedua, Jaseng standar. Jaseng bebasan (halus) sudah mulai terkikis karena hanya orang tua saja yang bisa, sedangkan Jaseng standar (kasar) masih digunakan oleh anak remaja (hanya sebagian kecil).
Sejak saya kecil, saya menggunakan bahasa Sunda Baduy. Bahasa ini menurut masyarakat dianggap kasar, terutama orang Priangan. Bahasa Sunda Banten sangat berbeda jauh dengan bahasa Sunda Priangan. Kata “dahar/hakan” (makan) dianggap tidak sopan oleh orang Priangan, mereka lebih memilih “tuang” (makan). Sedikit cerita, saya masih ingat sekali ketika saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Ada mata pelajaran Bahasa Sunda (muatan mulok). Bahasa ibu saya adalah bahasa Sunda Banten, tetapi di sekolah saya diajarkan bahasa Sunda Priangan.
Hal ini sangat kontradiktif sebab bahasa keseharian saya adalah bahasa Sunda Banten bukan bahasa Sunda Priangan. Pelajaran mulok (bahasa Sunda Priangan) tidak efektif saya pelajari di sekolah. Bagi saya, bahasa Sunda Priangan sangat asing, baik dibaca maupun didengarkan. Akan tetapi, pencampuran bahasa Sunda Banten dengan bahasa Sunda Priangan terjadi dalam pembendaharaan kosakata kepada saya. Terutama kosakata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti “ibak” (mandi), “anjeuna” (mereka), “alim” (tidak mau), dan “jalmi” (manusia).
Kata-kata tersebut merupakan bahasa Sunda Priangan yang dianggap halus (baik/sopan), sedangkan kata “ maranehna” (mereka), “embung” (tidak mau), “jalema” (manusia) merupakan kosakata yang dianggap kasar (tidak sopan/tidak baik).
Bahasa identik dengan penuturnya, jika penuturnya sudah tidak menggunakan salah satu kosakata, bahasa itu akan mati. Menurut UNESCO, separuh bahasa dunia terancam punah. Salah satu penyebab kepunahan bahasa dunia adalah karena kecenderungan semakin berkurangnya jumlah penutur. Menurut Multamia R.M.T. Lauder, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, bahasa yang dikategorikan sebagai bahasa yang memiliki jumlah penutur sedikit, tetapi mampu bertahan adalah bahasa yang mempunyai penutur sekurang-kurangnya seribu orang.
Jumlah itu kini berkurang menyusul serbuan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Di Indonesia serbuan bahasa Inggris bukan hanya tampak pada semakin banyaknya istilah yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari, seperti yang ditunjukan pada sebagian acara televise dan radio, tetapi juga sudah melanda pada sikap sebagian penggunanya. Lalu, dapat dilihat, mereka yang berbahasa Inggris dianggap lebih modern (milenial) dan lebih pintar, sedangkan yang tidak dapat berbahasa Inggris dianggap terbelakang.
Ada hal yang menarik, Pemda Banten mengubah pelajaran muatan lokal dari bahasa Sunda Priangan menjadi bahasa Sunda Banten (Jaseng) sejak tahun 2015/2016. Perubahan ini terjadi hanya di wilayah Kabupaten Serang dan Kota Serang. Ini merupakan salah satu strategi dalam hal merawat bahasa agar tidak punah. Hanya saja, penerapan pelajaran muatan lokal bahasa Jaseng ini dianggap belum maksimal sampai sekarang (2019) dikarenakan Pemda belum menyiapkan sejumlah perangkatnya. Selain itu, banyak para guru yang tidak paham tentang Jaseng bebasan (halus). Para guru hanya mengetahui beberapa bahasa Jaseng yang kasar (standar).
Saat ini, para siswa SD dan SMP jika diberikan tugas mengartikan kosakata Jaseng bebasan (dalam bentuk kalimat) selalu bertanya kepada orang tua yang menguasai Jaseng bebasan. Jumlah orang tua (penutur Jaseng bebasan) di Kota Serang dan Kabupaten Serang masih tergolong banyak, yaitu lebih dari seribu orang. Jadi, bahasa Jaseng bisa kita selamatkan dengan mewarisinya kepada generasi penerus. (red)