Oleh: Ilham Akbar
biem.co — Kecerdasan masyarakat pada saat ini harus kembali diuji. Walaupun sebenarnya dalam tatanan sistem politik demokrasi bukanlah rakyat yang selalu diuji oleh pemerintah, tetapi pemerintahlah yang harus diuji oleh rakyat. Memang merupakan hal yang sangat usang, jika pada saat ini masyarakat selalu dibuat untuk mempermasalahkan perbedaan pilhan politiknya. Pada akhirnya, kedamaian demokrasi pun berubah menjadi kegentingan demokrasi yang semakin menakutkan.
Pada saat ini, masyarakat seolah terbagi menjadi dua kubu, yang satu mendukung #2019TetapJokowi dan yang satu lagi mendukung #2019GantiPresiden. Sehingga pada akhirnya peristiwa menjelang akhir tahun ini diwarnai dengan perang adu tagar yang semakin merajalela. Padahal seharusnya jika Indonesia adalah negara demokrasi, maka masyarakat bukan hanya disuguhkan dengan perang yang tidak jelas, tetapi masyarakat juga harus diberikan pendidikan politik yang mengutamakan akal sehat dalam beradu argumen, sehingga demokrasi pun bisa dipelihara dengan baik.
Politik pada saat ini seringkali ditafsirkan sebagai pengejewantahan untuk meraih kekuasaan yang sebesar-besarnya, sehingga jika ingin menang dalam pertarungan tersebut, maka para politisi harus membuat oligarki yang selalu berorientasi untuk menutupi kecerdasan masyarakat. Begitu pun yang terjadi saat ini, masyarakat selalu diberikan suguhan kampanye yang sangat tidak baik, karena kedua capres selalu menggunakan kata-kata yang tidak juga kreatif, apalagi mencerdaskan. Misalnya, kata “sontoloyo”, “genderuwo”, “tampang boyolali”, dan sebagainya.
Baca Juga
Hal ini menunjukkan bahwa tren politik di negeri kita semakin tidak jelas ke mana arahnya. Sialnya lagi, ketika semakin tidak menemukan titik temu, pada akhirnya tren politik di negeri kita menjadi kuldesak. Tren politik kuldesak merupakan tren yang pada saat ini selalu memaksakan individu untuk benci terhadap pilihan politik yang dianut oleh orang lain, sehingga tren tersebut bisa melukai demokrasi di Indonesia.
Misalnya saja pada saat kemarin, perdebatan mengenai perbedaan dalam memilih calon Presiden terjadi di Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Awalnya perdebatan tersebut dilakukan di media sosial Facebook, tetapi karena kedua belah pihak tidak mempunyai wawasan dan pengetahuan politik yang cukup baik, pada akhirnya kedua belah pihak pun memilih untuk bertemu dan saling berkelahi. Ketika perkelahian terjadi, satu dari dua orang yang sedang berkelahi itu pun harus mengakhiri nyawanya dengan menerima timah panas dari musuhnya tersebut.
Ketika kejadian tersebut masih menjadi topik yang sangat hangat untuk diperbincangkan, justru yang lebih mengenaskaan lagi masyarakat kembali dihampiri oleh ajaran politik sesat yang dilakukan oleh Habib Bahar. Di mana seorang tokoh agama yang pada umumnya dihormati, tiba-tiba dilaporkan karena melakukan ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo. Habib Bahar dilaporkan karena menyebut Presiden Joko Widodo adalah banci. Dengan adanya kedua kasus tersebut, maka lengkaplah sudah penderitaan demokrasi di Indonesia yang selalu dihampiri oleh tren politik kuldesak yang entah sampai kapan harus berakhir.
Bahkan tren politik tersebut bukan hanya memperkosa akal sehat masyarakat Indonesia saja, tetapi juga sudah memakan korban yang justru di era revolusi industri 4.0 ini masih belum mengerti bahwa perbedaan pandangan dalam berpolitik adalah hal yang wajar. Memang penyebab adanya tren politik kuldesak merupakan ulah dari masyarakatnya sendiri yang selalu mengonsumsi informasi yang sangat tidak dapat dipercaya. Di mana pada umumnya, masyarakat di Indonesia masih senang dengan berita yang sudah jelas-jelas hoaks, tetapi masih disebarkan saja. Dan ketika sudah mengetahui bahwa berita tersebut adalah hate speech lalu masyarakat juga terkadang menyebarkannya tanpa mempunyai rasa bersalah. Sehingga pada akhirnya bukannya justru memproduksi demokrasi dengan positif, tetapi justru masyarakat selalu dihampiri oleh kemiskinan akal sehat yang semakin mengenaskan.
Dari kejadian tersebut, tentunya masyarakat sudah seharusnya memetik pelajaran, bahwa perbedaan politik bukanlah akhir dari segalanya. Bahkan dengan adanya perbedaan politik tersebut, akan membimbing masyarakat untuk menerapkan akal sehat yang baik. Dengan menerapkan akal sehat, kita dapat belajar bahwa di dalam konteks politik itu perbedaan adalah hal yang biasa.
Jika ingin berdebat, maka berdebatlah dengan cara yang biasa pula, bukan dengan cara perkelahian atau memberikan agitasi, “jika tidak mencoblos si A, kamu akan kafir, dan jika kamu tidak mencoblos si B, maka kamu tidak akan masuk surga.”
Patut untuk diingat bahwa di dalam sistem politik demokrasi tidak ada tren politik kuldesak yang selalu memaksa masyarakat untuk mempunyai pilihan yang sama. Demokrasi adalah salah satu sistem politik yang membawa masyarakat untuk menggunakan akal sehatnya dalam menentukan pilihan, dan menghargai perbedaan pilihan yang dianut oleh orang lain, bukan justru menjadi bodoh dan melanggengkan fanatisme politik yang salah kaprah.
Kembali ke Jalan yang Benar
Jika kita ingin menghilangkan tren tersebut secara utuh, maka peran politisi dan tokoh agama pun sangat bepengaruh untuk menciptakan suasana damai di tengah-tengah suasana politik yang semakin tegang ini. Para politisi jangan hanya sibuk untuk melakukan pencitraan dan pembodohan publik di media sosial, tetapi para politisi juga harus peduli terhadap ketidakmampuan masyarakat kita dalam mencerna demokrasi, dan dengan adanya permasalahan tersebut para politisi harus memberikan edukasi mengenai pentingnya menghargai perbedaan pilihan dalam memilih calon pemimpin.
Begitu pun dengan para tokoh agama yang sudah seharusnya mencegah konflik tersebut dengan memberikan siraman rohani yang tidak bertendensi politik, dan tidak menyebarkan ujaran kebencian di mana pun itu. Untuk menghilangkan tren politik kuldesak ini memang membutuhkan komunikasi yang terus bekelanjutan antara masyarakat, politisi, dan para tokoh agama, sehingga dapat menciptakan kesamaan pemikiran dan gagasan dalam membangun Indonesia yang lebih baik lagi. Maka dari itu, jika semua masyarakat, politisi maupun para tokoh agama kembali ke jalan yang benar, maka tidak akan mungkin Indonesia selalu terjangkit dengan tren politik kuldesak yang membuat masyarakat menjadi bodoh. (red)
Ilham Akbar, adalah Mahasiswa Universitas Serang Raya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public Relations, Semester 6.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.