InspirasiOpini

Arif Budiman: Mengandai Konsistensi Partai

biem.co — Belum lama ini media sosial kita disesaki oleh kritik dan gugatan mengenai konsistensi partai politik terhadap kebijakan pencabutan subsidi dan pengadaan hutang. Partai-partai yang sebelumnya mengampanyekan penolakan kebijakan pencabutan subsidi dan pengadaan hutang luar negeri berbalik 180 derajat justru setelah duduk di kursi kekuasaan. Banyak serangan kemudian dilontarkan, salah satunya mengatakan bahwa kekuasaan telah membuat orang kehilangan ingatan.

Sebenarnya, inkonsistensi tidak perlu terjadi jika saja partai-partai politik mempunyai ideologi yang nyata dan mau bersikap terbuka. Samarnya ideologi yang dianut partai telah melestarikan pragmatisme di dalam sikap dan tindakan partai. Pembahasan mengenai suatu isu kebijakan yang dilakukan oleh para penganut pragmatisme dan berlangsung di ruang tertutup seringkali tak bisa diandalkan.

Maksudnya adalah bahwa keputusan yang diambil tidak pernah bisa diprediksi. Akibatnya, tidak ada kepastian kebijakan, karena segala sesuatunya ditentukan oleh proses yang transaksional.

Berbeda halnya jika setiap partai mengusung ideologi yang tegas. Ada nilai-nilai yang diperjuangkan dan kondisi ideal yang dicita-citakan. Konsistensi menjadi karakteristik yang menarik garis pembeda antara satu partai dengan partai lainnya. Dengan demikian ada kepastian garis politik yang berguna bagi masyarakat untuk mengidentifikasi, membangun, dan menentukan preferensi politiknya, khususnya pada saat pemilihan umum.

Kehadiran partai ideologis lebih bisa menciptakan kepastian politik kebijakan karena tiap-tiap partai memiliki diferensiasi. Diferensiasi tersebut tercermin dari seperangkat nilai yang diyakini bersama dan senantiasa menjadi landasan pijak bagi setiap gerak kebijakan yang diambil. Loyalitas terhadap nilai-nilai tersebut kemudian membentuk militansi.

Militansi itu semakin kuat karena setiap gerakan politik (kebijakan) senantiasa dilandasi oleh kesadaran akan nilai-nilai (ideologi). Biasanya, militansi itu akan nampak pada saat advokasi kebijakan sedang dilakukan. Contoh mengenai hal ini bisa dilihat manakala terjadi perdebatan antara Partai Demokrat dengan Partai Republik di Amerika Serikat mengenai kebijakan pajak dan dana talangan bagi sejumlah perusahaan.

Partai Demokrat yang meyakini bahwa peran pemerintah harus diperbesar bersikap membela keputusan untuk mengenakan pajak progressif terutama bagi kaum kaya dan memberikan dana talangan untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar demi menyelamatkan perekonomian dan mengerem naiknya angka pengangguran di AS. Sebaliknya, Partai Republik yang meyakini bahwa peran pemerintah harus minimal tidak akan pernah menyetujui kebijakan yang mengizinkan pemerintah untuk melakukan intervensi, termasuk menyuntikkan dana talangan.

Ilustrasi di atas memberikan gambaran yang jelas mengenai pentingnya partai ideologis karena kemampuannya memberikan kepastian arah kebijakan politik. Selain itu, kehadiran partai ideologis lebih dapat meminimalisir tindakan wanprestasi oleh partai politik terhadap konstituennya. Manakala partai politik masih bermental pragmatik maka janji yang telah dinyatakan dapat saja diabaikan.

Sebabnya bisa bermacam-macam, mulai dari motif bisnis sampai motif politik kekuasaan. Hal yang demikian hampir tidak terjadi pada partai-partai ideologis. Kesetiaan pada perjuangan nilai dan cita-cita politik mampu menjamin konsistensi sikap dan pilihan kebijakan. Dengan demikian masyarakat tidak akan dirugikan oleh tindakan wanprestatif, karena sejak awal mereka telah memprediksi pilihan sikap yang akan diambil oleh para wakil mereka di parlemen atau tokoh-tokoh yang mereka pilih untuk duduk di pemerintahan atas kemungkinan kebijakan yang muncul di kemudian hari.

Bagi partai ideologis, konvergensi nilai dan cita-cita politik dengan pilihan kebijakan merupakan sebuah keharusan. Penyelewengan terhadap nilai dan cita-cita politik merupakan aib dan tabu untuk dilakukan. Oleh karena itu, meski berlangsung di ruang tertutup, hasil pembahasan mengenai suatu kebijakan tetap bisa diprediksi.

Kondisi ini tidak akan pernah terjadi manakala partai-partai yang ada masih bermental pragmatik. Apa yang sudah dinyatakan pada saat pembahasan berjalan belum tentu sama pada akhirnya. Tergantung negosiasi yang dilakukan.  

Pada akhirnya, inkonsistensi sikap kebijakan menunjukkan rona wajah asli partai politik di Indonesia yang hipokrit, pragmatik, dan seringkali narsis. Untuk mengubah itu semua, partai-partai politik di Indonesia perlu melakukan penguatan nilai-nilai ideologis dan setia pada cita-cita politik yang telah ditetapkan.

Langkah tersebut harus dirumuskan secara sistematis, solid, dan berkelanjutan. Hanya dengan cara itu, perilaku politik yang tidak konsisten dan wanprestatif dapat dicegah secara dini.

Arif Budiman, Pemerhati Politik dan Pemilu tinggal di Tangerang Selatan.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi


Artikel Terkait:

Fadzar Ilham: Jengkol, Cabe dan Garam; Dulu dan Sekarang
Asep Abdurrahman: Agama Dalam Prilaku Pengendara
Udi Samanhudi: Masa Muda, Masa Depan dan Passion
Gufroni: e-KTP Makan Korban (Lagi)

Editor: Andri Firmansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button