biem.co — Bencana gempa bumi yang menyerang Lombok sejak tiga minggu lalu menjadi perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia. Belakangan, banyak pihak yang menginginkan status bencana gempa Lombok tersebut bisa dinyatakan sebagai bencana nasional.
Hal ini dilatarbelakangi oleh dampak yang ditimbulkan sejak gempa pertama 6,4 SR menyerang Lombok pada Minggu (29/07) hingga gempa 6,9 SR pada Minggu (19/08) malam. Bahkan, sudah tak terhitung lagi berapa kali gempa susulan terjadi selama kurun waktu tiga minggu ini.
Seperti diinformasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia, bencana tersebut telah menyebabkan 506 orang meninggal dunia, 431.416 orang mengungsi, 74.361 unit rumah rusak, dan masih banyak kerusakan-kerusakan lainnya. Diperkirakan, kerusakan dan kerugian tersebut mencapai Rp 7,7 trilyun.
Oleh karenanya, banyak pihak yang kemudian gencar mengusulkan di media sosial agar Pemerintah bisa mengangkan bencana tersebut sebagai bencana nasional. Menyoal permasalahan ini, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho pun akhirnya angkat bicara.
Dijelaskan Sutopo, bahwa ada lima variabel utama yang menentukan penetapan status dan tingkat bencana nasional, di antaranya adalah jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
“Namun, indikator itu saja tidak cukup. Ada hal mendasar yang sulit diukur, yaitu kondisi keberadaan dan keberfungsian Pemerintah Daerah, apakah collaps atau tidak. Kepala daerah beserta jajaran di bawahnya masih ada dan dapat menjalankan pemerintahan atau tidak,” sambung Sutopo, dalam rilis yang dipublikasikan Senin (20/08).
Untuk diketahui, wewenang penetapan status bencana sendiri telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa penentuan status keadaan darurat bencana dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatan bencana.
Jika menilik bencana Tsunami Aceh tahun 2004, Sutopo menyebut bahwa pada saat itu, seluruh jajaran Pemerintahan luluh lantak dan tak berdaya sehingga akhirnya Pemerintah Aceh menyerahkan permasalahan tersebut kepada Pemerintah Pusat. Hingga, ditetapkanlah bencana tersebut sebagai bencana nasional.
“Dengan adanya status bencana nasional, maka terbukanya pintu seluas-luasnya bantuan internasional oleh negara-negara lain dan masyarakat internasional membantu penanganan kemanusiaan. Ini adalah konsekuensi Konvensi Geneva. Seringkali timbul permasalahan baru terkait bantuan internasional ini karena menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan,” jelasnya.
Oleh karena konsekuensi tersebut, sejak Tsunami Aceh 2004, hingga saat ini diketahui belum ada bencana yang terjadi di Indonesia dinyatakan sebagai bencana nasional.
“Sebab bangsa Indonesia banyak belajar dari pengalaman Tsunami Aceh 2004,” ungkap Sutopo.
Menurutnya, banyak pihak yang tak paham mengenai manajemen bencana secara utuh, termasuk penetapan status dan tingkatan bencana. Belum lagi, banyak pihak beranggapan bahwa dengan status bencana nasional, akan ada kemudahan akses terhadap sumber daya nasional.
Padahal, lanjut Sutopo, tanpa ada status tersebut pun, pihaknya telah mengerahkan seluruh sumber daya nasional, mulai dari TNI, Polri, Basarnas, kementerian lembaga terkait, bantuan logistik dari BNPB, TNI, Polri. Ada juga Rumah Sakit lapangan dari Kementerian Kesehatan dan TNI, santunan dan bantuan dari Kementerian Sosial, sekolah darurat dari Kementerian PU Pera dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta masih banyak lainnya.
“Jadi tidak perlu berpolemik dengan status bencana nasional. Yang penting adalah penanganan dapat dilakukan secara cepat kepada masyarakat yang terdampak. Pemda tetap berdiri dan dapat menjalankan tugas melayani masyarakat. Pemerintah Pusat pasti membantu. Skala penanganan sudah skala nasional. Potensi nasional masih mampu untuk menangani bencana gempa Lombok hingga pasca bencana nantinya,” pungkas Sutopo. (HH)