Oleh Sumantri Hasan*
biem.co — Umum pun mencatat kesaksian Ariesman Wijaya mantan Dirut APL di depan Pengadilan Tipikor di bawah sumpah. Dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor DKI atas kasus suap Raperda Reklamasi Muhamad Sanusi Ketua Komisi D DPRD DKI, pada September 2016, Ariesman Wijaya mantan Dirut PT Agung Podomoro Land mengakui bawa telah menyetor Rp1,6 Trilyun kepada Pemprov DKI. Setoran itu a.l. berupa rusunawa Daan Mogot, jalan, dan lain-lain adalah merupakan bagian dari kontribusi tambahan dalam proyek reklamasi yang Perdanya sendiri belum ada dan Raperdanya sendiri baru dibahas di DPRD DKI. Kita lupakan sejenak sebagai kasus hukum dan mari kita sama-sama saksikan fakta di atas sebagai sebuah kajian politik hukum di Indonesai dewasa ini.
Sebagai sebuah kajian praktis Politik Hukum menurut aliran mainstream diasumsikan menjadi sebuah kajian yang paling mengutamakan analisis politik ketimbang aspek hukumnya. Karena begitu mewabahnya para ahli Hukum Tata Negara (HTN) yang dikutip media massa. Para ahli HTN mempunyai asumsi bahwa politik lah bukan hukum yang menjadi faktor yang paling mempengaruhi kebijakan hukum di suatu negara.
Masih keras dalam ingatan kita, sejak reformasi bergulir banyak ahli HTN mendapat panggung terhormat di media massa. Bahkan di awal reformasi sempat terjadi silang sengkarut yang terbilang naif di antara para pakar hukum dan politik masing-masing merasa paling benar, ambil contoh Prof. Dimyati Hartono, yang di awal reformasi mencoba mendapat tempat sebagai ahli HTN kerap dikutip ternyata belakangan diketahui hanya spesialisasi hukum kelautan misalnya.
Adalah Prof. Yusril Ihza Mahendra sendiri yang mengakui bahwa HTN sejatinya adalah profesor di bidang politik. Lalu di mana ahli hukumnya itu sendiri? Apakah benar absen? Mengikuti saja fatsun politik dalam kajian empiris hukumnya? Bagaimana dengan status ilmu-ilmu hukumnya itu sendiri?
Dalam khazanah para pemikir hukum (yuris) sosok yang paling dihormati adalah pejuang hukum progresif, yaitu almarhum Satjipto Rahadjo mencoba suatu pemikiran hukum yang masih kalah tempat di Indonesia dalam mendudukan hukum untuk hukum itu sendiri. Impaknya Indonesia sampai sekarang masih saja mewarisi produk hukum zaman Hindia Belanda.
Di dalam buku “Politik Hukum di Indonesia” karangan Mahfud M.D, yang juga ahli HTN dikonstruksikan secara akademis bahwa dalam realitasnya “politik determinan (menentukan) atas hukum.” Hubungan antara ke duanya, hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), politik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh).
Baca juga: Konsumen di Indonesia, Nyeri Tak Berkesudahan Kasus DP 0 Rupiah: Catatan Kritis Anies-Sandi
Pilihan atas asumsi Prof. Mahfud, bukan tanpa konsekuensi. Pilihan ini menjadikan produk hukum merupakan produk politik. Maka opini publik mengantarkan pada penentuan hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Beranjak pada pendapat mainstream inilah maka penulis mencoba mengajak kita menyelidiki dampak kekinian yang terjadi tidak saja pada kasus penistaan agama yang fenomenal, dan kasus korupsi yang mengantarainya serta adanya desakan atas kembali kepada UUD 1945 dari sekelompok masyarakat elit perlu menjadi renungan bersama.
Menimbang Fenomena Politik Hukum Mutakhir pada Kasus Ahok
Dalam takimat di awal sudah dipastikan bahwa muaranya adalah kasus hukum pada salah seorang pejabat pemerintah, sebutlah Ahok. Jika kasus ini pada kajian politik hukum arus utama melihat hukum sebatas produk Undang-undang, maka bisa dipastikan pilihannya adalah pada kemampuan politisasi isu tersebut. Bukan pada aspek yuridis, sebagaimana pada isu penistaan agama yang jelas jelas sensitif di negara ini. Namun pada kasus dugaan korupsinya tidak kalah daya kejutnya.
Fenomena Politik Hukum yang akan menyusul adalah kasus hukum dugaan penyalahgunaan diskresi atau wewenang hukumnya selaku kepala daerah dalam kasus hukum inilah baiknya diperkuat wacana yuridisasi ketimbang politisasi. Jika kita melulu mengartikan produk hukum sebagai hasil kerja politik maka kita mengebiri nilai-nilai yang tersirat dari hukum sebagai pijakan moral asas negara hukum kita Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Harus ada pembatasan dari penyelengara negara dalam hal ini pemerintah membuat suatu diskursus publik terkait kasus hukum agar terjadi dialektika yang sehat. Apakah penyalahgunaan kewenangannya dapat melawan hukum? Hingga ada beberapa kelompok masyarakat menduga korupsi senilai Rp1,6 trillun. Apakah kita hanya berkutat pada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan? Atau kita melangkah pada wacana yuridisasi lain terkait absennya para intelektual hukum di Indonesia? Bagaimanapun politisasi hanya melahirkan hoax, baiknya dilawan dengan yuridisasi. Aspek hukumnya sederhana seberapa adilkah “diskresi” itu? Apakah akan ada episode mengharukan biru jilid II jika berkaca pada kasus penistaan agamanya yang sudah mendapat vonis hakim.
*Penulis, adalah Direktur Hubungan dan Kerjasama Antar Lembaga Bekasi Institute.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.