Oleh Faris Naufal Ramadhan
DI LAHAN PERSENGKETAAN
Lalu kami bernyanyi di tepi jalan ini
sekadar untuk mengantar pulang
seorang lagi. yang tumbang
di lahan persengketaan
ini hari kain hitam tak mesti
sebab kami tidak sedang meratapi
nyanyian kami bernada lantang
menuntut sebuah pertanggungjawaban
kami menagih rasa malu
pada seorang yang kemarin waktu
datang dengan tangan berpangku
Tidak ada pergantian hari
serta jadwal kerja dan jam
istirahat. di masa gawat
kami tidak beranjak ketika
bel berbunyi dan lampu dipadamkan
kami terlanjur menyala tanpa
sanggup lagi diredam
telah kami persiapkan
segenap jiwa pula nurani
jalan membentang di hadapan
adalah suatu keniscayaan
segala yang pernah dari kami direnggut
segera kami rebut kembali
di lahan persengketaan
kami adalah badai
kami adalah petir
kami bertaruh martabat leluhur
kami bertaruh nasib anak-cucu
kami pasukan yang siap menerjang kapan saja
Kami berjajar di sepanjang jalan
ini. sekadar untuk mengisyaratkan
pada setiap apa yang melintas
bahwa pertarungan belum selesai
dan nyanyian kami menolak usai
Malang, 2017
PESTA KEMBANG API
Hanya sekotak kembang api
pada pesta sederhana ini
kita bakar pada sumbu
satu persatu
biar nyalanya redup
biar sebentar
biar tawa kita sekadar lalu hilang
entah,
seolah dunia tak keseluruhannya fana
ketika kita melihat
apa-apa yang selain kita
lenyap satu demi satu
lalu kau
lalu aku
Malang, 2017
RANAH JAWARA
I
pada jalan menuju tanahmu
kurasa getir
tiap tapak laju
langit terik siang itu
tak barang sedikit
mengurangi mawasku
bila saja petir menumpah
tlah kupilah
di dahan mana
kan ku teduh muka
o leluhur
bukalah pintu tuk cucumu
yang hendak cari tahu
asal mulanya
II
pada langkah arungi tanahmu
kusaksi ngeri
tiap nyala api
ada golok disulut
karna bau mulut
nyawa meramu nyawa
andai ada yang melayang
halalkan leherku
sudah kusiapkan di bukit rindang
kelak mimpi kukubur dalam-dalam
o pendekar
persilahkanku berlalu
sebelum kau lanjut kelahi
agar kukisahkan darahmu
dalam dongeng dan nyanyian
pengantar kematian
III
pada perjumpaan akhir dengan tanahmu
kusalam rindu
tuk anak lesung
menumbuk lara di tepi pematang
di antara nyiur padi
dan gerimis haru
yang melambaikan kepergianku
seorang bocah menjerit
dengar shalawat berkumandang
membentur sapa
dengan mantera guna-guna
aku muntah
minum air sealir arus tinja
o banten
tiap kapal yang kelana
kan labuhkan cinta
pada suatu semesta
merumahlah mereka
para pejalan samudera
Banten, 2014
GADUH
aku sedang tak punya
kata-kata
yang mampu gambarkan ini semua
orang-orang pada bicara
tentang kehendak
dengan menghakimi kehendak
selain ia punya
orang-orang pada bicara
tentang hak
dengan menyepelekan hak
yang tak ingin diketahuinya
orang-orang pada bicara
tentang selera
dengan mencampur aduk rasa
yang ia tak selera
aku sedang tak punya
kata-kata
sedang orang-orang tak nerima
sebatas umpama
Malang, 2017
SYAIR PENGANTAR LELAP
Ini malam rindu baiknya diberi padam
biar semayam di relung ingatan
sedang di luar ramai telah berai
esok kita kembali
menyulap kota jadi gemerlap
Malang, 2017
Faris Naufal Ramadhan, pemuda kelahiran Serang, 5 Februari 1997. Menekuni jurnalistik lewat rubrik pelajar GENEREKONS di Majalah Kebudayaan Ruang Rekonstruksi. Ia juga sempat aktif dalam kegiatan sastra di Teras Budaya yang diasuh oleh Komunitas Rahim Cilegon. Kini berdomisili di Malang dan aktif menjadi pegiat Komunitas Kalimetro.
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.