Oleh Mohamad Syahril Romdhon*
biem.co — Ketatnya persaingan lapangan kerja membuat kebanyakan orang memilih pekerjaan yang lebih keras dan kurang menguntungkan. Terlebih jika dipengaruhi oleh faktor kemiskinan dan lingkungan (baca: pergaulan) bebas, membuat seseorang rela bekerja apa saja demi bertahan hidup. Salah satunya menjadi penyanyi jalanan atau biasa disebut dengan pengamen. Berdasarkan asumsi awam, pengamen dan pengemis hanya beda tipis pada definisinya. Hanya saja yang membedakan adalah pengamen meminta imbalan dengan menjual jasa atau karya, jika pengemis meminta imbalan dengan cara konsep mengeluh. Namun, pada dasarnya keduanya sama-sama berasal dari kalangan bawah.
Menjadi seorang pengamen tidaklah harus mengenal usia, sering kita jumpai pada pengamen anak-anak, remaja, maupun orang tua bahkan waria. Pengamen ini biasa kita temukan di bis, kereta, di lampu merah, pasar, bahkan menghampiri halaman depan setiap rumah. Pekerjaan sebagai pengamen kerap kali menjadi polemik bagi sebagian masyarakat karena menimbulkan keresahan dan keprihatinan, sampai beberapa tempat tertentu pun sebagian orang membuat larangan untuk pengamen. Kehadiran pengamen di jalanan kota maupun daerah dirasa meresahkan karena orang-orangnya dianggap bersikap arogan dan terkesan asal-asalan juga tak sopan, sehingga masyarakat merasa terancam dan terganggu dalam setiap aktivitasnya. Kondisi ini membuat ketidaknyamanan di ruang publik. Ditambah dengan jumlah pengamen yang tidak ada habisnya dan rendah pula karya yang ditampilkan membuat masyarakat enggan memberi pengamen tersebut dengan uang maupun apresiasi lainnya. Alhasil penghasilan yang didapat tak berkecukupan. Hal ini yang menjadi maraknya sebuah kejahatan di sekeliling kita. Stigma negatif juga pada pengamen disebabkan pada ciri penampilan yang sering kali urakan dan amburadul; rambut kusut, pakaian serba disobek, tindik jarum, melilit rantai, pakaian serba hitam dan sebagainya.
Di sisi lain, pengamen juga menjadi sebuah keprihatinan khususnya oleh pemerintah. Anak yang seharusnya pada posisi masa mengenyam pendidikan malah harus putus sekolah akibat perekonomian yang serba kekurangan, sehingga masa depan anak menjadi suram. Tak jarang pula adanya pengamen disebabkan oleh pergaulan bebas sehingga sudah menjadi gaya hidup setiap individu. Binaan demi binaan telah dilakukan oleh pemerintah. Namun apa daya, kehadiran pengamen seakan tak ada habisnya di jalanan, semakin banyak kita temukan pada setiap titik pusat keramaian.
Dibalik itu semua, ternyata pengamen tidak bisa begitu saja dipandang sebelah mata. Masih banyak pengamen jalanan yang terdapat talenta musik dan bersikap sopan. Misalnya mampu membuat lirik lagu yang menimbulkan gelak tawa dan romantis, memainkan alat musik lebih dari satu, bersuara merdu dan berparas menarik. Ini membuktikan bahwa status pengamen bukanlah sebuah batas ruang mereka untuk berkreativitas. Hal ini akan menjadi hiburan menarik dan dinanti oleh masyarakat —penikmat musik— dan juga tak sungkan-sungkan untuk memberinya apresiasi lebih. Atas kreativitas tersebut, pengamen sering kali diviralkan oleh masyarakat itu sendiri melalui media sosial. Tak jarang pula dengan kreativitas ini mampu menghantarkan pengamen sukses pada karier di dunia industri musik –dunia hiburan seperti; Iwan Fals, Slank, Aris Idol, Tegar Septian, dan masih banyak yang lainnya. Ini sudah jelas, bahwa karya pengamen patut dihargai jika berisi. Pengamen hanya butuh penjembatan agar mampu masuk ke dunia industri musik sehingga pengamen tidak lagi dipandang negatif.
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis berpesan bahwa jadilah pelaku dalam membuat dan mengapresiasi sebuah karya. Karena karya yang baik tidaklah mengenal status dan kelas sosial. Karya akan hidup pada orang-orang yang mampu bekerja keras.
*Penulis, adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (BEM FKIP UNTIRTA).
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.