biem.co — Sebuah karya sastra, tentu saja, hanyalah cerita rekaan sang pengarang. Entah yang disajikan dalam kemasan cerpen, novelet, atau pun novel. Ia bukanlah sebuah berita tentang suatu peristiwa yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Sebuah karya sastra akan lebih ‘abadi’ ketimbang sebuah berita. Sebuah berita sekali pun sempat menjadi trending topic dalam waktu yang cukup lama. Namun, berita tersebut biasanya akan terlewat setelah ada peristiwa lain yang lebih aktual. Sedangkan karya sastra tidak demikian, ia tidak akan ‘terlupakan’ begitu saja kendati ada karya sastra baru lain yang diterbitkan kemudian.
Pun, sebuah novel (realis) bukan pula sebuah catatan kisah nyata. Kendati bisa saja alur cerita yang disuguhkan ada ‘kemiripan’ peristiwa dalam kisah nyata. Sebab sebuah novel hanya cerita rekaan yang ada dalam benak sang pengarang. Bukan sesuatu yang bersifat nyata. Novel bagaimana pun juga bukanlah ‘fotocopy’ kisah nyata yang dituangkan dalam keindahan bertutur dengan bahasa tulisan.
Berbeda dengan kisah nyata atau sebuah berita peristiwa. Sebuah novel tidak saja ingin menyajikan sebuah ‘peristiwa’ dengan bahasa yang lebih memukau. Bukan hanya ingin memberi hiburan kepada pembaca. (Ingat bahwa setiap karya seni – tak terkecuali seni sastra – salah satu ‘misi’ yang dibawanya adalah memberikan hiburan). Tetapi, yang paling utama dalam sebuah karya sastra adalah berusaha memberikan ‘pesan moral’ kepada pembacanya.
Sebuah novel yang baik, tentu saja, akan memberikan pencerahan batin kepada sang pembaca. Sehingga ketika seseorang usai membaca sebuah novel ia akan merenungkan moral message yang telah disampaikan sang novelis. Hal ini bisa terjadi, jika, pertama novel yang dibaca bukan sekedar menyuguhkan cerita. Novel yang merupakan ‘santapan rohani’ seyogyanya juga seperti santapan jasmani harus bergizi dan ‘aman dikonsumsi’. Kalau dalam istilah agama mesti halalan thoyibah. Karena tak sedikit novel yang sudah pernah ada justru mengeksploitasi nafsu rendah manusia. Hanya menyuguhkan bahasa yang puitis yang tidak memberi energi positif bagi penikmatnya.
Kedua, ketika menyantap sajian rohani ini tidak sekedar membaca. Tidak hanya ingin tahu jalan ceritanya. Tidak cuma mengunyah kalimat-kalimat yang menjadi kesatuan yang utuh dalam novel. Melainkan berusaha untuk menangkap ‘pesan moral’ yang tersirat. Moral message yang dibaca tidaklah dianggap sebagai bagian alur cerita.
Hal yang demikian inilah, barangkali, yang mengilhami Nurrokhman Takwad – biasa dipanggil dengan sebutan Mas Nur – menulis sebuah novel yang berkisah tentang seorang jaksa dengan segala macam romantikanya.
Novel yang diberi judul The Djaksa, labirin prosekutor (diterbitkan PT MCI Depok, Jawa Barat) ini berkisah tentang Samara Kindi yang dimulai sejak mendapatkan pendidikan, diangkat menjadi jaksa, hingga mendapatkan tugas di beberapa tempat yang berbeda-beda. Mulai dari tempat terpencil dekat negara jiran, di pusat, hingga di sebuah pulau yang sangat “angker” bagi narapidana. Lokasi di tempat biasanya pelanggar hukum mendapatkan eksekusi.
Karena itu, tidak heran jika Samara Kindi menemukan berbagai masalah hukum yang terjadi di dunia peradilan. Baik yang berhubungan dengan kriminalitas, narkoba, serta terorisme hingga korupsi. Bahkan ia pun menemukan adanya salah vonis terhadap orang yang tak bersalah tetapi harus menjalani hukuman. Meski yang terakhir ini ia hanya menemukannya dalam bentuk berita di koran. Karena peristiwa ini terjadi jauh sebelum Samara Kindi resmi menjadi seorang penegak hukum.
Betapa tidak, Samara Kindi pernah mendapatkan pesan dari Jaksa Agung tentang sikap seorang jaksa dalam menangani masalah. “Tegakkan aturan, senyum harus tetap mengembang, menyapa dengan ramah, menanyakan latar belakangnya, menjelaskan dakwaan, jangan lupa tetap beri semangat mereka. Bila perlu nasehati dengan pendekatan keagamaan,” demikian jaksa agung menasehati Samara Kindi (tokoh sentral dalam novel ini). Pun, Jaksa Agung tidak lupa mengingatkan dengan kalimat “Lebih baik melepas seribu penjahat daripada menghukum satu orang tak bersalah.” (halaman 26).
Namun, kenyataan tidaklah demikian. Samara Kindi tak mampu berbuat apa pun, usai membaca berita tentang bebasnya dua narapidana yang tak bersalah (setelah menjalani hukuman hingga bertahun-tahun). Dua orang narapidana tersebut menjadi korban salah vonis. Ya, Samara Kindi hanya bisa membatin. “Siapa yang disalahkan, yang bertanggungjawab? Apa sanksinya bagi penegak hukum yang telah membuat seseorang di penjara bertahun-tahun menanggung perbuatan yang nggak dilakukannya? Apa sanksinya bagi para penegak hukum yang telah keliru? Padahal kekeliruan administratif dalam proyek pembangunan aja bisa kena pasal korupsi.” (halaman 77).
Untunglah, Samara Kindi seorang yang religius. Hingga ia bertekad untuk melakukan ijtihad dan berserah diri kepada Allah jika menangani masalah. Sebab saat itu harus menahan seorang anggota Dewan yang setelah ia tahu, anggota Dewan sesungguhnya tidak sepenuhnya bisa disebut melakukan korupsi. Dan, pertanyaan-pertanyaan yang menggumpal dalam benak Samara Kindi akhirnya terjawab sudah, ketika ia mendengar kabar pengadilan negeri melepaskan Pak Dewan dari segala tuntutan dan dikeluarkan dari tahanan. Pengadilan memutuskan onslag van recht vervolging (putusan lepas, yakni segala tuntutan hukum atas perbuatan terdakwa yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana).
Samara Kindi merasa lega karena ia tahu persis siapa sebenarnya Pak Dewan (yang menjadi anggota Dewan karena ketokohannya, bukan karena yang bersangkutan seorang politisi layaknya seorang anggota dewan). Kepolosan, keluguan, kejujuran, keikhlasan dalam menjalani hidup serta keadaan ekonomi Pak Dewan diketahui secara persis oleh Samara Kindi saat membawa surat panggilan kepada Pak Dewan. Hal ini yang membuat Samara Kindi mengalami pergulatan batin yang luar biasa. Hingga ia pun sempat menceritakan kepada atasannya. Tak lupa pula ia mempertanyakan kenapa Pak Dewan harus ditahan padahal hari petama dilakukan pemeriksaan sebagai saksi. Namun, jawaban sang atasan sangat simple dan mengejutkan. Seolah-olah tidak mau tahu apa yang telah disampaikan Samara Kindi. Penahanan itu hak penyidik. Dan Penyidik punya alasan subyektif.
Meskipun mendapat jawaban yang mungkin tak berkenan bagi Samara Kindi. Tetapi, ia tak mungkin menyanggah perintah itu. Dan, ia tetap melaksanakan tugasnya. Mengantarkan Pak Dewan hingga depan pintu jeruji besi. Sebagai penegak hukum, ia harus mematuhi hukum.
***
Seperti yang sudah saya paparkan di atas, bahwa Samara Kindi menangani berbagi kasus hukum. Tak terkecuali kasus narkoba. Novel The Djaksa Labirin Prosekutor juga membicarakan kasus narkoba. Yang menarik dari novel ini karena ia tidak menyodorkan pasal-pasal tentang undang-undang psikotropika. Melainkan justru yang dijadikan narasi adalah tentang efek negatif yang ditimbulkan oleh barang-barang haram ini terhadap penggunanya.
Novel ini mampu menjabarkan dengan bahasa yang lugas, sederhana, tidak bertele-tele, dan mudah dicerna oleh pembaca awam sekali pun. Bagaimana kerugian yang akan dialami oleh seseorang sudah punya ketergantungan dengan narkoba. The Djaksa labirin prosekutor tak hanya sekedar mengatakan bahwa benda terlarang itu merusak badan. Tidak Cuma menjabarkan bahwa pemakai narkoba pun bisa dihukum. Tidak ada dengan penjelasan yang super njlimet. Dengan istilah-istilah kedokteran atau unsur-unsur kimia yang dapat menyebabkan seorang pengguna narkoba akan mengalami penderitaan, misalnya.
Hal ini dapat dibaca pada kisah yang dialami Rudian – teman sma Samara Kindi – yang berakhir dengan tragis. Tragis bukan hanya karena semata-mata oleh akibat buruk narkoba pada tubuhnya. Melainkan ia meninggal karena ternyata Rudian dibunuh oleh jaringan pengedar barang terlarang itu. Gara-garanya setelah Rudian bertobat (tak menggunakan narkoba), ia menjadi relawan gerakan memerangi narkoba dan HIV/AIDS.
Moral message yang tertuang dalam alur yang menceritakan peristiwa yang menimpa Rudian menjadi ‘nasehat’ bagi pembaca tentang alasan mengapa narkoba dilarang. Ia menjadi barang haram dan pembaca tidak merasa sedang digurui. Ia tidak seperti stiker atau spanduk yang tersebar dengan tulisan “Katakan tidak pada Narkoba”, “Daerah bebas narkoba,” atau “Say No to Drugs,” dan kalimat-kalimat himbauan semacam itu. Betapa tidak, saya pernah melihat di rumah seseorang yang ada sticker “Say No to Drugs” tetapi penghuninya tertangkap tangan tengah mengonsumsi narkoba.
Usai membaca The Djaksa Labirin Prosekutor, saya membayangkan andaikata pembaca novel ini mau merenungkan moral message-nya. InsyaAllah tidak akan pernah ada yang berani berurusan dengan narkoba. Meskipun – andaikata – tidak akan berurusan dengan hukum. Lantaran akibat buruk yang akan dialami sangat mengerikan. Bahkan selalu akan dijadikan target para pengedar barang haram ini dipaparkan dalam novel ini.
Dan, ternyata, para pengedar barang terlarang ini sangat licin. Selalu berupaya untuk tidak tersentuh hukum. Bahkan kalau perlu melakukan perlawanan hukum. Hingga penegak hukum bisa terkecoh. Bahkan Samara Kindi mengetahui kalau Rudian dibunuh oleh jaringan pengedar narkoba yang diotaki oleh Chen juga terlambat.
***
Peristiwa lain yang menarik adalah ketika Samara Kindi menemui seorang teroris, Gabriel, yang hendak dieksekusi. Dalam percakapan itu Gabriel menyatakan akan kebenaran yang diyakininya. Namun, Samara Kindi tidak sependapat dengan Gabriel. Sayang, Samara Kindi tak berusaha untuk mendapatkan informasi tentang keyakinan Gabriel lebih jauh. Bahkan sebelum Gabriel menerangkan alasan melakukan teror Samara Kindi meninggalkan sang teroris. Andaikata Gabriel diberi kesempatan memberikan jawaban atas setiap pernyataan Samara Kindi. Barangkali ini bisa jadi masukan buat pemerintah. Kenapa orang sampai melakukan teror hingga menyebabkan orang tak berdosa ikut menjadi korban. Atau bisa jadi ada sesuatu yang sulit untuk dijabarkan sang penulis novel. Dan, tentu saja, Nurrokhman Takwad punya alasan tersendiri untuk tidak mendetailkan percakapan itu.
Sebagai sebuah novel, The Djaksa Labirin Prosekutor, sangat layak untuk dibaca oleh masyarakat luas. Karena disajikan dengan sangat bersahaja. Sederhana. Artinya apa pun latar pendidikan pembaca, insyaAllah, akan bisa mencernanya. Ia tidak banyak catatan kaki seperti novel Laskar Pelangi (Andre Herata) yang akan membuat pembaca berlelah-lelah untuk menoleh foot note. Meski berkisah tentang dunia peradilan Nurrokhman Takwad sama sekali tidak menyodorkan pasal-pasal yang ada dalam KUHAP, KUHP, atau peraturan lainnya. Pun setting ceritanya tak berada di awang-awang atau di luar negeri. Novel ini mengambil setting cerita dengan lingkungan pembaca.
Memang. Permasalahan hukum demikian kompleks. Hingga tak mungkin dapat ditulis semuanya dalam novel yang tidak tebal ini. Padahal, begitu banyak persoalan yang bisa dikupas dan menarik untuk diceritakan dalam buku semacam ini. Misalnya, bagaimana jika sekiranya sang tokoh harus menangani masalah-masalah wong cilik yang terpaksa melakukan kejahatan karena himpitan ekonomi. Mungkin peristiwa ada orang yang mencuri tiga buah kakao, pencuri setandan pisang, kakek yang mengambil pohon mangrove untuk dijadikan kayu bakar, atau yang semacamnya. Karena kasus-kasus semacam bisa dijadikan semacam inspirasi untuk melengkapi problematika hukum di negeri ini (tentunya dikembangkan dalam bentuk fiksi yang akan memberi ‘pesan moral’ kepada aparat penegak hukum. Sebab hal semacam inilah yang membuat masyarakat menganggap bahwa hukum hanya tajam ke bawah. Tetapi, tumpul ke atas.) Toh, sebetulnya, jaksa juga manusia yang punya nurani, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan bisa menduga apa yang akan terjadi terhadap orang yang didakwa bersalah. Meskipun di sisi lain, seorang jaksa juga tak mungkin tak melaksanakan aturan.
Saya katakan kasus-kasus semacam ini menarik untuk dimasukan dalam novel The Djaksa, Labirin Prosekutor. Kenapa demikian? Karena novel ini menerangkan bahwa korupsi ada dua jenis. Yakni korupsi by need dan korupsi by greed. Nah, kasus-kasus yang saya paparkan tadi tentunya bisa dikategorikan pencurian by need. Dalam novel ini, tentu saja, tidak harus Samara Kindi yang menangani. Namun, bisa jadi bahan renungannya agar tidak gampang menjatuhkan tuntutan jika harus menangani kasus semacam ini. Nah, tentunya Mas Nur bisa mengolahnya dengan pergulatan batin yang dialami oleh Samara Kindi. Karena jaksa dalam tokoh ini berusaha untuk ngewongke wong – memanusiakan manusia. Mungkin karena sering melaksanakan shalatul lail, misalnya.
Andaikata Mas Nur lebih sabar dalam menggarap novel ini. Ia akan menjadi lebih menarik. Misalnya, ketika ia harus menahan Pak Dewan yang tampak tegar. Tapi ketika aku memegang tangannya terasa dingin dan gemetar. Aku rangkul Pak Dewan dst. Pada bagian ini, Mas Nur bisa mengeksplorasi perasaan Samara Kindi. Mendramatisirnya dengan mempermainkan batin sang jaksa. Dengan membayangkan apa yang akan dialami oleh keluarga Pak Dewan. Atau nasib tetangga Pak Dewan yang kadang-kadang minta sumbangan untuk membayar sekolah anaknya. Apakah dirinya berdosa atau tidak menjalankan tugas semacam ini, dan seterusnya.
Sebagai sebuah karya fiksi yang berusaha “memotret” kehidupan Jaksa. Novel ini cukup menarik untuk dijadikan bacaan. The Djaksa Labirin Prosekutor tak hanya memuat masalah yang berhubungan dengan kasus-kasus hukum saja. Melainkan juga ada sisi-sisi kemanusiaan yang diungkap di sana. Masalah cinta yang tak terealisir. Kendati hanya menjadi pelengkap cerita.
Yang tak kalah menariknya, dan ini menjadi antiklimaks cerita, tatkala sang Jaksa harus menangani kasus Borte – orang nomor satu di sebuah perusahaan raksasa untuk memenangkan perusahaan dalam sebuah proyek pemerintah. Tak sedikit upaya Borte lewat kaki tangannya (pengacara Dery, sejumlah oknum pejabat, hingga preman dan media massa) terus melakukan upaya memengaruhi Samara Kindi. Mulai dari upaya menyuap, melakukan teror, pressure dengan mengerahkann sejumlah orang, hingga melakukan fitnah lewat media massa terhadap sang Jaksa. Tak hanya itu, Borte pun melakukan pembunuhan karakter terhadap Samara Kindi. Dan, Samara Kindi benar-benar merasa tak berdaya. Untung saja, ia masih memiliki orangtua tempat ia bisa mengadu. Kendati pada akhirnya ia tak pernah mencerritakan problem yang dialaminya. Namun, wejangan sang bapak mampu membuat Samara Kindi menjadi lebih tegar menghadapi kenyataan. Apalagi mantan jaksa Agung juga memberi spirit dengan menyuruhnya mengikuti wejangan bapaknya.
“Kalaupun manfaat dan berkahnya tidak kamu nikmati sekarang, mungkin nanti. Atau istri dan anak-anakmu nanti yang nikmatin. Atau bahkan cucu-cucumu nanti yang nikmatin,” kata mantan jaksa Agung. (halaman 217). Sebuah wejangan yang sangat bersahaja, namun penuh makna dan patut jadi bahan renungan hidup.
Dengan alur cerita yang tidak terlalu ruwet seperti yang saya bayangkan sebelum membacanya. Novel ini insyaAllah dapat menyadarkan masyarakat agar tak perlu berurusan dengan meja hijau. Sebab jika sudah berurusan dengan meja hijau ini dan dinyatakan bersalah. Hingga harus menjalani hukuman (masuk hotel prodeo). Maka seumur hidupnya akan menderita. Penderitaan ini karena adanya hukuman sosial (tentu saja yang masih meyakini malu merupakan bagian dari iman). Dan, hukuman ini justru baru akan dimulai ketika sudah dibebaskan dari penjara. Lantaran yang bersangkutan akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Tragisnya seringkali masyarakat tak mau tahu bahwa sebetulnya yang bersangkutan belum tentu bersalah. Seperti yang pernah terjadi beberapa tahun lalu di daerah Bekasi. Hingga salah seorang dari dua orang yang menjadi korban salah vonis itu kehilangan semangat hidup. Dan ingin segera meninggal. Dan Allah mendengarkan keinginannya.
Sebagai penutup perbincangan ini saya ingin mengutip syair Ebiet G. Ade yang diberi judul “Kalian Dengarkah Keluhanku” mungkin mewakili perasaan dan nasib mantan napi. Hingga sulit untuk mendapatkan penghidupan setelah bebas dari penjara. Setelah menjalani hukuman.
Dari pintu ke pintu
Kucoba tawarkan nama
Demi terhenti tangis anakku
Dan keluh ibunya
Tetapi nampaknya semua mata
Memandangku curiga
Seperti hendak telanjangi
Dan kulit jiwaku
Apakah buku diri ini selalu hitam pekat
Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan
Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum
Dengan sorot mata yang lebih tajam dari matahari
Kemanakah sirnanya
Nurani embun pagi
Yang biasanya ramah
Kini membakar hati
Apakah bila terlanjur salah
Akan tetap dianggap salah
Tak ada waktu lagi benahi diri
Tak ada tempat lagi untuk kembali
Ada ungkapan yang sangat populer di kalangan masyarakat – terutama di dunia medis – bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Mudah-mudahan buku ini bisa memberikan kesadaran bagi pembacanya agar jangan sampai terseret ke meja hijau. Apalagi sampai dijatuhi hukuman kurungan, misalnya. Sebab kalau sudah pernah masuk hotel prodeo. Maka, bukan tak mungkin, seseorang akan mengalami ‘nasib’ seperti yang digambarkan Ebiet G. Ade di atas. Dengan kata lain, novel The Djaksa Labirin Prosekutor ini diharapkan dapat “mencegah” seseorang dari perbuuatan yang melawan hukum – entah untuk urusan kriminal, narkoba, hingga korupsi. InsyaAllah.
Agar tidak penasaran, kiranya, akan lebih baik jika kita membaca sendiri novel The Djaksa, Labirin Prosekutor ini.
Humam S. Chudori, penyair, cerpenis dan novelis, tinggal di Tangerang Selatan. Makalah ini disajikan dalam diskusi dan bedah buku novel The Djaksa Labirin Prosekutor, karya Nurrokhman Takwad di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 23 Februari 2017.