Judul Buku: Wisata Bahasa Cabe-cabean
Penulis: Encep Abdullah
Oleh Dani Maulana
biem.co – Odien R dalam kata pengantar Wisata Bahasa menuturkan, jika berbahasa saja tidak tepat dan runut, bagaimana mungkin bisa berfikir benar dan sistematis.
Masalahnya gue orangnya gak sistematis.
Tuh kan masih pake lo – gue, haruskan kalau bahas tata bahasa pakainya aku – kamu. Iya… kamu… yang lagi baca. Apa sih.
Secara alamiah gue adalah tipe orang yang melakukan sesuatu secara kreatif, intuitif, imajinatif, implusif (tidak terencana), difus (tidak fokus), dan lateral (tidak runtut). Pastilah selain banyak dituding sebagai orang sinting gue sering dikatain orang gila, gue termasuk orang yang tidak berbahasa secara tepat dan runut.
Minimal itulah yang gue alami selama hidup gue sampai sekarang. Kalau gue udah berkali-kali disebut sinting. Tapi gue gak pernah bisa marah, karena menurut gue merekalah yang sinting. Mau temenan sama gue. Bahkan lo juga sekarang sudah resmi jadi orang sinting karena masih mau membaca tulisan gue sampai paragraf ini. Hehehe.
Masih di halaman awal buku yang mau gue review ini, gue membaca salah satu paragraf yang meyatakan bahwa kemampuan verbal para pelawak cerdas yang tidak harus melawak dengan kekerasan, tetapi sanggup membuat kita terpingkal-pingkal. Mungkin yang dimaksud oleh Odin R dalam kata pengantar buku ini adalah Stand Up Comedian/comic/komika.
Menarik membedah lebih dalam buku ini, setelah menemukan kalimat tersebut, gue sebagai comic (baru belajar sih) merasa tersentuh langsung. Selama ini yang dikerjakan gue adalah mencari joke, menulisnya, memformat menjadi tulisan komedi, melatih, membadani lalu open mic sampai akhirnya perform. Masalah kadang terjadi ketika proses penulisan materi. Joke yang ditemukan dari keresahan, observasi atau spontanitas kadang hilang kualitas lucunya gara-gara tidak ditulis dengan baik. Adapun sampai tercatat hasilnya kurang lucu, setelah diteliti ternyata kesalahan ada pada penulisan bahkan pemilihan diksi.
Lalu, apakah gue masih memaksakan diri untuk tidak sistematis?
Jawaban gue, tidak. Gue merasa tata bahasa, teknik penulisan, sampai penyampaian yang baik sangat penting untuk membuat orang tertawa lewat joke yang kita sampaikan, sehingga mengurangi ngebom (tidak lucu).
Kesalahan berbahasa sangat beresiko dalam dunia stand up comedy. Kita boleh berbicara seenak kita, tapi kita harus tanggung jawab sendiri apabila ada yang merasa tersinggung, merasa dilecehkan bahkan terhina atas kata-kata yang dilontarakan. Dengan kata lain, comic harus pandai memilih dan menyampaikan kata.
Intinya, gue sebagai comic merasa terbantu oleh kehadiran buku Wisata Bahasa Cabe-cabean karya Encep Abdullah.
Yang menariknya lagi, di dalam buku ini penulis memiliki segudang keresahan yang mungkin jika dibagi kepada gue bakal jadi materi atau joke yang bagus. Menurutnya, penting sekali kehadiran buku ini karena banyak pertentangan makna dalam bahasa yang sehari-hari kita gunakan.
Hebatnya, penulis dalam buku ini meneliti sebagai tenaga pendidik harus betul-betul cermat dan teliti ketika dihadapkan dengan persoalan tata bahasa Indonesia yang memang begitu kompleks.
Penulis juga memeriksa kembali dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sampai buku morfologi: bentuk, makna dan fungsi karangan Zaenal Arifin dan Junaiyah, yang artinya tidak sekedar menyalahkan.
Selain itu, penulis juga peka menangkap kesalahan disekitar kehidupannya. Lalu memikirkan hal tersebut sehingga menjadi sebuah keresahan. Mencari sumber jawaban atas keresahan tersebut, lalu menuturkan kebenaran yang sebenarnya. Tidak menghakimi. Tapi memberikan pilihan kepada pembaca untuk menjawabnya sendiri.
Kita ambil satu contoh dalam buku ini, yah. Perhatikan:
Mengapa mereka tidak membuat lebih banyak lagi bahasa gaul yang serupa bentukannya, semisal stop jadi potes, know jadi wones, gray jadi yareg, dan flow jadi wolef. Dengan begitu kreativitas penggunaaan bahasa gaul tidak mati meskipun berbenturan dengan kaidah bahasa Indonesia. Seperti halnya kata keles yang juga memiliki rumus (a menjadi e dan I menjadi es): kali ® keles, banci ® bences, laki ® lekes walaupun rumus ini tak sepopuler rumus (e dan ong), semisal banci ® bencong, laki ® lekong, najis ® najong. Jadi, selain keles kata kali juga bisa menjadi kelong. (Woles Aja Keles – Wisata Bahasa Cabe-cabean Hal. 33-34)
See, itu salah satu keresahan yang terdapat di buku Wisata Bahasa ini. Sungguh keresahan yang diurai secara keilmuan dan contoh kasus yang dekat dengan pembaca. Sehingga pembaca bisa menilai sendiri mana yang benar penggunaannya. Dari mulai persoalan penggunaan ucapan aku dan saya, bahasa yang terdapat di plang jalan tol, sampai masalah reduplikasi kalimat cabe-cabean lengkap dibahas di buku ini.
Menurut gue ini bukan buku penghakiman tentang salah dan benarnya menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ini adalah buku yang berisi keresahan sang ahli bahasa yang ingin suaranya didengar atau sekedar ditertawan bersama.
Masih banyak keresahan penulis di dalam buku ini yang biasa kita alami sendiri, dekat dengan lingkungan dan tanpa sadar gue diajak berwisata bahasa saat liburan bulan ini.
Review buku oleh Dani Maulana.