KabarTerkini

Cerita Korban Penculikan 1998 yang Kini Telah Kembali

biem.co — Indonesia pada 1998, telah menjadi keadaan negara yang tidak karuan di bawah rezim Soeharto. Rabu 11 Maret 1998, Presiden Soeharto membacakan pidato pertanggungjawaban yang kemudian banyak ditanggapi negatif oleh sebagian besar aktivis. Penolakan antara lain disuarakan Rahardjo Waluyo Djati, aktivis Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD), sayap dari Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Kemudian, Kamis 12 Maret 1998, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta itu berada di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Bersama senjumlah aktivis lainnya, seperti Faisol Reza, Djati mendiskusikan laporan tahunan Soeharto. Setelah itu, Djati mulai menceritakan kisah horornya selama penculikkan.

Saat keluar dari kantor YLBHI, Djati punya firasat buruk kalau dia dan Faisol tengah diikuti. Ternyata, yang terjadi lebih buruk lagi. Saat berada di trotoar depan Rumah Sakit Cipto Mangunkoesomo, sebuah mobil memepet keduanya. Beberapa orang keluar dari mobil dan mengejar mereka.

“Karena panik, aku masuk ke RSCM, terus ke UGD. Mungkin karena panik dan tak menguasai medan, aku merasa ini kok jalan buntu, ada ruang perawatan dan segala macam. Aku kebingungan. Pas turun lagi, Faisol Reza di tangga sudah diambil (ditangkap), langsung dipukuli. Aku panik dan aku naik lagi, masuk ke toilet,” ungkap Djati seperti dilansir dari kumparan.com.

Di dalam toilet, dia membuang semua dokumen, buku telepon serta tanda pengenal ke dalam lubang kloset. Sementara itu, pintu toilet pun terus digedor dari luar. Djati pun pasrah ketika tujuh pria tak dikenal menerobos masuk dan mengeroyoknya di depan pengunjung rumah sakit.

“Waktu itu Gus Dur (Ketua Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid) sedang dirawat di RSCM, aku berharap ada wartawan atau teman aktivis yang sedang menengok Gus Dur. sehingga aku teriak-teriak, ‘ini bukan kriminal, ini soal politik. ini soal politik’,” teriak Djati.

Orang-orang di rumah sakit itu tidak ada yang berani, karena penculik tersebut membawa pistol lalu menyeret Djati ke dalam mobil. “Saya diseret keluar rumah sakit dan dinaikkan ke atas kendaraan. Mobil langsung dibawa muter-muter kira-kira sejam. Lalu masuk ke satu ruangan, masuk satu gedung, masuk ke ruangan langsung interogasi intensif selama lima hari berturut-turut,” jelas Djati.

Dia mengaku tak mengetahui pasti lokasi penyekapan. Dia hanya bisa menebak bahwa tempat itu adalah sebuah instansi militer. Alasannya, dia mendengar ritual upacara setiap pagi. Selebihnya, yang dia rasakan hanya rasa sakit dan kelelahan.

“Selama interogasi kita digebukin, disetrum. Kalau kita sudah kelelahan, sudah payah, ya sudah. Ada dokternya juga untuk mengecek. Kalau denyut nadi kita melemah berarti istirahat dulu. Tiga hari pertama duduk terus,” ungkap Djati.

Kemudian, Djati dibawa ke sebuah ruangan dan seluruh pakaiannya dilepas hingga telanjang bulat dan dipaksa tidur tengkurap di atas balok es selama kurang lebih 10-15 menit sambil menanyakan bagaimana cara menemukan Andi Arief. Penyiksaan yang dia alami memang akan sangat sulit dibayangkan. Untuk mendapatkan bocoran satu nama saja, dia harus mengalami rasa sakit akibat penyiksaan yang dialami.

Setelah lima hari penyiksaan tanpa henti, Djati kemudian dipindah ke ruangan lain. Ruangan ini berada di bawah tanah dan dia digiring oleh para penculik yang mengenakan penutup wajah.

“Setelah 4-5 hari itu, aku dibawa ke bawah, sel bawah tanah. Pertama cuma di ruangan biasa, di atas. Terus aku dibawa ke ruangan bawah tanah. Di sana aku ketemu dengan yang lain. Desmond Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam (almarhum), dan Faisol Reza. Seingatku ada enam sel,” ujar dia.

Ruangan tempat interogasi berganti-ganti. Kadang digunakan ruangan yang kecil, tak jarang pula ruangan besar seperti tempat untuk pertemuan. Yang jelas, semua ruangan itu suhunya dibuat sangat dingin.

“Itu saja sudah bikin kita down, karena kita enggak pakai baju, cuma pakai celana dalam, dingin. Kita kan merasa enggak aman, secara psikologis jadi down. Lalu diikat ke kursi. Dari 12-25 April kira-kira,” cerita Djati.

Tak lama kemudian, muncul kabar kalau mereka akan segera dibebaskan. Kabar itu ternyata benar adanya. Yang pertama dibebaskan adalah Pius Lustrilanang, disusul Desmond Junaidi Mahesa dan Haryanto Taslam. Semuanya dibebaskan pada hari yang berbeda.

“Itu sel semua kosong, tinggal aku sama Reza yang terakhir. Tapi kita sudah tenang karena ada yang keluar. Dan kita saling menghapal nomor telepon rumah. Janjiannya, begitu dibebaskan, semua yang sudah keluar duluan harus menghubungi keluarga,” cerita Djati.

Tak lama kemudian, dia diproses untuk pembebasan. Para penculik mewanti-wanti dan memberikan peringatan buat dirinya tentang apa yang akan terjadi jika dia melanggar kesepakatan untuk pembebasan. Rupanya, Andi Arief telah tertangkap di Lampung. Itu nampaknya yang menjadi alasan dia akan dilepaskan.

“Kamis 23 April 1998, aku dan Reza diproses lagi untuk persiapan pembebasan, dan untukku telah dipersiapkan skenario kalau aku mengaku korban salah culik oleh mafia belakang diskotek Menteng, aku diancam untuk tidak melanggar hal tersebut karena risikonya seluruh keluargaku akan dihabisi,” ujar Djati.

Dia ternyata benar-benar bebas pada Sabtu 26 April 1998. Djati dilepas di Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Dia dibawa dengan sebuah mobil. Di bagian belakang ada kursi yang saling berhadapan dan dia tiduran di bawah ditutupi oleh seseorang yang sedang baca koran. Tak lama kemudian pintu dibuka dan disuruh turun, tak boleh menoleh dan dikasih tiket kereta. Bahkan, dia masih mengalami ancaman di detik-detik pembebasan.

“Mereka berpesan bahwa orang-orang mereka sudah disebar di sekitar stasiun, bahkan di kereta pun mereka sudah siapkan orang-orang mereka, aku diturunkan di dekat perempatan pintu kereta Jatinegara ke arah Cipinang dan tidak boleh menoleh ke belakang,” jelas Djati.

Seolah tak mau melepaskan korbannya, para penculik itu mengatakan bahwa gerak-gerik Djati selama dalam perjalanan pulang tetap akan diawasi kelompok mereka. Termasuk saat berada di atas kereta.

“Dia (penculik) bilang, pokoknya kamu nanti kalau misalnya ada apa-apa di tengah jalan, kamu diam saja. Nanti ada sepasang orangtua dan anaknya yang kenal kamu duduk di kereta. Duduknya di seberang kamu. Anaknya duduk di belakang kamu. Dan benar, itu memang ada,” tutur Djati.

Begitu pula saat tiba di rumah, langsung ada telepon masuk dan menanyakan apakah dirinya sudah tiba di rumah atau belum. Sejak itulah dia baru percaya kalau sudah benar-benar bebas.

“Begitu keluar aku menghubungi telepon orangtua Reza. Dia bebas sehari setelah aku. Jarak pembebasan enggak semua beda sehari. Ada yang beberapa hari juga, aku enggak terlalu ingat,” tutur Djati.

Namun, tak mudah untuk melupakan perlakuan yang dia dapatkan selama berada di bawah penguasaan penculik. Meski sebagai aktivis dia mengaku siap dengan semua konsekuensi, diculik merupakan hal yang tak terbayangkan.

“Paranoid pasti setelah itu. Kita itu siap ditangkap, siap dipenjara, tapi dihilangkan shock juga. Masih mending dipenjara 10 tahun, jelas. Keluarga masih bisa besuk, baca buku dan lain-lain. Kalau itu, saya pilih dipenjara mungkin nggak apa-apa, daripada hilang begini kan orangtua susah,” tegas Djati.

Dalam kasus penculikan ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 23 orang telah dihilangkan. Dari jumlah itu, satu orang ditemukan meninggal, yakni Leonardus Gilang. Sedangkan sembilan orang dilepaskan penculiknya dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.

Mereka yang belum kembali adalah Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin dan Abdun Nasser.

Di antara mereka tak jelas rimbanya itu, sembilan aktivis lain sudah dilepas pada 1998. Mereka kini sudah menjadi manusia bebas. Di antaranya Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Riza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto dan Andi Arief. (uti)

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button