biem.co – Terkait Aksi 115 yang diselenggarakan Jumat lalu oleh seluruh dunia, mengenai penolakkan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke Yerusalem, ternyata hal tersebut tidak mengubah pikiran Trump untuk menghentikan langkahnya. Senin (14/5) kemarin, Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Israel resmi pindah dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Kurang dari 50 mil di mana Ivanka Trump dan sejumlah petinggi AS merayakan peresmian kedutaan, perbatasan di Gaza menjelma menjadi zona merah, dengan kobaran api dan situasi penuh kekacauan, saat puluhan ribu demonstran berhadapan dengan para penembak jitu Israel.
Dilansir dari liputan6.com, upacara peresmian itu diwarnai pertumpahan darah di Gaza. Setidaknya 52 orang Palestina tewas akibat bentrok dengan pasukan Israel. Hal itu berarti, Senin kemarin adalah hari paling mematikan sejak perang di Gaza berakhir 2014 lalu.
Pihak Tel Aviv berdalih, mereka melepaskan tembakan untuk menghalau pihak Hamas, yang menurut mereka menggunakan para demonstran sebagai pengalih, agar mereka bisa menerobos pagar perbatasan dan melakukan serangan di wilayah Israel.
Otoritas Palestina mengecam Israel telah melakukan “pembantaian yang mengerikan” dan meminta dunia internasional untuk bertindak menghentikannya. Meski pertumpahan darah terjadi, Trump memuji momentum itu sebagai “hari besar untuk Israel”. Ia yakin keputusannya untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem pada akhirnya akan membantu mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina.
Tak hanya dikecam negara-negara Arab dan dunia Islam, keputusan Trump juga ramai-ramai dikritik sejumlah negara Barat, termasuk diantaranya para sekutu dekat AS. Kantor Perdana Menteri Inggris atau Downing Street mengungkapkan, peresmian kedutaan AS di Yerusalem sama sekali tidak membantu upaya perdamaian Palestina-Israel.
Pun dengan Turki. “Amerika Serikat telah memilih untuk menjadi bagian dari masalah, alih-alih menjadi bagian dari solusi,” kata Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan dalam sebuah pidato di London. Erdogan menambahkan, AS telah kehilangan peran sebagai mediator dalam proses perdamaian Palestina-Israel.
Lembaga HAM, Human Rights Watch mengkritik Israel karena menggunakan peluru tajam untuk membubarkan demonstran. Padahal, tak ada ancaman langsung yang ditujukan terhadap pasukan Israel atau warga sipil di sana. Dilaporkan, hanya ada satu tentara Israel yang luka, akibat lemparan batu atau terkena pecahan.
“Keputusan IDF mengakibatkan pertumpahan darah yang sejatinya sudah bisa diramalkan oleh siapa pun sejak awal,” demikian pernyataan Human Rights Watch.
Khalil al-Hayya, seorang pejabat senior Hamas, mengatakan bahwa protes akan berlanjut pada hari Selasa.
“Kami menunjukkan dengan jelas, hari ini, kepada seluruh dunia bahwa aksi damai warga justru membuat musuh menumpahkan lebih banyak darah,” kata dia.
Hingga kini, sudah 52 orang tewas di sepanjang perbatasan Gaza dan Israel, termasuk enam anak di bawah usia 18 tahun. Korban tewas termuda dilaporkan bernama Ezzaldeen al-sammak, seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun. Sementara, lebih dari 1.200 lainnya menjadi korban tembakan atau terluka. Total, sekitar 100 warga Palestina tewas di Gaza sejak aksi protes dimulai enam pekan lalu. Mayoritas korban tewas adalah para demonstran tak bersenjata. [uti]