Oleh : Atih Ardiansyah (Fatih Zam)
biem.co — Saya mungkin termasuk satu dari sekian orang yang terlambat mengikuti serial Game of Thrones. Serial televisi Amerika Serikat (tayang sejak 2011) yang merupakan adaptasi dari novel seri karya George R.R. Martin berjudul A Song of Ice and Fire, dengan latar benua fiktif, Westeros dan Essos, betul-betul sukses membetot perhatian dunia.
Mengisahkan perebutan Iron Throne oleh tujuh kerajaan (Seven Kingdoms), serial yang diproduksi HBO tersebut berhasil mengisi posisi pertama untuk kategori Most Voted TV Series (jumlah voters sebanyak 1.147.712 suara, menyisihkan 129.746 judul serial). Puluhan penghargaan (Emmy Awards, Golden Globe, dll) dan ratusan nominasi telah pula menjadi pencapaian serial ini.
Yang cukup menarik perhatian saya, selanjutnya akan menjadi serat artikel ini, adalah motto keluarga Stark (salah satu klan besar di Westeros) yang berbunyi: “Winter is Coming”. Ned Stark beberapa kali mengucapkan kalimat itu sebagai peringatan kepada klannya. Dalam serial tersebut, kalimat itu diucapkan, biasanya, di ujung sebuah percakapan. Bahkan kerap menjadi senjata pamungkas untuk memenangkan pembicaraan yang menjurus pada perdebatan.
Menurut laman Game of Thrones Wiki, terdapat tiga pemaknaan tentang motto tersebut. Pertama, berupa peringatan. Stark menguasai wilayah Utara dengan wilayah yang sangat keras, sehingga kalau musim dingin tiba maka wilayah Utara itu akan menjadi benar-benar ekstrem. Pemaknaan kedua mengenai motto tersebut tak lain menggambarkan watak Klan Stark dan orang-orang Utara yang demikian dingin, intimidatif layaknya musim dingin yang panjang sehingga motto tersebut cukup untuk menggentarkan musuh-musuhnya. Yang ketiga, motto tersebut berupa peringatan kepada seluruh penghuni Westeros bahwa pada musim dingin yang panjanglah, musuh yang hampir mustahil dikalahkan akan datang, yaitu The White Walkers, dengan pemimpinnya The Night King. Jon Snow (anak haram Ned Stark) menyebutnya sebagai Army of The Dead, yang secara harfiah bisa kita artikan sebagai Pasukan Orang Mati atau Pasukan Mayat Hidup.
Pemaknaan ketiga inilah yang membuat saya termenung agak lama. Kata-kata yang menjadi motto Klan Stark tersebut seolah-olah baut, dan kondisi sosial politik Indonesia adalah murnya. Penandanya cukup benderang, ada pada episode-episode di season 6 dan 7.
Faith Militant
Pada season 6, kelompok militan bernama Faith Militant dengan pimpinan tertinggi, High Sparrow, semakin menunjukkan eksistensinya. Kelompok yang berasal dari kalangan orang-orang miskin nan tertindas dan gelandangan itu berhasil menarik minat kalangan bangsawan. Salah seorang dari Klan Lannister bahkan menjadi anggota yang paling fanatik. Dengan simbol yang diukirkan di dahi setiap anggota, mereka menyeret siapa saja yang menurut mereka telah melakukan dosa-dosa besar. Loras Tyrell yang menyukai sesama jenis dan bahkan Cersei Lannister (Ibu Ratu di Kings Landing) yang melakukan hubungan sedarah, ditangkap, dipenjara dan diadili.
Dengan fanatisme buta, mereka tanpa sungkan menghancurkan apa saja yang tidak sesuai dengan fikroh mereka. Dengan enteng mereka mengumbar kata-kata kafir, penyimpang, dan semacamnya. Pokoknya, yang tidak termasuk ke dalam kelompok mereka adalah kaum yang pantas dipanggang di dalam neraka.
Baca Juga
Karakteristik dan aksi-aksi kelompok Faith Militant ini telah berhasil menyeret ingatan saya kepada salah satu ormas di Indonesia. Rasanya tak perlu saya jabarkan rekor-rekor yang telah dilakukan kelompok ini. Meski mengaku membela kepentingan Islam, kelompok ini tanpa berat hati mencaci maki dan menghina kalangan Islam lainnya yang tidak sepemahaman dengan mereka. Barangkali masih basah dalam ingatan bagaimana dengan entengnya pimpinan kelompok ini menghina Gus Dur secara terbuka, sebagai, ah….rasanya tak layak kata-kata hinaan itu ditulis di sini.
Kelompok Faith Militant makin menegaskan posisinya ketika mereka menyelinap ke dalam politik kerajaan. Bermodalkan hukum yang dipaksakan, mereka berhasil menekan King Tommen (sebagai penebusan dosa Sang Ratu yang didakwa memberi kesaksian palsu) untuk mengakui eksistensi mereka. Gambaran ini tak jauh berbeda ketika “Preman Berjubah”, demikian beberapa tokoh dari kalangan Islam moderat melabeli ormas tersebut, mendapatkan panggung (atau dimanfaatkan?) dalam perpolitikan nasional.
Selanjutnya, tidak ada lagi yang istimewa dari kelompok Faith Militant ini. Season 6 Game of Thrones berakhir dengan musnahnya kelompok ini dalam sebuah ledakan yang dengan apik direncanakan oleh Cersei Lannister. Sama tak menariknya ketika pimpinan kelompok bersenjatakan api politik identitas itu tak kembali dari perjalanan umrohnya. Aksi mereka menggeruduk kantor Redaksi Tempo pun hanya menjadi konsumsi biasa yang segera basi di keesokan harinya.
Army of The Dead
Yang justru membetot rasa khawatir saya sebagai penikmat film adalah cerita yang dituangkan pada season 7. Ujaran Master Aemon, salah seorang yang sangat dihormati di Castle Black, yang menyebut bahwa motto Klan Stark cepat atau lambat akan menjadi kenyataan, didedahkan di sini, terutama mengenai White Walkers yang dipimpin The Night King. Season 7 secara khusus menceritakan perjalanan The White Walkers dari Far North ke The Wall di ujung utara dunia, untuk selanjutnya menuju Westeros.
Jumlah mereka ribuan. Manusia bahkan binatang yang dibantai pasukan ini akan menjadi pengikut mereka ketika The Night King membangkitkan mereka. Pelan namun pasti, mereka terus melangkah maju. Teror mengerikan untuk Westeros yang para penguasanya tak henti bertikai.
Jon Snow dan beberapa anggota The Night’s Watch dan para Wildings menyadari betul betapa berbahayanya teror Army of The Dead, karena mereka telah melihat dengan mata kepala sendiri. Maka setelah meletakkan jabatan sebagai Lord Commander di Castle Black, Jon Snow yang dinobatkan sebagai King in The North, segera melakukan upaya penyadaran pada dua kekuatan yang segera berhadapan: Deanerys Stomborn (Mother of The Dragons) vs Cersei Lannister (The Queen of Kings Landing). Upaya Jon Snow hampir kandas karena kedua The Queen nyaris tidak bisa diyakinkan. Untungnya, Jon Snow berhasil menangkap salah satu mayat hidup—dengan taruhan nyawa—dan menghadirkannya ke dalam sebuah pertemuan di Dragonpit. Pertemuan itu pun berhasil melahirkan gencatan senjata—meski api intrik tetap memercik.
Nah, bahaya yang mengintai Westeros, menurut saya, sama persis dengan bahaya yang mengintip Indonesia. Jika Westeros diancam oleh pasukan mayat hidup yang tak berotak dan hati, maka Indonesia juga tengah diancam oleh kelompok-kelompok yang tak berotak dan hati pula. Kelompok tersebut adalah para produsen sekaligus penyebar hoax.
Siapa saja, manusia atau binatang, yang dibantai oleh Army of The Dead, akan seketika menjadi bagian dari pasukan itu. Dalam kehidupan nyata di Indonesia, orang baik-baik pun bisa menjadi bagian dari penyebar hoax ketika mereka dibantai (baca: memercayai) berita hoax yang mereka terima. Septiaji Eko Nugroho, ketua Masyarakat Antihoax, menuturkan bahwa masyarakat Indonesia merasa bangga ketika menjadi orang yang pertama kali membagikan berita yang mereka terima.
Ditangkapnya Saracen atau MCA (mirip dengan ditangkapnya salah satu mayat hidup oleh Jon Snow, kan?) oleh Kepolisian, seharusnya menyadarkan kita semua. Sebaiknya kita menghentikan pertikaian. Seharusnya kita bersatu karena musuh bersama bagi persatuan kita telah tampak dengan jelas. Tak peduli dia berlabel Islam atau bukan, ketika dia memproduksi bahkan mempabrikasi berita bohong, fitnah dan ujaran kebencian, lalu secara terencana menyebarkan dan menginginkan perpecahan, dia harus dilawan. Dia adalah musuh bersama.
Winter is coming. Musim politik telah tiba. Mari waspada dengan apa saja yang dibawa oleh musim politik.
Atih Ardiansyah adalah seorang kolumnis. Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Mathla’ul Anwar, Banten, yang juga anggota Dewan Perpustakaan Provinsi Banten 2016-2019. Direktur Eksekutif Rafe’i Ali Institute, sebuah komunitas epistemik dan kebudayaan, di Banten.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.