Oleh Nakisul Ulum
biem.co — Banten merupakan daerah yang telah ditetapkan menjadi Ppovinsi oleh Pemerintah pada tahun 2000, yang pada sebelumnya Banten menjadi bagian daerah dari Provinsi Jawa Barat.
Tahun ini Banten telah 16 tahun berdiri menjadi Provinsi. Potret Banten bahwa memiliki potensi yang sangat besar. Letak Banten sangatlah strategis dengan posisinya yang berdekatan dengan Ibu Kota Jakarta. Banten juga jembatan yang menghubungkan lalu lintas antara Indonesia dan dunia melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta. Selain itu, Banten pun diuntungkan dengan adanya pelabuhan Merak yang menjadi tempat penyeberangan lintas Jawa dan Sumatera. Belum lagi ekowisata dan industri lainnya. Secara luas Banten adalah daerah dengan banyak potensi yang dimiliki. Akan tetapi pada angka 16 tahun ini yang menjadi pertanyaan besar ialah sudahkan masyarakat Banten sejahtera?
Agka-angka fantastis yang diraih Banten tentang kemiskinan di tahun 2015 dari data Badan Pusat Statistik mencapai 690,67 ribu jiwa. Lain dari pada itu, pendidikan yang mestinya menjadi sorotan utama dalam membangun daerah. Dikarenakan pengembangan sumber daya manusia sangatlah diperlukan untuk mengembangkan sumber daya alam yang ada, tanpa ada SDM yang memadai daerah akan terus terpuruk walaupun memang sumber daya alamnya melimpah. Kini Angka Persentase Murni (APM) pendidikan Banten tahun 2015 semakin turun. Untuk jenjang SD mencapai 96,0 %, SMP 79.9 %, SLTA hanya 50,5 %. Artinya, angka putus sekolah di Banten sangatlah tinggi. Hal itu mungkin saja dikarenkan faktor finansial yang tidak terjangkau.
Bicara kesehatan juga sangatlah penting. Kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat menjadi hal paling mendasar. Sekarang ini yang dirasakan masyarakat tentang layanan kesehatan terjadinya klasifikasi fasilitas atas golongan tertentu. Hal ini menjadi semakin mencoloknya stratifikasi sosial. Padahal di tengah masyarakat ada masyarakat kecil yang juga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Lihatlah pada angka gizi buruk yang diraih oleh masyarakat pada tahun 2015 sebanyak 44.292 balita yang tersebar di delapan kabupaten/kota di Banten. Dan itu pun masih banyak masyarakat yang tidak tersentuh oleh pemerintah.
Ditambah waktu itu pemberitaan pemerintah Provinsi Banten mendapat predikat disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan pada dua tahun lalu secara berturut-turut yang membuat masyarakat Banten merasa kecewa dan marah kepada Pemerintah Banten. Daerah dengan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) 9 triliun, nyatanya dikelola dengan tidak baik dan sering terjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) tiap tahunnya. Kurang baiknya pengelolaan anggaran daerah menjadi penyebab tersendatnya pembangunan di Provinsi Banten dan juga mengakibatkan angka pengangguran semakin tinggi. Jumlah angkatan kerja yang semakin meningkat sayangnya tidak dibarengi dengan lowongan pekerjaan. Di tahun 2015 saja angka pengangguran mencapai 509 ribu dengan rangking 3 angka pengangguran terbanyak dalam skala tingkat nasional dan sudah barang tentu angka itu akan bertambah setiap tahunnya jika pemerintah tidak cakap dalam menangani hal demikian.
Lagi-lagi buruknya infrastruktur tentu akan menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Baik jalan, ruang terbuka (publik) dan lain sebagainya. Bila infrastrukturnya baik maka pertumbuhan ekonominya akan bagus, begitu pun sebaliknya. Masyarakat Banten mampu menilai selama ini infrastruktur yang ada sangatlah buruk dan lambat untuk diperbaiki. Pembangunan infrastrktur merupakan salah satu komponen penting yang akan menentukan keberhasilan pemerintah dalam membangun daerah.
Bila angka-angka itu selalu menjadi cambuk pemerintah daerah maka layaknya Banten tidak lagi mendapatkan angka-angka yang memalukan seperti itu. Buruknya tata kelola pemerintahan merupakan salah satu dampak dari munculnya angka tersebut. Selain itu, wacana yang menasional tentang Banten ialah sebagai daerah tempat bersarangnya bajingan koruptor. Lihat saja pada pemberitaan tempo lalu 90 % pejabat Banten diduga tersangkut kasus korupsi (Liputan6.com.12/06/2014). Maraknya kasus koruspi di Banten menggambarkan bobroknya moral para pejabat pemerintah, pragmatisme, dan kerakusan untuk meraup keuntungan pada jabatan tertentu tanpa berpikir jabatan yang mereka pegang adalah amanah dari rakyat. Terlebih kasus Bank Banten yang sudah menyeret beberapa wakil rakyat dan bisa saja akan berlanjut menemukan pelaku-pelaku baru. Kerena ada istilah “korupsi itu bentuk kejahatan yang dilakukan secara berjamaah”.
Angka-angka demikian patutnya tak pantas untuk Banten yang konon Banten disebut sebagai daerah santri dan ulama, yang lazimnya bersifat jujur, taat akan agama, dan hal positif lainnya. Masyarakat Banten harus tergetar hatinya mendengar daerah yang dikenal religius tetapi sering kali dijadikan bahan lelucon oleh daerah lain.
Apalagi di tahun 2017 Banten akan menggelar hajat besar pemilihan gubernur. Hal ini menjadi penting untuk dijadikan catatan oleh para petarung politik yang nantinya akan bertahta. Bukan hanya itu saja, melainkan perlu pula dijadikan suatu program besar dalam rangka membangun Banten lebih baik.
Sedikit menilik sejarah, Banten pernah mengalami kejayaan pada masa Kesultanan Banten yang pada waktu itu dipimpim oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Di tangannya, Banten menjadi daerah tersohor dan sangat diperhitungkan di Nusantara bahkan dunia. Banten menjadi poros maritim, Pelabuhan Karangantu sebagai pusat perputaran ekonomi Nusantara.
Dari sisi historis yang pernah tertorehkan itulah, Banten akan yakin mengalami masa keemasan pada waktunya. Masyarakat sangat berharap di tahun 2017 akan lahir sosok pemimpin yang cakap dalam merumuskan segala persoalan untuk dapat membangun Banten, mambawa Banten lebih mandiri dan mempunyai martabat. Pemimpin baru harus mampu mewujudkan karakter kebantenan dan kearifan budaya Banten sehingga Banten ke depan menjadi daerah baldatun toyyibatun wa robbun ghofur.
Nakisul Ulum, Ketua BEM Universitas Serang Raya (Unsera) sekaligus kader umat dan bangsa.