biem.co – Bahasa ibu masih menjadi pembahasan menarik saat ini. Perspektif pun bermunculan mengenai ini, mulai dari bahasa ibu adalah bahasa yang diajarkan ibu, yakni bahasa dari daerah asal sang ibu. Ada juga yang berpendapat bahwa bahasa ibu adalah bahasa tempat dimana seorang anak berasal, atau tempat tinggalnya.
Namun, satu kesimpulan dapat ditarik dari dua perspektif itu, yakni bahasa ibu adalah bahasa yang sering digunakan oleh individu yang seringkali didengar dan digunakan oleh individu tersebut.
Pernyataan menarik dikemukakan oleh Endang Rukmana, penulis novel best seller ‘Sakit ½ Jiwa’ ini mengemukakan bahwa bahasa ibu dianggapnya tidak lebih istimewa dari bahasa lain. Namun baginya tetap saja bahasa ibu menjadi ekspresi yang paling intim dalam keluarga.
“Seringnya sih bahasa ibu (red: betawi) kita pakai untuk bercanda, bersenda gurau bersama keluarga,” ucap penulis kelahiran Jakarta, 15 mei 1984 itu.
“Beberapa buku yang saya tulis seperti ‘Gotcha!’, ‘Hantu Biang Kerok’, dan ‘Blackforest Blossom’ dengan memakai bahasa ibu dan itu pun nggak diniatin sih. Tapi karena ada tokoh betawinya aja jadi otomatis pakai bahasa ibu, secara ibu saya pun orang betawi” terangnya.
Sementara, menurut Tami Fitriyani, guru bahasa Indonesia SMK Pasundan 1 Kota Serang, bahasa ibu adalah bahasa yang didapat ketika anak baru lahir dari ibunya.
“Seperti contoh, ketika ibu pertama kalinya mengarahkan dan mengajarkan bahasa Jawa Serang kepada anak, maka pertama kali yang ditangkap dan ditiru adalah bahasa tersebut,” ungkapnya.
Kalau di kegiatan belajar mengajar, lanjut Tami, bahasa ibu mendominasi dan terbiasa dari pada menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
“Mungkin ini faktor lingkungan, seperti bahasa Jawa Serang ada kata ‘Geh’. Pasti ada setiap tugas penulisan terselip kata-kata dari bahasa ibu yang diajarkan,” tuturnya.
Katanya, penerapan antara bahasa ibu ataupun bahasa Indonesia yang baik dan benar biasanya disesuaikan, meskipun tidak semuanya harus baku.
Adapun bahasa gaul atau modern yang diterapkan orang tua, menanggapi hal ini, anak-anak nampaknya lebih cepat menyerap bahasa gaul tersebut dibandingkan bahasa Indonesia yang baik.
“Bahasa Indonesia memang sudah diterapkan saat mereka mulai sekolah, seharusnya di tingkat SMK ini sudah lebih mahir. Rata-rata kurang dalam membedakan antara bahasa baku dan lainnya,” ujarnya.
“Dari pembimbing ataupun guru lebih menekankan pada latihan maupun tugas-tugas dalam penulisan lebih diperhatikan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika ada kesalahan mereka memperbaiki dari hasil yang sudah di koreksi,” pangkasnya. (Umin/Dion)