BANTEN, biem.co – Di dunia seni, kebebasan berkreasi adalah nafas yang tak boleh terhenti. Namun, terkadang kebebasan itu dijegal oleh tangan yang tidak tampak—yang datang dalam bentuk pembatasan, sensor, bahkan sikap tak tahu diri terhadap hak-hak fundamental mahasiswa sebagai pelaku seni.
Peristiwa pembatalan pementasan teater “Wawancara dengan Mulyono” di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung mengungkapkan wajah suram dari dunia seni yang seharusnya bebas dari belenggu. Tempat acara digembok, dan pernyataan resmi dari Rektor ISBI seolah menyetujui kedangkalan berpikir yang penuh dengan kebijakan yang lebih banyak mengarah pada sensor ketimbang apresiasi terhadap karya seni.
Apa yang terjadi di ISBI Bandung? Apakah ini sekadar masalah teknis, atau ada sesuatu yang lebih mendalam terkait dengan politik kebebasan berkesenian di dalam ruang kampus?
Kampus seni, yang semestinya menjadi tempat bebas berekspresi dan berkreasi, kini justru menjadi arena di mana suara-suara yang berani dihadang dengan kebijakan yang mereduksi arti seni itu sendiri.
Teater yang Terkekang
“Wawancara dengan Mulyono” adalah sebuah pementasan yang menjanjikan, sebuah karya yang bertujuan untuk membuka ruang bagi dialog kritis. Namun, di balik persiapan yang matang dan semangat yang menggebu, pementasan tersebut harus terhenti dengan cara yang sangat ironis.
Tempat acara digembok, sebuah tindakan yang secara simbolis menggambarkan bagaimana suara yang ingin disuarakan dalam bentuk seni bisa dengan mudah dibungkam hanya karena dianggap “berisiko.”
Apakah seni sudah menjadi ancaman bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan? Apakah kritik sosial yang terselip dalam karya seni itu benar-benar begitu menakutkan?
ISBI Bandung, yang seharusnya menjadi rumah bagi kreativitas dan kebebasan ekspresi, tiba-tiba mengundang kontroversi.
Bagaimana mungkin sebuah kampus seni, tempat yang mestinya mengajarkan pemikiran kritis dan merayakan keragaman ide, malah terjebak dalam logika kekuasaan yang mengekang? Menurut pengamat politik dan budaya, hal ini merupakan indikasi bahwa kampus tersebut lebih memilih untuk menjaga kenyamanan ketimbang menantang status quo.
Kedangkalan Berpikir
‘Inohong’ ISBI Bandung dalam kasus ini sangat krusial. Alih-alih memberikan dukungan terhadap keberagaman pemikiran dan kebebasan berekspresi, pernyataan resmi dari sang Rektor justru memberi persetujuan terhadap tindakan yang menyensor kebebasan itu.
Ketika sebuah karya seni dibungkam dengan alasan yang kabur dan tidak berbasis pada prinsip-prinsip akademis yang jelas, kita harus bertanya: apakah Rektor ISBI telah gagal memahami esensi dari seni itu sendiri?
Jika kampus seni memilih untuk menghentikan sebuah karya seni yang berpotensi membangkitkan kesadaran sosial, maka apa sebenarnya yang diajarkan di sana? Bukankah seni, dengan segala bentuknya, harus mampu mempertanyakan norma, menggugat ketidakadilan, dan membuka ruang untuk dialog? Jika kebebasan berekspresi tidak dihargai di kampus seni, maka ke mana lagi para seniman muda akan mencari ruang untuk berbicara?
Teringat perkataan Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man,[1] di mana ia mengkritik bagaimana masyarakat sering kali menghambat kebebasan berpikir melalui struktur sosial yang homogen. Pembatasan terhadap karya seni, seperti yang terjadi di ISBI Bandung, menunjukkan adanya kontrol yang membatasi kreativitas dan pembebasan ide. Hal ini menghalangi munculnya gagasan-gagasan yang dapat menggugah kesadaran sosial, yang seharusnya menjadi tujuan utama seni sebagai media ekspresi dan perlawanan.
Sensor yang Menggigit di Kampus Seni
Sensor yang sewenang-wenang di kampus bukanlah fenomena baru, namun kejadian ini mengingatkan kita pada kekuasaan yang kerap mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dibicarakan dalam karya seni. Sensor dalam dunia seni bukan hanya tentang pembatasan kata atau gambar.
Ia lebih dalam dari itu. Ia adalah cara kita menghancurkan hak fundamental seorang seniman untuk mengungkapkan isi hati dan pikiran mereka, tanpa rasa takut akan konsekuensi sosial atau politik.
Di sini, kita berbicara tentang sebuah tindakan yang mengekang ide-ide baru, yang memotong akar kreativitas, dan menghilangkan hak seseorang untuk mengekspresikan diri melalui seni. Membatasi karya seni karena alasan yang tak jelas hanya memperlihatkan ketakutan akan perubahan.
Bahkan lebih jauh lagi, hal ini mengungkapkan bagaimana penguasa dan pihak yang berwenang sering kali lebih memilih untuk mempertahankan status quo ketimbang merayakan dinamika dan kebebasan berkreasi.
Sependapat dengan Theodor Adorno dalam Aesthetic Theory,[2] yang mengemukakan bahwa seni tidak hanya untuk memperindah dunia, tetapi juga harus memiliki kekuatan untuk mengubah dan mengkritisi tatanan sosial yang ada. Pembatalan pementasan ini mengindikasikan bahwa karya seni yang kritis sering kali dianggap sebagai ancaman bagi mereka yang berkuasa, padahal seharusnya seni menjadi sarana untuk mempertanyakan norma dan memperjuangkan keadilan sosial.
Kembali pada Filosofi Seni
Filosofi seni sendiri selalu mengarah pada kebebasan. Seni sejati tidak hanya menampilkan keindahan, tetapi juga menantang, menggugat, dan memberi ruang untuk pemikiran kritis.
Oleh karena itu, dalam konteks ini, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita masih menghargai seni sebagai medium untuk menggali kebenaran, atau hanya sebagai alat untuk mempertahankan kepentingan tertentu?
Seni adalah cermin dari masyarakat, dan seharusnya bisa memotret realitas dengan segala kompleksitasnya. Jika sebuah karya seni—terlebih yang lahir dari tangan mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan—dihapus hanya karena dianggap berpotensi mengancam tatanan yang ada, maka kita telah merampas hak mereka untuk berkarya. Ini bukan hanya masalah ISBI Bandung, tetapi masalah kita semua sebagai bangsa yang mengklaim diri sebagai demokrasi.
Penulis sepakat dengan Michel Foucault dalam Discipline and Punish,[3] yang menguraikan bagaimana kekuasaan bekerja dalam membentuk individu dan memaksakan struktur tertentu. Ketika karya seni dibungkam, hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan lebih memilih untuk menjaga kenyamanan dan ketertiban yang bertentangan dengan kebebasan berpikir yang sejati.
Menuntut Keberanian
Menarik garis besar dari kasus ini, kita bisa melihat betapa pentingnya keberanian dalam berkesenian. Keberanian untuk menyuarakan ketidakadilan, keberanian untuk menggugat, dan keberanian untuk tidak takut terhadap ancaman yang datang dari mereka yang berkuasa.
Namun, keberanian itu harus didukung oleh sikap tegas dari pihak-pihak yang seharusnya menjadi pelindung kebebasan—baik itu Rektor, pengelola kampus, ataupun masyarakat luas.
Apakah kita akan diam saja ketika kebebasan berekspresi diserang begitu saja? Apakah kita akan menonton karya-karya seni yang berani dihancurkan hanya karena mereka berani mengungkapkan realitas yang tidak nyaman?
Ataukah kita akan berdiri bersama mereka yang ingin membawa perubahan dan memberikan ruang yang layak bagi karya-karya seni yang menginspirasi?
Dengan dibatalkannya pementasan “Wawancara dengan Mulyono” ini, ISBI Bandung mungkin merasa telah menang dalam mengendalikan situasi. Namun, kemenangan apa yang bisa diraih dengan menekan kreativitas dan membungkam suara-suara kritis?
Ini bukan hanya kekalahan bagi para seniman yang terlibat, tetapi kekalahan bagi seluruh institusi yang seharusnya mendidik generasi baru untuk berpikir bebas, kritis, dan mandiri.
Dalam dunia seni, tidak ada tempat untuk ketakutan. Yang ada hanya ruang untuk imajinasi, kebebasan, dan keberanian untuk melawan batasan yang ditentukan oleh mereka yang hanya memikirkan kenyamanan pribadi. Jika ISBI Bandung ingin menjadi kampus yang sejati dalam arti seni, maka mereka harus belajar untuk tidak hanya membuka pintu gedung, tetapi juga membuka pintu kebebasan berpikir dan berekspresi. Sebab, seni yang dibungkam hanyalah bayang-bayang dari kehidupan yang terkurung dalam ketakutan.
Penulis setuju dengan Bertolt Brecht dalam konsep Theatre for the Oppressed,[4] yang menyarankan agar teater menjadi ruang untuk menciptakan kesadaran sosial dan menantang struktur kekuasaan yang ada. Pembatalan pementasan ini justru menghambat penciptaan ruang tersebut dan menunjukkan ketakutan terhadap perubahan yang dapat dibawa oleh seni. (RedB)
DAFTAR PUSTAKA
- Adorno, T. W. (1970). Aesthetic Theory. Routledge.
Link: http://www.amazon.com/Aesthetic-Theory-Theodor-Adorno/dp/0415253705 - Brecht, B. (1965). Theatre for the Oppressed. Routledge.
Link: http://www.amazon.com/Theatre-Oppressed-Bertolt-Brecht/dp/0415286194 - Foucault, M. (1975). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.
Link: http://www.amazon.com/Discipline-Punish-Birth-Prison/dp/0679752552 - Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society. Beacon Press.
Link: http://www.amazon.com/One-Dimensional-Man-Studies-Industrial-Society/dp/0807047151
[1] Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society. Beacon Press.
Link: http://www.amazon.com/One-Dimensional-Man-Studies-Industrial-Society/dp/0807047151
[2] Adorno, T. W. (1970). Aesthetic Theory. Routledge.
Link: http://www.amazon.com/Aesthetic-Theory-Theodor-Adorno/dp/0415253705
[3] Foucault, M. (1975). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.
Link: http://www.amazon.com/Discipline-Punish-Birth-Prison/dp/0679752552
[4] Brecht, B. (1965). Theatre for the Oppressed. Routledge.
Link: http://www.amazon.com/Theatre-Oppressed-Bertolt-Brecht/dp/0415286194