Eko SupriatnoKolom

Indonesia (Harus) Terang!

Oleh : Bung Eko Supriatno, Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

BANTEN, biem.co – Aksi demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap” yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mencuatkan gelombang protes terbesar yang telah mengguncang Indonesia, bahkan diprediksi mencapai puncaknya pada Kamis, 20 Februari 2025.

Demo ini menandai keresahan publik terhadap kebijakan-kebijakan kontroversial di bawah pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Mulai dari pemangkasan anggaran yang dianggap merugikan sektor publik hingga penolakan terhadap revisi sejumlah undang-undang yang berpotensi memperburuk keadaan sosial dan politik.

Di tengah hiruk-pikuknya politik Indonesia, mahasiswa menjadi corong protes terbesar yang mewakili kepedulian terhadap masa depan bangsa. Gerakan mahasiswa ini menggambarkan kegelisahan yang semakin meluas di kalangan rakyat terhadap pemerintah yang terkesan tidak berpihak pada kepentingan umum.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

“Indonesia Gelap” bukan hanya sekedar slogan; ia adalah simbol ketakutan, kekhawatiran, dan kekecewaan terhadap kebijakan yang tidak mendengarkan jeritan rakyat. Mahasiswa, yang selama ini menjadi garda terdepan dalam menyuarakan keadilan sosial, berani turun ke jalan dengan tuntutan yang jelas: transparansi anggaran, penghentian penggusuran yang merugikan masyarakat, penolakan terhadap revisi UU TNI, dan berbagai isu lainnya yang dirasa mengancam keadilan di tanah air.[1]

Namun, aksi ini bukanlah kejutan. Dalam lima tahun terakhir, gelombang demonstrasi besar terus mengguncang tanah air. Sebut saja demo besar pada 2019 terkait penolakan terhadap RKUHP dan Omnibus Law pada 2020.

Setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dianggap kontroversial, mahasiswa dan masyarakat sipil selalu berada di garis depan memperjuangkan hak mereka. “Indonesia Gelap” adalah salah satu bentuk ekspresi ketidakpuasan yang kembali mengemuka.

BEM SI, sebagai organisasi yang mewakili suara mahasiswa, memilih puncak aksi pada 20 Februari 2025, karena bertepatan dengan pelantikan kepala daerah terpilih yang akan dilaksanakan di Istana Negara.

Harapannya, para kepala daerah yang baru dilantik akan memahami bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab moral terhadap rakyat yang menginginkan keadilan dan perubahan nyata.  Mahasiswa menuntut kepala daerah tidak hanya menjadi “pemerintah lokal” yang menerima instruksi pusat, namun juga menjadi pemimpin yang berani melawan ketidakadilan di tingkat daerah.

Sebuah langkah konkret yang diharapkan akan mengubah paradigma pemerintahan di semua level, dari pusat hingga daerah.[2]

Transparansi dan Kesejahteraan

Salah satu isu sentral dalam protes ini adalah pemangkasan anggaran besar-besaran yang telah dilakukan oleh pemerintah. Tentu, efisiensi anggaran adalah langkah yang harus diambil, tetapi ada kekhawatiran bahwa langkah ini justru akan berdampak negatif pada sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan.

Pemerintah sendiri menegaskan bahwa kebijakan efisiensi anggaran tidak akan mengganggu peningkatan biaya pendidikan. Namun, bagi mahasiswa dan masyarakat, klaim ini terkesan ambigu dan tidak meyakinkan, terutama ketika proyek-proyek strategis nasional dianggap mengabaikan kesejahteraan masyarakat dengan melibatkan penggusuran tanah warga.

Aksi ini adalah sebuah peringatan untuk pemerintah: langkah efisiensi yang diambil harus tetap berpihak pada rakyat, bukan hanya kepada kepentingan segelintir pihak. Ketidakjelasan dalam pengelolaan anggaran, ditambah dengan kurangnya transparansi pembangunan, telah menambah rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Tuntutan untuk transparansi dan keadilan dalam pembangunan harus dipenuhi, bukan hanya sebagai janji kampanye, tetapi sebagai komitmen yang harus diwujudkan dalam kebijakan yang nyata.[3]

Ada Harapan di Balik Kegelapan

“Indonesia Gelap” adalah seruan untuk membuka mata pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia akan pentingnya keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Keberanian mahasiswa dalam menyuarakan protes harus menjadi refleksi bagi semua pihak, bahwa suara rakyat tidak bisa dibiarkan hilang dalam kebijakan yang kontroversial dan tidak berpihak pada kesejahteraan bersama.

Kebijakan yang tidak memberikan ruang bagi partisipasi publik akan semakin memperdalam ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.[4]

Namun, apakah kita akan terus hidup dalam “Indonesia Gelap”? Ataukah pemerintah akan melihat protes ini sebagai peluang untuk melakukan introspeksi dan membuat perubahan yang lebih berarti?

Masa depan bangsa tidak boleh tergantung pada kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Saatnya untuk menyongsong Indonesia yang terang, di mana setiap kebijakan yang diambil dapat memberi manfaat kepada seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elit politik.[5]

Indonesia (Harus) Terang!

Dalam sejarah pemikiran politik dunia, slogan vox populi vox dei—suara rakyat adalah suara Tuhan—merupakan sebuah tonggak penting yang mengangkat hakikat kekuasaan sejati. Muncul pada abad ke-18, slogan ini mengkritik mutlaknya kekuasaan raja-raja seperti Louis XIV yang mendeklarasikan “L’État, c’est moi” (Negara adalah saya). Raja-raja semacam itu menganggap diri mereka sebagai perpanjangan tangan Tuhan di bumi, memerintah tanpa mempertanggungjawabkan kekuasaan yang mereka emban. Dalam konteks seperti itu, rakyat dipandang sebagai alat yang hanya berfungsi untuk memberikan legitimasi bagi kekuasaan absolut penguasa.[6]

Namun, di era demokrasi modern ini, vox populi vox dei seharusnya menggema lebih kuat dari sebelumnya, menggugat penguasa yang abai terhadap suara rakyat. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kita sering menyaksikan bagaimana kekuasaan politik justru berbalik arah, melupakan rakyat yang seharusnya menjadi sumber legitimasi bagi para pemegang jabatan publik. Rakyat seolah hanya dipandang sebagai pemilih yang memberikan suara dalam pemilu, namun setelah itu suara mereka kerap tidak didengarkan.[7]

Salah satu permasalahan mendasar dalam demokrasi kita adalah hilangnya relevansi wakil rakyat sebagai penghubung antara rakyat dan penguasa.

Wakil rakyat seharusnya bertugas untuk mendengarkan dan memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah memilih mereka.

Namun, kenyataannya sering kali kita menyaksikan wakil rakyat justru lebih loyal kepada penguasa dan partai politik yang berkuasa, bukannya kepada rakyat yang memilih mereka.

Fenomena ini semakin parah dengan praktik korupsi yang merajalela, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di banyak daerah, pemekaran wilayah tidak membawa dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Justru, penguasa lokal cenderung lebih mementingkan kekuasaan pribadi dan jaringan politik daripada memperjuangkan hak dan kesejahteraan rakyat.

Puncaknya, rakyat merasa terabaikan dan diabaikan, sementara para pemimpin negara sibuk berurusan dengan urusan pribadi dan kekuasaan politik.

Demokrasi yang Gagal?

Demokrasi seharusnya menjadi alat yang memberi ruang bagi rakyat untuk menentukan nasib mereka. Namun, kenyataannya, banyak elemen dalam demokrasi Indonesia yang gagal memenuhi tujuan luhur tersebut. Sistem demokrasi kita sering kali terhambat oleh kartel-kartel politik yang memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, bukannya kepentingan rakyat banyak. Kondisi ini menciptakan ketimpangan yang semakin lebar antara elite politik dan rakyat kecil.

Partai-partai politik yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat justru sibuk terjebak dalam pertarungan internal dan korupsi. Bahkan, banyak keputusan yang diambil oleh pemerintah lebih menguntungkan segelintir elit politik atau pengusaha besar daripada masyarakat luas. Dalam hal ini, demokrasi Indonesia seolah menjauh dari cita-cita awalnya: kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.[8]

Masyarakat Sipil: Kunci Perubahan

Untuk menghadapi krisis ini, penting bagi kita untuk membangun masyarakat sipil yang kuat. Masyarakat sipil yang mandiri dan tidak terikat pada kekuasaan atau pasar adalah pilar utama dalam demokrasi yang sehat. Masyarakat sipil bukan hanya sekedar kelompok yang memperjuangkan hak-hak sipil, tetapi juga sebagai kekuatan penyeimbang terhadap kekuasaan negara yang sering kali terjebak dalam praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Namun, meskipun ada beberapa contoh positif, masyarakat sipil di Indonesia masih sangat lemah. Pemerintah sering kali tidak mendengarkan suara kritis dari masyarakat dan bahkan menganggapnya sebagai ancaman.

Kritik dan ketidakpuasan masyarakat sering kali dibungkam dengan teror atau stigma negatif terhadap individu atau kelompok yang berani berbicara.[9]

Melihat kondisi demokrasi Indonesia yang semakin gelap, kita harus kembali ke akar perjuangan demokrasi itu sendiri: mendengarkan suara rakyat. Jika benar vox populi vox dei, maka sudah saatnya penguasa dan wakil rakyat benar-benar mendengarkan apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh rakyat.

Kita harus mengingat bahwa Indonesia bukan hanya dihargai karena kemajuan teknologinya atau kekuatan ekonominya, tetapi juga karena kepercayaan dan integritas rakyat dan pemimpinnya.

Negara yang dihormati di mata dunia adalah negara yang mampu menjaga prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan transparansi dalam pemerintahan.[10]

Demokrasi yang gagal di Indonesia bukanlah hasil dari sistem yang rusak, tetapi dari ketidakmampuan kita untuk menjaga nilai-nilai dasar yang menghidupi sistem itu. Jika kita ingin negara ini benar-benar maju, maka seluruh elemen bangsa, baik penguasa, wakil rakyat, maupun masyarakat sipil, harus bekerja sama untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Bukan saatnya lagi bagi kita untuk terperangkap dalam kebisuan dan ketidakpedulian. Mari kita bangun Indonesia yang terang, dengan mendengarkan suara rakyat, memperjuangkan hak-hak mereka, dan menjadikan demokrasi sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh bangsa.

Indonesia harus terang, dan itu dimulai dengan mendengarkan suara rakyat.[11]

***

[1] Gerakan protes dapat dipahami melalui analisis partisipasi politik dalam gerakan sosial, seperti yang dijelaskan oleh Tarrow (1998) dalam Power in Movement. Dia mengidentifikasi dinamika pergerakan mahasiswa dan faktor-faktor yang mendorong aksi protes. Tarrow, S. (1998). Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. Cambridge University Press. https://www.cambridge.org/core/books/power-in-movement/37C4378BB64E505B15F9FB9A46C9B17B

[2] Konsep tanggung jawab moral dalam demonstrasi ini terkait dengan teori keadilan Rawls (1971), yang menekankan pentingnya distribusi keadilan yang adil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press. https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674000780

[3] Hood (2010) dalam The Transparency of Public Management Reform menyatakan bahwa transparansi dalam reformasi pemerintahan penting untuk meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi ketidakpercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Hood, C. (2010). The Transparency of Public Management Reform. Oxford University Press. https://global.oup.com/academic/product/the-transparency-of-public-management-reform-9780199286341

[4] Pateman (1970) dalam Participation and Democratic Theory menekankan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan adalah kunci demokrasi yang sehat. Seruan “Indonesia Gelap” mencerminkan ketidakseimbangan ketika suara rakyat diabaikan dalam kebijakan pemerintah. Pateman, C. (1970). Participation and Democratic Theory. Cambridge University Press. https://www.cambridge.org/core/books/participation-and-democratic-theory/97FF1A90EC2C8D2B34A44F83C3075018

[5] Held (2006) dalam Models of Democracy menyatakan bahwa demokrasi yang baik harus mencakup semua lapisan masyarakat, bukan hanya elit politik. “Indonesia Terang” menekankan pentingnya kebijakan yang inklusif. Held, D. (2006). Models of Democracy. Stanford University Press. https://www.sup.org/books/title/?id=7170

[6] Hood (2010) dalam The Transparency of Public Management Reform menekankan pentingnya transparansi untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Ketika pemerintah kurang transparan, seperti dalam protes mahasiswa, hal ini menimbulkan ketidakpercayaan publik. Hood, C. (2010). The Transparency of Public Management Reform. Oxford University Press. https://global.oup.com/academic/product/the-transparency-of-public-management-reform-9780199286341

[7] Bovens dan Zouridis (2002) menekankan bahwa mengabaikan suara publik adalah masalah besar dalam demokrasi. Ini relevan dengan situasi di Indonesia, di mana suara rakyat sering kali tidak didengar. Bovens, M., & Zouridis, S. (2002). Transparency in Governance. Journal of Public Administration Research and Theory. https://academic.oup.com/jpart/article/12/4/477/577101

[8] Tarrow (1998) menjelaskan bahwa gerakan sosial dapat mendorong perubahan dalam politik. Ini sejalan dengan tulisan yang menekankan peran penting gerakan sosial dalam reformasi demokrasi. Tarrow, S. (1998). Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. Cambridge University Press. https://www.cambridge.org/core/books/power-in-movement/37C4378BB64E505B15F9FB9A46C9B17B

[9] Rawls (1971) menekankan bahwa keadilan harus memprioritaskan kesejahteraan semua orang, relevan dengan kritik terhadap ketidakadilan di Indonesia. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press. https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674000780

[10] Sen (2009) mendorong pendekatan yang fokus pada kemampuan dan kesejahteraan rakyat dalam mencapai keadilan sosial. 7.           Sen, A. (2009). The Idea of Justice. Belknap Press. https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674036130

[11] Gramsci (1971) menjelaskan bagaimana kekuasaan digunakan untuk mempertahankan status quo, yang ditantang oleh protes mahasiswa yang menyerukan reformasi. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers  https://www.amazon.com/Selections-Prison-Notebooks-Gramsci/dp/0717800170

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Bovens, M., & Zouridis, S. (2002). Transparency in Governance. Journal of Public Administration Research and Theory.
    URL: https://academic.oup.com/jpart/article/12/4/477/577101
  2. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
    URL: https://www.amazon.com/Selections-Prison-Notebooks-Gramsci/dp/0717800170
  3. Held, D. (2006). Models of Democracy. Stanford University Press.
    URL: https://www.sup.org/books/title/?id=7170
  4. Hood, C. (2010). The Transparency of Public Management Reform. Oxford University Press.
    URL: https://global.oup.com/academic/product/the-transparency-of-public-management-reform-9780199286341
  5. Pateman, C. (1970). Participation and Democratic Theory. Cambridge University Press.
    URL: https://www.cambridge.org/core/books/participation-and-democratic-theory/97FF1A90EC2C8D2B34A44F83C3075018
  6. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
    URL: https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674000780
  7. Sen, A. (2009). The Idea of Justice. Belknap Press.
    URL: https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674036130
  8. Tarrow, S. (1998). Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. Cambridge University Press.
    URL: https://www.cambridge.org/core/books/power-in-movement/37C4378BB64E505B15F9FB9A46C9B17B

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button