“Utang adalah beban bagi generasi mendatang. Kesejahteraan tercapai melalui kebijakan adil, mengurangi utang, dan memprioritaskan rakyat.”
BANTEN, biem.co -Seperti bayang-bayang yang semakin panjang saat senja merunduk, utang pemerintah Indonesia kini semakin menekan. Data terbaru per Juni 2024 menunjukkan utang mencapai Rp 8.444,87 triliun, dengan rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang naik menjadi 39,13%. Angka ini bukan hanya sekadar statistik ekonomi, tetapi simbol dari beban yang semakin berat, yang kini terpaksa ditanggung oleh bangsa ini. Presiden Prabowo Subianto, yang baru saja menerima amanah untuk memimpin, juga harus menghadapi kenyataan pahit: utang yang terlanjur membengkak, di tengah krisis global yang belum usai.[1]
Utang—kata yang begitu akrab, namun tak pernah menyenangkan untuk dibicarakan. Bahkan dalam jangka pendek, ia sudah mulai menunjukkan dampaknya. Pembayaran bunga utang yang semakin besar hampir menyita setengah dari penerimaan pajak, menciptakan sebuah jurang fiskal yang semakin dalam. Ini bukan lagi soal angka-angka besar yang hanya dibaca para ahli ekonomi. Ini adalah cerita rakyat yang terpinggirkan, yang harus menerima kenyataan bahwa uang yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan mereka, harus dibayarkan untuk bunga utang yang tak kunjung reda.[2]
Ada sebuah pepatah yang sering dikaitkan dengan utang: “Gali lubang tutup lubang”. Inilah yang tampak terjadi dalam roda pemerintahan kita. Untuk menutupi defisit, pemerintah terus menarik utang baru—tidak untuk pembangunan atau pencapaian tujuan jangka panjang, tetapi hanya untuk menutup utang yang lebih lama.
Lingkaran setan utang ini semakin menjerat, membuat kita terjebak dalam ketergantungan yang semakin besar pada utang luar negeri. Dalam situasi seperti ini, harapan akan perubahan signifikan seakan menjadi angan-angan yang semakin jauh. Pemerintah pun harus memutar otak, mencari solusi yang lebih jitu.[3]
Salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah adalah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025. Kebijakan ini tentu menimbulkan pro dan kontra. Bagi banyak kalangan, terutama kelas menengah dan bawah, kenaikan PPN ini seperti menambah beban yang sudah terlalu berat. Daya beli masyarakat, yang sudah tergerus oleh inflasi dan kenaikan harga barang, diperkirakan akan semakin tertekan.[4] Sebuah dilema klasik yang sulit dihindari: untuk menyehatkan keuangan negara, apakah harus mengorbankan kesejahteraan rakyat?
Namun, apakah kita hanya bisa terjebak dalam dilema ini? Ataukah ada jalan keluar yang lebih bijaksana? Beberapa pengamat ekonomi berpendapat bahwa untuk memulihkan fiskal negara, harus ada upaya yang lebih terstruktur. Kenaikan PPN mungkin perlu, tetapi harus dibarengi dengan reformasi perpajakan yang lebih inklusif, yang melibatkan sektor informal dan memperbaiki kepatuhan pajak.[5] Selain itu, keberanian untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri harus segera diwujudkan.
Beban utang ini bukan hanya masalah ekonomi semata, melainkan juga persoalan budaya dan filosofi bangsa. Sebuah negara yang terus menerus mengandalkan utang luar negeri seperti seorang individu yang hidup dengan mengandalkan utang tanpa kemampuan untuk membayar. Kita harus kembali merenungkan nilai-nilai kemandirian dan gotong-royong, dua pilar yang menjadi fondasi budaya kita.
Dalam setiap keputusan yang diambil, baik itu kebijakan fiskal maupun ekonomi, kita harus memastikan bahwa itu bukan hanya untuk sementara, tetapi juga untuk masa depan yang lebih baik. Masa depan yang lebih mandiri, lebih sejahtera, dan lebih adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika negara ini ingin keluar dari cengkraman utang yang semakin dalam, maka harus ada kesadaran kolektif untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri dan mencari solusi internal yang lebih inovatif. Salah satu solusi tersebut adalah dengan menggali potensi sumber daya yang dimiliki negara—baik yang terpendam di dalam bumi maupun yang tersebar di sektor-sektor yang belum sepenuhnya dioptimalkan. Sektor BUMN, misalnya, dapat dimaksimalkan untuk menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang lebih besar, tanpa harus terus bergantung pada utang luar negeri.[6]
Dalam filosofi Jawa, ada ungkapan “urip iku urup” yang berarti hidup itu seharusnya memberi manfaat. Negara ini, seperti halnya masyarakatnya, harus memiliki kesadaran bahwa utang yang menumpuk hanya akan mengorbankan generasi mendatang. Maka, perlu ada keberanian untuk membuat keputusan-keputusan yang tidak hanya menguntungkan di jangka pendek, tetapi juga memberi harapan dan masa depan yang lebih baik bagi anak cucu kita. Peningkatan PPN, meskipun tidak bisa dihindari, harus diiringi dengan kebijakan yang memastikan kesejahteraan rakyat tetap menjadi prioritas. Dan di atas semua itu, negara harus kembali meneguhkan komitmennya untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, agar tak lagi menjadi bangsa yang hidup dari utang, tetapi bangsa yang berdikari.[7]
Jika langkah ini diambil dengan hati-hati, penuh perhitungan, dan dengan semangat gotong royong, bukan tidak mungkin Indonesia dapat mengatasi beban utang yang kian menghimpit, dan melangkah menuju kemandirian yang sejati.
Gali Lubang
Pepatah lama “gali lubang tutup lubang” menggambarkan situasi yang dihadapi pemerintah saat ini. Demi menutupi defisit anggaran, utang baru terus ditarik untuk membayar bunga utang yang ada. Seiring waktu, hal ini menciptakan lingkaran setan—utang yang terus bertambah namun tak pernah bisa dilunasi.
Pemerintah terpaksa menggunakan utang baru bukan untuk pembangunan atau penguatan sektor-sektor vital, seperti kesehatan dan pendidikan, melainkan hanya untuk menutup lubang fiskal yang semakin menganga. Ini adalah masalah struktural yang semakin memperburuk kondisi ekonomi jangka panjang.
Pada jangka menengah, dampak dari kenaikan utang semakin nyata. Ketergantungan terhadap utang luar negeri terus tumbuh, yang pada akhirnya memperburuk defisit anggaran dan menciptakan ketergantungan yang lebih besar pada kekuatan ekonomi eksternal. Hal ini juga semakin memperburuk stabilitas ekonomi dalam negeri. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia seharusnya bisa lebih mandiri secara finansial. Namun, ketergantungan pada utang luar negeri menjadi penghalang utama menuju kemandirian tersebut.
Mengatasi ketergantungan pada utang luar negeri harus menjadi prioritas utama. Langkah pertama yang perlu diambil adalah melakukan audit menyeluruh terhadap utang negara untuk memastikan bahwa utang yang diambil benar-benar bermanfaat dan tidak terbuang sia-sia. Pemutihan atau pengurangan beban bunga melalui negosiasi dengan kreditur juga harus menjadi opsi yang dipertimbangkan untuk meringankan beban fiskal negara. Selain itu, pemerintah harus mencari alternatif sumber pendapatan yang lebih berkelanjutan. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama dari sektor BUMN, perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Tak kalah penting adalah mengurangi belanja yang tidak efisien di dalam negeri agar alokasi anggaran bisa lebih difokuskan pada sektor-sektor yang benar-benar mendukung kesejahteraan rakyat.[8]
Dilema PPN: Beban Baru di Tengah Krisis
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang selama ini dipandang sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara, kini berada di tengah sorotan tajam. Kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada Januari 2025 tidak hanya menciptakan perdebatan di kalangan ekonom dan politisi, tetapi juga memunculkan dilema besar bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang sudah terhimpit oleh kesulitan ekonomi.
PPN yang seharusnya menjadi instrumen untuk meningkatkan pendapatan negara kini berisiko memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah yang tengah berjuang mempertahankan daya beli mereka. Selama bertahun-tahun, kelas menengah Indonesia telah terbebani oleh biaya hidup yang terus meningkat—dari harga bahan pokok yang melonjak hingga biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin tak terjangkau. Dan kini, kenaikan PPN ini seperti menambah berat beban yang mereka pikul.
Kenaikan tarif PPN ini dapat dipandang sebagai kebijakan yang harus diambil untuk memenuhi kebutuhan fiskal negara yang semakin besar, terutama dalam menghadapi beban utang yang terus meningkat. Namun, di tengah krisis daya beli masyarakat, keputusan ini bisa berbalik menjadi pedang bermata dua. Peningkatan tarif PPN akan langsung mempengaruhi harga barang dan jasa, yang pada gilirannya akan memicu inflasi. Daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, yang sudah terhimpit oleh inflasi dan naiknya harga barang, tentu akan semakin tergerus. Barang-barang kebutuhan sehari-hari yang selama ini sudah sulit dijangkau, kini akan semakin menjauh dari jangkauan mereka.
Sementara itu, masyarakat bawah, yang sudah hidup di ambang kesulitan, bisa dipastikan akan semakin terjerat dalam lingkaran kemiskinan. Bagi mereka, harga-harga yang meningkat akibat kenaikan PPN bukanlah sekadar angka di tagihan belanja, tetapi sebuah pertaruhan atas kelangsungan hidup sehari-hari.
Ketidakadilan Ekonomi
Di sisi lain, dalam konteks budaya dan sosial, kebijakan ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang keadilan ekonomi. Seharusnya, sebuah negara yang sehat ekonomi dan sosialnya mampu menciptakan kebijakan yang tidak hanya berpihak pada kebutuhan fiskal negara, tetapi juga mampu memastikan bahwa beban ekonomi tidak hanya ditanggung oleh lapisan masyarakat tertentu. Di sinilah letak ketidakadilan yang mencuat, ketika pajak yang lebih tinggi justru akan membebani mereka yang paling tidak mampu. Sementara itu, segelintir kalangan yang kaya justru mampu bertahan dan bahkan diuntungkan oleh kebijakan semacam ini. Kebijakan semacam ini menciptakan jurang ketimpangan yang semakin dalam, di mana mereka yang sudah terhimpit, semakin terhimpit oleh kebijakan yang tidak sensitif terhadap realitas sosial-ekonomi yang ada.
Kenaikan PPN pada dasarnya bukanlah masalah sederhana. Ini adalah kebijakan yang mempengaruhi setiap lapisan masyarakat, dengan dampak yang sangat dalam dan luas. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan perhitungan lebih matang sebelum mengambil langkah ini. Kenaikan PPN harus disertai dengan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat kecil, terutama mereka yang paling rentan terhadap dampaknya. Misalnya, melalui program bantuan sosial yang lebih luas, atau pengalokasian subsidi bagi barang dan jasa pokok yang sering dibeli oleh masyarakat kelas bawah dan menengah.
Namun, apakah kebijakan-kebijakan semacam ini akan benar-benar terlaksana dengan baik? Apakah pemerintah dapat menjamin bahwa bantuan sosial yang diberikan benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan? Di sinilah tantangan terbesar dari kebijakan ini. Jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan hidup masyarakat, maka kenaikan PPN bisa menjadi bumerang yang semakin memperburuk ketimpangan sosial di negeri ini.
Jalan Tengah yang Adil
Pemerintah harus menyadari bahwa kebijakan ekonomi yang diambil tidak hanya harus mengakomodasi kebutuhan negara, tetapi juga harus berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Penerimaan negara memang penting, tetapi apakah ini harus dicapai dengan cara yang semakin membebani rakyat kecil dan menengah? Sebuah negara yang adil dan berkemakmuran adalah negara yang mampu menyeimbangkan kedua hal tersebut.
Oleh karena itu, dalam mengambil kebijakan kenaikan PPN, pemerintah seharusnya memperhatikan prinsip keseimbangan antara peningkatan pendapatan negara dengan perlindungan terhadap daya beli rakyat. Salah satu solusi yang bisa diambil adalah dengan menciptakan sistem pajak yang lebih progresif, di mana mereka yang mampu membayar lebih, membayar lebih, sementara mereka yang kurang mampu tidak diperlakukan sama dengan mereka yang lebih kaya. Dalam hal ini, kebijakan pajak harus benar-benar memperhatikan prinsip keadilan sosial.
Kenaikan PPN ini, jika dilaksanakan tanpa pertimbangan matang, berisiko menjadi batu sandungan bagi banyak masyarakat yang sudah tertekan. Tetapi jika dilaksanakan dengan kebijakan pendamping yang tepat, kebijakan ini bisa menjadi instrumen untuk menciptakan keseimbangan fiskal tanpa harus mengorbankan kesejahteraan rakyat. Hanya dengan pendekatan yang hati-hati dan berpihak pada rakyat, Indonesia bisa menghindari jebakan kebijakan yang hanya berpihak pada angka-angka ekonomi, tetapi tidak memperhatikan manusia di baliknya.
Jalan Menuju Kesejahteraan
Di balik angka-angka ekonomi yang terus bergerak, ada kehidupan nyata yang harus diperhatikan. Pemerintah Indonesia kini berada di persimpangan jalan yang menentukan: apakah jalan yang diambil akan mengarah pada kemakmuran bersama atau malah mengubur harapan rakyat dalam tumpukan utang dan pajak yang semakin menyesakkan? Jalan menuju kesejahteraan bukan hanya soal menaikkan tarif pajak atau memperbanyak utang, tetapi tentang bagaimana menyeimbangkan keduanya tanpa melupakan mereka yang paling terdampak.
Pemerintah harus berani membuat keputusan yang berani, tetapi adil. Salah satunya adalah mengoptimalkan sistem perpajakan yang sudah ada, memperluas basis pajak tanpa menambah beban yang terlampau berat pada rakyat. Tidak semua lapisan masyarakat punya kemampuan yang sama untuk menanggung kewajiban pajak.
Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang lebih progresif, yang mengenakan pajak lebih tinggi pada mereka yang lebih mampu dan memberikan kelonggaran pada yang lebih membutuhkan. Tidak hanya itu, memperbaiki distribusi kekayaan harus menjadi fokus utama, agar kesejahteraan rakyat bukan hanya menjadi angan-angan belaka. Keadilan ekonomi, di sinilah kunci untuk mewujudkan negara yang makmur.
Masa Depan Indonesia
Masa depan Indonesia akan sangat bergantung pada kebijakan yang diambil hari ini. Negara yang mandiri secara fiskal adalah negara yang bisa menghidupi rakyatnya, tidak tergantung pada hutang luar negeri yang menumpuk dan menyita ruang anggaran. Kita harus sadar bahwa ketergantungan pada utang luar negeri ini menciptakan lingkaran setan yang semakin sulit untuk diputus. Reformasi pajak yang adil, penataan ulang anggaran negara, serta kebijakan yang memprioritaskan pembangunan ekonomi berkelanjutan akan membuka jalan bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan ini.
Namun, tak ada jalan yang mudah menuju kesejahteraan sejati. Kenaikan PPN yang direncanakan dan beban utang yang semakin menumpuk hanya sebagian dari tantangan besar yang harus dihadapi. Ini bukan sekadar angka-angka yang tercatat di lembaran kertas atau laporan keuangan negara, tetapi kehidupan rakyat yang terancam. Setiap kebijakan yang diambil harus mampu mendengarkan denyut nadi rakyat yang selama ini terlupakan. Kebijakan ekonomi yang sukses adalah kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas hidup, tidak hanya meningkatkan angka-angka di atas kertas.
Beban Utang Berkepanjangan
Namun, tantangan terbesar yang dihadapi adalah beban utang yang diwariskan pada generasi berikutnya. Setiap bayi yang lahir di Indonesia kini harus menanggung beban utang yang semakin besar. Dalam setiap napas yang mereka ambil, ada jeritan utang yang semakin menghimpit. Masa depan anak cucu kita tidak bisa dibiarkan terperangkap dalam utang yang tak berkesudahan. Pemerintah harus segera bertindak, mencari jalan keluar yang tidak hanya berorientasi pada pembiayaan jangka pendek, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan ekonomi jangka Panjang.
Pada titik ini, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita ingin meninggalkan generasi mendatang dengan masa depan yang penuh ketidakpastian dan utang, ataukah kita bisa berbuat sesuatu untuk meringankan beban mereka? Keputusan ada di tangan kita, sekarang, di masa kita. Kita yang menentukan apakah kebijakan ekonomi ini akan menjadi beban yang menambah penderitaan, ataukah akan menjadi jalan menuju kesejahteraan yang lebih adil dan merata.
Refleksi
Sebagai sebuah bangsa, kita telah melalui banyak rintangan. Namun, rintangan terbesar yang akan kita hadapi bukanlah angka-angka utang atau tarif pajak yang terus meningkat, melainkan bagaimana kita menjaga keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Di balik kebijakan yang diambil, ada orang-orang yang sedang berjuang untuk bertahan hidup, ada ibu yang cemas dengan biaya pendidikan anaknya, ada pekerja yang terhimpit biaya hidup yang terus melambung.
Masa depan kita tidak bisa dibangun di atas tumpukan utang dan ketimpangan. Masa depan kita harus dibangun atas dasar keadilan, kerja keras, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Oleh karena itu, setiap langkah yang diambil oleh pemerintah harus selalu diingatkan oleh sebuah prinsip: bukan hanya angka yang berbicara, tetapi juga hati yang harus didengar.
Sebagai bangsa, kita harus bisa menatap masa depan dengan kepala tegak, bukan dengan beban utang yang terus menekan. Jalan menuju kesejahteraan memang tidak mudah, tetapi jika kita mampu menciptakan kebijakan yang adil dan berkelanjutan, maka masa depan Indonesia akan menjadi cerah, bukan hanya bagi kita, tetapi juga bagi anak cucu kita yang akan mewarisi tanah air ini.[9] (Red)
Bung Eko Supriatno, penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.
DAFTAR PUSTAKA
Cucun, A. S. (2024). Dilema PPN, Beban Rakyat atau Peluang Keadilan Pajak? Kompas.id. Retrieved from https://www.kompas.id/baca/opini/2024/12/08/dilema-ppn-beban-rakyat-atau-peluang-keadilan-pajak
Mahardhika, V. A. (2024). Reformasi Perpajakan untuk Penciptaan Keadilan, Peningkatan Kepatuhan, dan Penguatan Fiskal. Direktorat Jenderal Pajak. Retrieved from https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/reformasi-perpajakan-untuk-penciptaan-keadilan-peningkatan-kepatuhan-dan-penguatan-fiskal
Pusat Pengelolaan Data Pendidikan Tinggi. (2024). Kebijakan Fiskal yang Berkelanjutan untuk Mendorong Perekonomian. Retrieved from https://p2dpt.uma.ac.id/2024/09/12/kebijakan-fiskal-yang-berkelanjutan-untuk-mendorong-perekonomian
Sukmasari, N. I., & Immanuel, V. G. (2024). Hippindo Ungkap Alasan Kebutuhan Pokok Bisa Kena Dampak PPN 12 Persen. Antara News. Retrieved from https://www.antara.com
Tempo. (2024). Kebijaksanaan Meninjau Regulasi Kenaikan PPN 12%. Padek Jawapos. Retrieved from https://padek.jawapos.com/opini/2365426635/kebijaksanaan-meninjau-regulasi-kenaikan-ppn-12
Tempo. (2024). Kengototan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan memberlakukan pengampunan pajak di waktu bersamaan pada 2025. BBC News Indonesia. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4gpnxgvxjpo
Tempo. (2024). Pajak PPN 12% mulai 2025, apa dampaknya pada daya beli masyarakat? BBC News Indonesia. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/articles/cly2npg9exzo
[1] Tempo. (2024). Pajak PPN 12% mulai 2025, apa dampaknya pada daya beli masyarakat? BBC News Indonesia. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/articles/cly2npg9exzo
[2] Tempo. (2024). Kengototan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan memberlakukan pengampunan pajak di waktu bersamaan pada 2025. BBC News Indonesia. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4gpnxgvxjpo
[3] Mahardhika, V. A. (2024). Reformasi Perpajakan untuk Penciptaan Keadilan, Peningkatan Kepatuhan, dan Penguatan Fiskal. Direktorat Jenderal Pajak. Retrieved from https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/reformasi-perpajakan-untuk-penciptaan-keadilan-peningkatan-kepatuhan-dan-penguatan-fiskal
[4] Cucun, A. S. (2024). Dilema PPN, Beban Rakyat atau Peluang Keadilan Pajak? Kompas.id. Retrieved from https://www.kompas.id/baca/opini/2024/12/08/dilema-ppn-beban-rakyat-atau-peluang-keadilan-pajak
[5] Tempo. (2024). Kebijaksanaan Meninjau Regulasi Kenaikan PPN 12%. Padek Jawapos. Retrieved from https://padek.jawapos.com/opini/2365426635/kebijaksanaan-meninjau-regulasi-kenaikan-ppn-12
[6] Sukmasari, N. I., & Immanuel, V. G. (2024). Hippindo Ungkap Alasan Kebutuhan Pokok Bisa Kena Dampak PPN 12 Persen. Antara News. Retrieved from https://www.antara.com
[7] Utang, PPN 12%, Beban Rakyat
[8] Mahardhika, V. A. (2024). Reformasi Perpajakan untuk Penciptaan Keadilan, Peningkatan Kepatuhan, dan Penguatan Fiskal. Direktorat Jenderal Pajak. Retrieved from https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/reformasi-perpajakan-untuk-penciptaan-keadilan-peningkatan-kepatuhan-dan-penguatan-fiskal
[9] Pusat Pengelolaan Data Pendidikan Tinggi. (2024). Kebijakan Fiskal yang Berkelanjutan untuk Mendorong Perekonomian. Retrieved from https://p2dpt.uma.ac.id/2024/09/12/kebijakan-fiskal-yang-berkelanjutan-untuk-mendorong-perekonomian