BANTEN, biem.co – Istilah “brain rot” telah resmi dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year 2024, mencerminkan pengaruh besar budaya digital terhadap kehidupan masyarakat modern. Istilah ini merujuk pada kondisi di mana kemampuan mental seseorang menurun akibat konsumsi konten yang dangkal atau berlebihan, seperti scrolling tanpa henti di media sosial atau menonton video dengan nilai informasi yang rendah. Fenomena ini menjadi simbol bagaimana generasi saat ini—terutama Generasi Z dan Generasi Alfa—terlibat intens dalam dunia maya hingga memengaruhi keseimbangan intelektual dan emosional mereka.
Popularitas “brain rot” meningkat drastis di platform-platform seperti TikTok, Twitter, dan Reddit, tempat Generasi Z dan Alfa mendominasi. Penggunaan istilah ini naik hingga 230% dari 2023 ke 2024, menjadikannya salah satu frasa yang sering muncul dalam diskusi daring, terutama di lingkup meme, budaya fandom, dan tren gaul. Generasi muda sering menggunakannya secara sarkastis untuk menggambarkan kecanduan terhadap hal-hal tidak produktif, namun tak jarang istilah ini memicu refleksi serius tentang dampak digitalisasi yang berlebihan.
Oxford Word of the Year sendiri adalah penghargaan tahunan dari Oxford University Press, yang memilih kata atau istilah dengan pengaruh signifikan pada budaya dan bahasa global. Pada 2024, “brain rot” dianggap mencerminkan kekhawatiran terhadap kesehatan mental di era digital, melanjutkan tema sebelumnya seperti “rizz” (2023) yang berfokus pada komunikasi daring, atau “vax” (2021) yang menyoroti isu pandemi.
Sebagai istilah, brain rot sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Menurut Oxford English Dictionary, istilah ini sudah digunakan sejak abad ke-19, meskipun dalam konteks berbeda. Kini, penggunaannya lebih menyoroti dampak buruk digitalisasi, yaitu penurunan kemampuan berpikir kritis akibat konsumsi konten tanpa tantangan intelektual. Dalam bentuk ekstrem, fenomena ini bisa memengaruhi kesehatan mental secara signifikan, dari gangguan fokus hingga kecemasan yang timbul karena perbandingan sosial di media.
Gejala umum “brain rot” meliputi sulit berkonsentrasi, ketergantungan pada hiburan digital, hingga kebiasaan memasukkan humor atau meme dalam interaksi sehari-hari. Hal ini bisa berdampak pada produktivitas, kemampuan berpikir mendalam, dan bahkan memperburuk hubungan sosial. Namun, kondisi ini tidak sepenuhnya tanpa solusi. Mengelola screen time, memilih konten yang bermanfaat, hingga meluangkan waktu untuk aktivitas offline seperti membaca atau olahraga adalah beberapa langkah sederhana yang bisa diambil.
Meskipun terkesan sepele, pembahasan “brain rot” mencerminkan tantangan serius yang dihadapi generasi muda dalam menjaga keseimbangan hidup di era digital. Artikel ini tidak hanya mengungkapkan makna di balik sebuah istilah, tetapi juga mengajak pembaca untuk merefleksikan kebiasaan digital mereka sendiri, karena di balik humor “brain rot,” terdapat pesan penting tentang kesehatan mental dan budaya kontemporer. (Red)