InspirasiOpini

Bahasa Gaul vs. Bahasa Baku: Harmoni atau Dominasi?

Oleh : Gina Safitri, Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

BANTEN, biem.co – Di era digital, bahasa berkembang dengan kecepatan yang mencengangkan. Salah satu bukti nyatanya adalah munculnya bahasa gaul, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari percakapan sehari-hari. Ungkapan seperti “Flexing,” “Auto,” atau “Spill” bukan lagi hanya tren, tetapi sudah melebur dalam budaya populer. Tren ini, meski menarik, menimbulkan diskusi panjang tentang dampaknya terhadap keberlangsungan bahasa baku Indonesia.

Bahasa gaul, di satu sisi, adalah manifestasi dari kreativitas linguistik dan ekspresi diri. Setiap generasi selalu memiliki caranya sendiri untuk berekspresi, dan bahasa gaul adalah buktinya. Penggunaan bahasa gaul mencerminkan adaptasi masyarakat terhadap perubahan sosial dan teknologi.

Ungkapan seperti “Mabar” (main bareng) atau “Gaje” (nggak jelas) menjadi alat untuk membangun keakraban dan koneksi emosional antarindividu. Selain itu, masuknya istilah asing seperti “self-love” yang disesuaikan dengan konteks lokal membuktikan kemampuan masyarakat untuk memodifikasi bahasa agar lebih relevan dan komunikatif.

Namun, di balik keunggulan tersebut, terdapat risiko yang tidak bisa diabaikan. Bahasa gaul, karena sifatnya yang fleksibel dan cepat berubah, berpotensi menggusur penggunaan bahasa baku, terutama di kalangan anak muda.

Dominasi bahasa gaul dalam komunikasi sehari-hari mengakibatkan kaidah EYD semakin terabaikan, terutama oleh generasi muda. Bahasa gaul dianggap lebih santai, sementara bahasa baku kerap dilihat sebagai formalitas yang tidak relevan. Jika dibiarkan, kebiasaan ini dapat mengikis rasa bangga terhadap bahasa Indonesia sebagai identitas nasional.

Kondisi ini memprihatinkan, karena bahasa baku adalah bagian dari identitas nasional. Kosakata seperti “Andal,” “sungguh-sungguh,” atau “gairah” perlahan terpinggirkan oleh padanan modern seperti “Reliable,” “Serius,” atau “Vibes.”

Penggunaan bahasa gaul secara berlebihan juga dapat menciptakan kebingungan linguistik di dunia pendidikan, di mana siswa lebih familiar dengan istilah informal dibandingkan terminologi baku.

Dalam dunia pendidikan, bahasa gaul menciptakan tantangan tersendiri. Seorang guru mungkin harus menjelaskan istilah “healing” yang lebih populer dibandingkan “Pemulihan” kepada siswa agar konteksnya mudah dipahami.

Jika dibiarkan, pergeseran ini berpotensi mengurangi kemampuan generasi muda dalam memahami teks formal, baik dalam dunia akademik maupun profesional.

Media sosial, sebagai ruang utama penyebaran bahasa gaul, juga memperbesar pengaruh ini. Studi dari We Are Social dan Hootsuite mencatat bahwa lebih dari 75% penduduk Indonesia adalah pengguna media sosial dan 49,9% nya adalah pengguna aktif, dengan durasi rata-rata penggunaan lebih dari tiga jam per hari.

Di platform ini, bahasa gaul menjadi simbol eksistensi, sehingga banyak yang merasa harus mengikuti tren agar tidak dianggap ketinggalan zaman atau dalam bahasa gaul kini dikenal ”FOMO”.

Meski demikian, tidak adil jika menyalahkan sepenuhnya fenomena bahasa gaul. Bahasa selalu berkembang, dan bahasa gaul adalah bagian dari dinamika itu. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara bahasa gaul dan bahasa baku.

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan bahasa baku secara kreatif dan aktif seperti saat penyebarannya. Misalnya, membuat kampanye linguistik seperti “Bangga Berbahasa Indonesia” yang dikemas dengan humor atau visual menarik.

Selain itu, dunia pendidikan perlu mengadaptasi pendekatan pembelajaran bahasa agar lebih relevan dengan realitas digital. Pemerintah juga perlu berperan aktif dalam menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa Indonesia, salah satunya melalui kebijakan pendidikan.

Pendekatan berbasis komunitas dapat diterapkan dengan membiasakan siswa menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekolah. Misalnya, sekolah dapat mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap kegiatan, baik formal maupun informal.

Bahasa gaul tidak harus dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk memperkaya cara berkomunikasi. Namun, pengguna bahasa harus sadar bahwa menjaga bahasa baku sama pentingnya dengan mengikuti tren.

Dengan menjaga keseimbangan ini, kita dapat menikmati keunikan bahasa gaul tanpa kehilangan jati diri linguistik sebagai bangsa Indonesia. Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita: apakah kita membiarkan bahasa baku tergeser, atau menjadikannya tetap relevan dalam era digital ini?. (Red)

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button