KabarTerkini

Eko Supriatno: Pemulangan Tiga Siswa ICMA Karena SPP Cerminkan Elitisme Memalukan!

PANDEGLANG, biem.co– Kasus pemulangan paksa tiga siswa berprestasi dari Sekolah Dasar Islam Terpadu Mathla’ul Anwar (SDIT ICMA) akibat tunggakan SPP sebesar Rp 42 juta telah memicu reaksi keras dari masyarakat.

Di tengah sorotan yang meluas, pengamat sosial Eko Supriatno mengungkapkan kritik tajam terhadap tindakan yayasan, menekankan bahwa pemulangan ini mencerminkan elitisme yang memalukan dalam pendidikan.

Pendidikan sebagai Hak Setiap Anak

Eko Supriatno menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak dasar yang tidak seharusnya terhalang oleh masalah finansial.

“Anak-anak tidak seharusnya menjadi korban dari kesulitan ekonomi orang tua mereka. Memulangkan siswa hanya karena masalah biaya mencerminkan ketidakadilan yang mendalam dalam sistem pendidikan kita,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pendidikan seharusnya inklusif, memastikan semua anak, terutama yang kurang mampu, memiliki akses yang sama.

Eko juga menekankan bahwa perhatian utama haruslah pada dampak psikologis yang dialami anak-anak, bukan pada urusan konflik internal keluarga atau masalah administrasi.

Selain masalah aksesibilitas, pemulangan siswa dapat menimbulkan dampak psikologis yang serius.

“Kondisi ini bisa menciptakan stigma negatif dan merusak kepercayaan diri anak. Mereka seharusnya merasa didukung, bukan ditolak akibat masalah keuangan,” katanya.

Ia menyoroti pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dan mendukung, di mana semua siswa dapat tumbuh tanpa rasa takut akan konsekuensi finansial.

Kebijakan Pendidikan yang Perlu Direvisi

Eko juga mengkritik kebijakan yang mendorong elitisme dalam pendidikan.

“Praktik seperti ini menciptakan kasta dalam sistem pendidikan, di mana hanya siswa dari keluarga mampu yang mendapatkan akses ke pendidikan berkualitas. Ini tidak dapat diterima,” ujarnya.

Ia mendesak pihak sekolah dan yayasan untuk mencari solusi yang lebihh 6 baik, seperti pengembangan program beasiswa dan penyesuaian biaya bagi siswa yang membutuhkan.

Masukan Eko tidak hanya ditujukan kepada pihak sekolah, tetapi juga kepada pemerintah daerah.

“Pemerintah harus berperan aktif dalam memastikan pendidikan yang adil bagi semua. Alokasi anggaran untuk pendidikan perlu ditingkatkan, dan layanan pendidikan harus diberikan tanpa diskriminasi,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa ini merupakan amanat undang-undang yang harus ditegakkan.

Eko menekankan perlunya langkah konkret untuk mengatasi masalah ini.

“Sekolah seharusnya berkolaborasi dengan pemerintah dan komunitas untuk menciptakan program yang mendukung siswa yang mengalami kesulitan. Pendidikan yang baik adalah hak setiap anak, dan kita harus berkomitmen untuk memastikan bahwa semua siswa, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang,” pungkasnya.

Sementara itu, Bupati Pandeglang, Irna Narulita, juga menyayangkan tindakan yayasan yang memulangkan siswa tersebut, terutama karena orang tua siswa adalah saudara kandung pemilik yayasan. Meski Pemkab telah melakukan mediasi, yayasan tetap bersikukuh menuntut pembayaran tunggakan, sementara anak-anak ingin melanjutkan pendidikan di yayasan yang sama.

Irna bahkan mengancam untuk memindahkan dokumen siswa ke sekolah baru jika yayasan tidak merespon permintaan pemindahan Dapodik.

Dengan perhatian publik yang semakin meningkat, diharapkan langkah nyata dapat diambil untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan adil di Banten dan seluruh Indonesia.

Kejadian di Pandeglang ini seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk mengevaluasi dan memperbaiki cara kita memandang serta menangani pendidikan, agar setiap anak dapat meraih impian mereka tanpa terhalang oleh masalah finansial. (Red)

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button