KOTA SERANG, biem.co – Bina Persaudaraan Indonesia (BPI) bekerjasama dengan Radio Amora Banten menggelar seminar tematik bertema “Status Tersangka Ahok; Tinjauan Hukum dan Sosiologis,” pada Selasa kemarin.
Ketua Umum BPI, Ega Jalaluddin, SH., MM menyebutkan, BPI sebagai sebuah gerakan kebangsaan ingin memberikan pemahaman melalui seminar ini kepada masyarakat tentang fenomena yang terjadi belakangan ini, yaitu kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal dengan nama Ahok.
“Kita semua tahu, mulai dari bergulirnya gerakan Bela Islam I yang menuntut diusutnya kasus dugaan penistaan agama sampai Bela Islam II yang menuntut kepolisian untuk segera menetapkan Ahok sebagai tersangka. Lalu gayung bersambut, Ahok ditetapkan sebagai tersangka oleh Kabareskrim Mabes Polri. Namun, pemicu masalah muncul dan ternyata meski telah ditetapkan sebagai tersangka, Ahok tidak ditahan,” terang Ega dalam sambutannya.
Diketahui, sebagian masyarakat marah dan menganggap kepolisian terkesan membela dan melindungi ahok, mengingat pada beberapa kasus penistaan agama yang pernah terjadi setiap penetapan tersangka pasti diikuti dengan penahanan.
“Bentuk protes tersebut kemudian memunculkan rencana Aksi Bela Islam III pada (25/11) lalu digantikan dengan rencana Istighosah Akbar 2-12. Dalam hal ini para tokoh berbeda pendapat tentang rencana Aksi Bela Islam III. Pimpinan NU, Muhammadiyah, bahkan KH Arifin Ilham sendiri (yang sebelumnya ikut Aksi Bela Islam II-411) mengharapkan masyarakat untuk tidak turun aksi berikutnya dan mempercayakan semuanya kepada kepolisian dalam melaksanakan penyidikannya, sementara beberapa tokoh lain seperti Habib M. Rizieq Shihab tetap berencana untuk tetap mengerahkan ummat dan melakukan aksi,” lanjutnya.
Ditambahkan Ega, BPI sebagai sebuah gerakan kebangsaan merasa bertanggungjawab dan harus memberikan pemahaman tentang aspek sosiologis aksi 2-12 ke depan serta tinjauan hukum positif, kenapa saudara Ahok belum ditangkap padahal sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“Melalui seminar ini kami berharap dapat menjawab pertanyaan yang berkembang di masyarakat tentang status tersangka Ahok, apakah Ahok dapat tetap ikut pilkada atau tidak, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui para ahli yang dihadirkan baik ditinjau dari hukum, politik, dan sosiologis,” pungkasnya. ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PW-KB PII), H. Ahmad Taufik Nuriman hadir sebagai Ketnote Speech serta membuka acara, memaparkan bahwa dirinya berharap agar proses hukum terhadap kasus ini terus dilakukan.
“Proses kasus ini bukan seberat-beratnya atau seringan-ringannya, tetapi seadil-adilnya. Saya berharap tidak ada aksi susulan seperti aksi yang dilakukan pada tanggal 4 November 2016 lalu, tetapi saya berharap pemerintah dan perwakilan atau pimpinan massa aksi yang lalu dapat melakukan audiensi,” ungkap Taufik.
Hadir sebagai narasumber Dr. HM. Suhary., MA, Dewan Riset Daerah Banten, Dr. Suhaedi, Sosiolog IAIN, dan Iron Fajrul Al Aslami, Advokat dan Akademisi UMT-Tangerang.
Menurut Suhary, kasus tentang Ahok bukan yang pertama kali terjadi, di Bangka Belitung saat melakukan kampanye Calon Bupati Bangka Belitung, Ahok sering melakukan hal-hal yang menistakan Islam. Tidak hanya sekarang, dulu pun Ahok pernah dilaporkan ke kepolisian. Suhary mengatakan bahwa kasus Ahok sebenarnya hanya Trigger, dari hal-hal yang lebih besar di belakang ini semua. Suhary mengatakan bahwa dibelakang semua kekacauan ini terdapat gerakan komunisme dan sosialisme yang ingin menancapkan isme-nya di Indonesia kembali setelah mati suri sekian lama. PKI, menurut Suhary telah muncul dalam bentuk baru dan akan berupaya pada 2019 mendatang untuk disahkan dan ikut pemilihan umum.
Mengenai status penetapan Ahok sebagai tersangka, Suhary mengatakan bahwa demi kemashlahatan Ahok harus ditahan.
“Masyarakat tidak perlu turun pada 2-12, biarkan kita serahkan semuanya pada kepolisian tentu saja dengan terus menerus kita awasi. Aksi 2-12 bukan semata-mata karena kasus Al Maidah; 51, namun sudah ditunggangi oleh beberapa kekuatan besar tidak hanya dari dalam, namun dari luar yang tidak pernah kita duga,” pungkasnya.
Senada dengan itu, Dr. Suhaedi, Sosiolog IAIN menjelaskan bahwa dari kaca mata sosiologis, kasus Al Maidah 51 ini membawa Indonesia pada ujian eksistensi dan keberagaman.
“Ini sebetulnya kasus hukum dan politik. Namun, Suhaedi menyayangkan kenapa kemudian ini menjadi isu pluralisme. Digelarnya Aksi Kebhinekaan yang diduga sebagai aksi tandingan 4/11 mengesankan bahwa ini sudah masuk ke ranah pluralisme. Padahal seharusnya ini murni kasus hukum,” ungkap Suhaedi.
Ditambahkan Suhadi, beliau teringat akan sebuah bentuk penjajahan baru (penjajahan budaya) yang dilakukan oleh negara-negara maju. Jika kemudian isu politik tidak bisa menghancurkan negara ini, maka isu agama dan pluralisme dianggap cara yang tepat untuk memporak-porandakan keamanan dan ketertiban sebuah negara. Dalam analisisnya, isu ini sudah menyimpang dari seharusnya.
Suhadi berharap, masyarakat tenang dan cerdas mengambil posisi, jangan mudah terprovokasi dan pandai-pandai mengamati.
“Mengenai aksi 2-12, masyarakat punya hak untuk turun atau tidak pada aksi selanjutnya, namun tetap mengedepankan toleransi dan ketertiban. Percayakan pada kepolisian dan tetap awasi,” lanjutnya.
Ahli Hukum Pidana, Iron Fajrul Al Aslami, SH. MH, Praktisi dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Tangerang, menilai kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sudah memenuhi unsur penghinaan dengan dua alat bukti.
Selain itu, Iron juga memberikan gambaran terkait status Ahok sebagai salah satu calon gubernur DKI Jakarta untuk Pilkada 2017 pasca penetapan tersangka kepadanya.
“Status Ahok selaku calon gubernur tidak terpengaruh proses hukum dalam kasus dugaan penistaan agama, karena status tersangkanya sebagai sebuah delik umum bukan delik khusus yang diatur dalam Undang-Undang Pilkada,” lanjutnya.
“Ahok tidak bisa lanjut pilkada jika dia melanggar pidana dalam Undang-Undang Pilkada. Ketentuan seperti ini tidak hanya berlaku bagi Ahok, tetapi bagi siapa saja yang jadi calon dalam pilkada,” tutur Iron.
“Saya percaya bahwa hukum itu adalah mekanisme untuk menyelesaikan masalah secara adil dan bermartabat. Tentu sepanjang semua pihak menjunjung tinggi proses penegakan hukum yang adil dan beradab, bukan adu kekuatan untuk merekayasa atau memaksakan kehendak,” ujar Iron.
Ditambahkan Iron, mengenai penahanan Ahok oleh penyidik itu murni kehendak penyidik, tidak bisa diintervensi oleh siapapun apalagi oleh para ahli. Biarkan kepolisian menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tetap terus kita awasi.
Mengenai rencana Aksi 2-12, Iron mengatakan bahwa demonstrasi itu hak setiap orang, namun, negara ini negara hukum mari kita hormati hukum dengan tetap menjunjung tinggi hukum,” pungkasnya.
Seminar ini diselenggarakan di Kebon Kubil, Bhayangkara, Serang dan dihadiri oleh 150 peserta yang terdiri dari para ulama, mahasiswa, member Radio Mora serta perwakilan berbagai institusi/ormas di Banten. (esih/andri).